Pagi hari di Rumah Sakit tempat Rendi dirawat, terdapat pemuda turun dari mobil menggunakan setelan baju jasnya. Dia berjalan dengan langkah kaki panjang. Diikuti oleh sekretarisnya berjalan di belakang dan juga para penjaganya yang memakai baju serba hitam. Ya, baju serba hitam khas seorang bodyguard.
Pemuda itu tidak lain dan tidak bukan adalah Alex. Alex mulai menjalankan rencananya pada pagi hari sebelum ia berangkat ke kantor.
Berjalan penuh wibawa, menggunakan kacamata hitam, rambut tertata rapi dan menjadi sorotan publik, adalah kebiasaan tersendiri bagi Alex.
Dari pandangan mata Sekretaris Haris, Alex tidak henti-hentinya tersenyum sedari di mobil saat perjalanan menuju rumah sakit tadi. Contoh kecilnya saja, saat Alex turun dari mobil, Alex tersenyum manis pada Haris. Pada kenyataannya itu bukanlah kebiasaannya bagi seorang Alex Raditya Wijaya.
Sepertinya anda sedang bahagia pagi ini tuan. Kata Harus dalam hati. Tentu dalam hati, mana berani dia mengucapkan itu secara gamblang di depan tuannya. Yang ada dia malah merusak suasana hati tuannya itu di pagi-pagi buta.
Kalau dipikir-pikir, Haris yang berada hampir setiap saat dan setiap waktu di sisi Alex pun masih merasa tahun dengan Alex, apalagi bila itu orang lain? Bisa dipastikan orang lain itu gemetar ketakutan melihat kelakuan Alex yang tiba-tiba keras dan melunak seperti pagi hari ini.
***
Alex memasuki ruangan tempat Rendi dirawat. Dilihatnya tidak ada siapa-siapa di sisi Rendi. Namun terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi
Alex mendekat ke arah ranjang Rendi, tempat Rendi terbaring lemah. Bila di hari kemarin Alex melihat Rendi hanya lewat foto, kini Alex melihatnya secara nyata. Terlihat sangat jelas bila wajah Rendi sangat pucat.
Gurat wajah kasihan terlukis di wajah tampan nan rupawan milik Alex. Namun dengan cepat Alex langsung merubah raut wajahnya, menjadi tersenyum penuh arti.
"Hai Rendi Krisnanda, apa kabar? Sudah lama kita tidak jumpa. Eh. Aku lupa, kau kan sedang koma. Pastilah kabar buruk menyertaimu. Andai saja dulu kakakmu itu tidak menolakku. Mungkin saja kita sekarang sudah menjadi kakak dan adik ipar. Dan kau bisa meminta apapun yang kau mau." Kata Alex dengan lirih.
"Cepat sembuh Rendi! Apakah kau tidak mau bermain-main lagi dengan motor kesayangan itu? Dan, apakah kau tidak ingin mendengar suara cempreng milik kakakmu Erin saat dia sedang memarahimu? Eits, jangan terlalu percaya diri dulu. Aku ingin kau sembuh karena aku tidak ingin mengeluarkan uang secara sia-sia. Akan sangat sia-sia bukan bila kau mati? Terlebih, uang yang aku pakai nanti itu jumlahnya tidak sedikit! Sayang, sayang akan pengorbanan yang akan kakakmu Erina lakukan." Kata Alex lagi.
Alex mengenal baik Rendi. Itu bisa terjadi karena Rendi adalah adik dari Erina. Erina gadis yang disukainya dulu. Sudah pastinya Alex mengenal keluarga dari gadis yang disukainya itu.
Alex mengulurkan tangannya ingin menyentuh wajah Rendi. Tapi diurungkan niatnya itu karena mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka.
Cekrek
Pandangan mereka pun bertemu.
Deg
Erin terkejut saat keluar dari kamar mandi mendapati Alex ada di ruang rawat adiknya, yaitu Rendi. Jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Erin sebelumya masuk ke kamar mandi supaya terlihat segar saat keluar. Tapi, saat melihat Alex ada di ruangan adiknya keringat kembali bercucuran di dahi Erin yang masih tercium wangi sabun itu.
