"Tunggu, saya tidak punya handphone bagus untuk foto selfie, Pak! Lalu saya harus foto menggunakan apa? Tidak mungkin kan saya pakai ini? Yang ada saya kena komplain Tuan Alex karena foto yang dikirim blur." Erina menunjukan handphone bututnya. Terlihat sangat butut, ditambah lagi dengan bagian kamera depan yang retak.
"Anda tidak perlu mengkhawatirkan masalah itu, Nona! Ini! Tuan Alex sudah menyiapkan ini untuk Nona." Memberikan handphone keluaran terbaru yang sudah diatur tinggal memakainya saja.
"Hah? Sungguh? Ini untukku? Ini akan menjadi hak milikku?" tanya Erina dengan sangat antusias.
"Untuk masalah itu saya kurang tahu, Nona. Yang jelas Nona dipersilakan untuk mengirim foto menggunakan handphone itu. Bisa saja setelah Tuan pulang dari Singapura, Tuan akan kembali meminta handphone itu. Itu hanya kemungkinan Nona, tidak bisa dipakai sebagai patokan. Karena, perilaku dan perbuatan Tuan Alex sama sekali tidak ada yang memprediksinya. Maka dari itu, saya peringati sebaiknya Nona berhati-hati dalam bersikap dan mengambil keputusan bisa sudah menyangkut dengan Tuan Alex. Tuan Alex itu sangat sensitif, Nona." ucap panjang lebar anak buah Tuan Alex. Uang pada akhirnya handphone itu belum jadi diberikan kepada Erina.
"Ya, ya, ya, sampai kapan kau akan memberiku nasehat? Waktuku semakin tipis. Dan, bukannya kau sendiri yang bilang kalau pekerjaanmu menjadi taruhannya? Jadi, cepat serahkan handphone itu!" kata Ria sudah mulai muak dengan semua yang terjadi.
Hidup macam apa yang akan aku masuki kedepannya ini? Kenapa ceritanya sangat menakutkan begitu? Atau, jangan-jangan ini hanya siasat Alex untuk memperdayaku? Pikir Erina dalam hatinya.
"Baik, Nona. Ini handphonenya. Jaga handphone ini seperti Nona menjaga nyawa anda. Karena, seperti yang sudah saya jelaskan tadi. Bisa saja barang ini bukan hak Nona secara sepenuhnya." Menyerahkan handphone itu dengan rasa penuh tanggung jawab. Sudah seperti memberikan barang pusaka saja.
Mereka semua yang ada di sana sudah berfoto di depan rumah Tuan Alex. Jadilah, Erina langsung mengirimkan foto-foto itu ke Tuan Alex.
"Nomor handphone Tian Alex, ada?" tanya Erina.
"Sudah tersimpan di kontak, Nona. Coba cari saja di sana!" jawab anak Buah Alex.
Erina yang mendapat jawaban seperti itu pun langsung membuka kontak di handphone yang berada di genggaman tangannya itu. Matanya membulat dengan sempurna saking terkejutnya saat melihat hanya ada satu nomor di handphone itu. Bukan jumlah kontak sebenarnya yang membuat Erina terkejut, melainkan nama kontak yang sangat amat membuat geli akan siapapun yang membacanya.
Alex, calon suamimu :(
Itulah nama yang tercetak jelas di layar handphone milik Erina. Ralat, handphone milik Alex yang secara sementara menjadi hak milik Erina.
Nama yang sangat manis sebenarnya, namun berubah menjadi aneh karena ada embel-embel titik dua dan tanda buka kurung. Tanda-tanda aneh itu malah membentuk raut wajah seseorang yang sedang cemberut, maka dari itu Erina sangat terkejut saat melihat nama yang tertera itu.
Apakah dia bisa meramal? Dia bisa tahu kalau raut wajahku saat ini cemberut loh. Ya, dia adalah rajanya. Apapun bisa diprediksi untuk kedepannya. Apalagi hanya sebagian hal kecil seperti ini, pastilah sangat mudah baginya. Kesal Erina. Berbicara di dalam hati.
Tidak mungkin baginya untuk mengeluarkan itu semua secara langsung. Ya, sudah bisa dipastikan penyebabnya karena ada anak buah dari calon suaminya di sini. Tidak mungkin rasanya bila anak buah dari calon suaminya itu untuk berkhianat.
Klik…
Erina sudah mengirim foto-foto yang diambilnya tadi dengan anak buah Tuan Alex.
Ceklis biru. Ya, secepat itu pesan Erina dibuka oleh Alex.