"Alex!" Tanpa sadar Erin menyebut nama Alex tanpa embel-embel tuan di depannya.
"Tu-tuan Alex maksudnya." Berkata cepat. Sadar bila dirinya salah.
Alex? Iya, Alex teman kuliah aku dulu. Aku ingat kok. Tak mungkin aku lupa. Bahkan, aku masih mengingatnya sampai pada detik ini. Tak pernah aku lupa. Aku pun tahu, tahu kalau Alex yang kini ada di depanku itu sudah berbeda dengan Alex empat tahun yang lalu. Tetapi, yang menjadi pertanyaan. Kenapa Alex ada di sini? Bukannya tadi Alex tidak berniat sedikitpun untuk membantuku? Batin Erin. Terus bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
"Tuan Alex, ada perlu apa anda kesini, Tuan?" Tanya Erin sopan. Berjalan menghampiri Alex. Dia benar-benar melupakan kenangan masa lalu di saat dulu Alex menyatakan perasaan kepada dirinya. Dia pun cukup tahu diri saat ini. Siapa Alex dan juga siapa dirinya, sudah cukup untuk membuat alasan mengapa Erin bersikap seolah tidak mengenal Alex pada saat ini.
"Bukankah terserahku? Aku mau ke sini atau tidak. Toh, rumah sakit ini perusahaan aku yang membangun. Kau mau mengusirku? Sebelum kau mengusirku, akan aku usir adikmu ini terlebih dahulu dari sini. Tidak ada rumah sakit yang gratis!" Jawab Alex dengan ketus. Melipat kedua tangan, lalu diletakkannya di dada. Menatap Erin dengan sinis.
Sudah kuduga. Kau sudah jauh berubah, Alex. Batin Erina.
"Bukan seperti itu maksud saya, Tuan!" Erin berusaha meluruskan kesalahpahaman yang terjadi.
"Sudahlah. Tidak penting untuk membahas itu sekarang. Aku punya penawaran yang sangat menguntungkan untukmu dan adikmu yang sekarat bahkan hampir mati ini. Ayo ikut aku." Kata Alex. Melangkah keluar dari ruangan itu, menuju ruangan yang sudah disiapkan oleh Sekretaris Haris.
Walau dengan perasaan yang tidak karu-karuan Erin tetap memaksakan kakinya melangkah mengikuti Alex. Alex berjalan dengan sangat cepat, hingga Erin tertinggal beberapa meter di belakang Alex.
***
Ruangan Khusus
Alex, Erin, Haris, dan juga pengacara pribadi Alex, kini sedang terlibat pembicaraan yang sangat serius. Mereka berempat duduk di kursi sofa yang tersedia di ruangan itu. Ruangan awalnya hening, tidak ada yang berbicara. Hingga orang yang tidak dikenal Erin buka bicara.
"Baca dengan teliti dan tanda tangani." Pengacara pribadi Alex memberikan map berwarna merah maroon kepada Erina.
"Ini apa, Tuan?" Tanya Erin bingung. Menatap orang yang memberinya sebuah surat itu.
"Kalau ingin tahu jawabannya ya dibaca! Kan tadi sudah diberi perintah oleh pengacara pribadi Tuan Alex untuk membaca!" Jawab Sekretaris Haris ketus.
Kenapa sampai bawa-bawa pengacara? Sebenarnya ini ada apa? Pikir Erin.
Perlahan Erin membuka map warna merah maroon itu. Diambilnya surat yang ada di dalamnya. Mata Erin membulat sempurna saat membaca judul surat itu. Erin menengok ke kanan dan ke kiri, bermaksud untuk bertanya apa maksud dari surat itu. Tapi, karena tidak ada yang memberi jawaban. Erin pun melanjutkan membaca surat itu lagi.