Hingga, terdengar dering telepon. Tuan Alex menelpon Erin. Dengan cepat Erin menjawab panggilan itu.
"Foto ulang! Kau tidak tersenyum di foto-foto ini." Panggilan diputuskan secara sepihak.
***
"Air!" terdengar suara yang sangat lirih dari seseorang.
Sontak saat mendengar suara itu, Tuan Alex dan juga dokter yang berada di ruangan itu langsung menatap ke arah suara.
"Rendi!" kata Tuan Alex terkejut dikala melihat Rendi yang sudah siuman.
"Airrr," kata Rendi lagi.
"Dok, Rendi sadar dok! Dia minta air, dia haus," ucap Tuan Alex.
"Iya. saya juga melihat dan mendengarnya. Biar saya periksa sekali lagi keadaannya. Setelah itu bila tidak ada masalah baru kita beri air pada pasien," jawab dokter itu.
Lalu, dokter itu pun mengecek kesehatan Rendi.
Rendi yang sedang diperiksa oleh dokter hanya diam saja. Dia masih berusaha mengingat-ingat tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Rendi memegang kepalanya, dia menahan sakit yang sangat luar biasa rasanya. Dia mulai mengingat semuanya, dari dia yang kecelakaan hingga dia masuk rumah sakit. Dia tidak ingat kapan tepatnya kecelakaan itu terjadi. Tapi, yang jelas dia merasa kalau kejadian kecelakaan itu sudah lama berlalu.
Kejadian-kejadian tentang masa lalu mulai berkelebatan di kepalanya. Semuanya seolah berputar seperti sebuah trailer film yang baru saja diputar.
"Auuuuu, sakitt! Sakit!" kata Rendi. Dia memegang kepalanya. Tangannya mencengkram kuat rambutnya sendiri untuk mengalihkan rasa sakit di kepalanya.
"Auuuu sakit! Aku dimana? Kak Erin, Kak Erin di mana? Kak Erin di mana?" kata Rendi, dengan posisi tangan terus memegang kepalanya.
"Ren, Rendi! Jangan seperti itu! Nanti diri kamu sendiri yang sakit!" kata Tuan Alex.
Mendadak sikap kearoganannya menghilang saat dia melihat Rendi menjambak rambutnya sendiri. Muncul perasaan tidak tega dan kasihan melihat adik dari wanita yang dulu sangat dicintainya menahan sakit yang sangat mendalam bila dilihat dari raut dan air muka Rendi.
"Dok, lakukan sesuatu. Lihatlah pasienmu menahan sakit sampai seperti itu," kata Tuan Alex.
"Sebenarnya tidak terjadi sesuatu yang serius tuan. Tapi, sepertinya Tuan Rendi yang baru siuman dari komanya ini memaksa ingatannya untuk mengingat semua. Namun, otaknya belum mampu untuk mengingat itu semua. Semuanya butuh waktu," kata dokter itu.
"Lalu, apakah kau hanya bisa diam melihatnya menyakiti dirinya sendiri, begitu? Sungguh kau dokter tidak berguna!" kata Tuan Alex kesal.
Setelah meluapkan kekesalannya Tuan Alex pun mendekati tubuh Rendi yang sedang menangis dengan histeris. Dengan tangan yang masih menjambak rambut dan juga mulut yang terus meracau tidak jelas memanggil-manggil nama Kak Erin.
"Hey, kau tenang saja. Ada Kak Alex di sini, aku akan menjagamu sampai kau sembuh. Jangan sakiti dirimu sendiri, kau baru saja siuman dari masa komamu yang sangat panja itu," kata Tuan Alex.
Tuan Alex pun langsung memeluk tubuh Rendi yang posisinya masih berbaring di depannya. Dengan perlahan menyentuh bahu Rendi supaya Rendi bisa lebih tenang dan nyaman. Menenangkannya seperti menenangkan adik sendiri.
"Aku dimana? Dan juga Kak Erin, kemana perginya Kak Erin?" tanya Rendi setelah lumayan tenang.
"Kau sedang berada di rumah sakit. Untuk masalah Kak Erin kau tak perlu khawatir. Dia aman denganku. Kak Erin mu berada denganku. Kenapa? Aoa kau merasa bersalah atas semua yang kau lakukan pada kakakmu itu?" tanya Tuan Alex.
Namun, Rendi tidak menjawab. Dia malah diam seribu bahasa. Membuat Alex pun ikut diam saja.
Dasar Menyusahkan! Kalau kau bukan adik dari calon istriku, sudah ku lempar ke lautan Jawa sana! Batin Tuan Alex.
Bersambung