***
SURAT PERJANJIAN
Pihak pertama : Alexandra Raditya Sanjaya
Pihak kedua : Erina Stefani
Pihak Pertama bertanggung jawab atas semua biaya rumah sakit dari adik perempuan Pihak Kedua yang bernama Rendi Krisnanda. Berlangsungnya tanggung jawab itu sampai adik dari Pihak Kedua sadar dari masa komanya. Dan Pihak Pertama berkewajiban memenuhi kebutuhan finansial dari Pihak Kedua.
Pihak Kedua harus bersedia menikah dengan Pihak Pertama, bila menginginkan Pihak Pertama menjalankan kewajibannya untuk membiayai semua biaya rumah sakit adik dari Pihak Kedua yaitu Rendi Krisnanda.
Serta, Pihak Kedua harus menjalankan semua perintah yang Pihak Pertama berikan tanpa terkecuali. Bila sampai Pihak Kedua melanggar, maka Pihak Kedua akan menerima hukuman yang akan diberikan oleh Pihak Pertama secara lisan.
Ttd
***
Erin tercengang saat membaca kata demi kata yang tertera di surat perjanjian itu. Lalu matanya beralih menatap nama panjang serta tanda tangan di atas materai milik Alex yang berada di sudut kanan, dan juga namanya sendiri yang berada di sudut sebelah kiri. Di atas nama panjang Erin, terdapat ruang kosong. Yang mana di ruang kosong itulah Erin harus membubuhkan tanda tangannya.
Suasana hening
Erin pun menatap manik mata Alex dengan tanpa rasa takut.
"Apa maksudnya?" Tanya Erin. Tidak ada nada ketakutan sedikit pun dari nada bicaranya itu.
Alex hanya diam. Tidak menjawab satu patah kata pun akan apa yang dipertanyakan oleh Erin itu.
"Aku rasa aku tak perlu menjelaskan panjang lebar periksa itu semua. Untuk apa kau menuntut ilmu tinggi-tinggi namun masih belum paham akan apa yang terjadi saat ini." Kata Alex. Dengan nada yang terdengar sangat sinis.
"Tapi, saya menuntut ilmu tinggi-tinggi tidak untuk memahami surat perjanjian konyol seperti ini. Simpan suratmu ini, Tuan Muda." Kata Erin.
"Tanda tangan! Maka adikmu akan selamat." Kata Alex.
"Aku memang sedang kesulitan mencari uang untuk pengobatan adikku. Tapi, aku tidak segegabah itu hingga bisa terjebak dalam permainanmu, Tuan Muda Alex! Saya permisi." Kata Erin. Bangun dari duduknya. Lalu keluar dari ruangan khusus itu.
"Tuan-" Ucap Haris belum selesai tapi sudah disela oleh Alex.
"Biarkan dia. Kita lihat bisa berbuat apa dia kalau aku menggunakan adiknya sebagai senjata." Ucap Alex. Menatap kepergian Erina.
***
"Sus, Suster! Ada apa? Kenapa ada banyak petugas medis yang masuk ke ruang rawat adik saya?" Tanya Erin bingung melihat banyak para dokter yang masuk ke ruang rawat adiknya itu.
"Kondisi pasien menurun. Pasien harus segera mendapatkan penanganan medis yang lebih dari ini." Jawab Suster.
"Menurun? Lalu langkah apa yang harus diambil untuk menyelamatkan adik saya, Sus?" Tanya Erin dengan panik. Bahkan tanpa sadar dia menggenggam tangan suster itu.
"Pihak rumah sakit belum bisa mengambil tindakan apa-apa untuk adik anda saat ini. Karena biaya rumah sakit adik anda sudah banyak menunggak. Anda harus melunasi itu semua baru pihak rumah sakit mengambil tindakan." Ucap Suster. Lalu dia masuk ke ruang rawat Rendi. Meninggalkan Erin yang sedang kebingungan sendiri di depan pintu ruang rawat itu.
"Biaya? Melunasi? Aku harus mencari uang ke mana lagi?" Ucap Erin. Dengan nada khawatir dan bingung bercanda aduk.
Bersambung