Chereads / My Chance / Chapter 13 - Gagal

Chapter 13 - Gagal

Entah ia harus berekspresi seperti apa. Elza merasa seperti dipermainkan, sudah hampir satu jam ia menunggu di kafe yang sudah dijanjikan, namun belum nampak keberadaan Kaira dan Arvin. Bahkan chatnya saja tidak dibalas oleh pria itu.

Setidaknya kalau tidak jadi bukankah harusnya di kabari.

Bahkan minuman yang dipesan Elza sudah habis tiga gelas, sebab tidak enak kan kalau hanya menunggu saja tanpa beli apa pun, nanti malah ia dikirai numpang wifian saja.

Temannya juga sudah menchat Elza bahwa istirahat makan siang sudah berkahir lima belas menit yang lalu, jadinya seharusnya Elza sudah kembali kalau tidak ingin dimarahi.

Elza pun akhirnya memilih untuk mengirimkan pesan suara kepada Arvin, mengatakan bahwa ia harus kembali bekerja, dan memaklumi kalau Arvin sepertinya sangat sibuk hingga tak jadi datang.

Walau dengan wajah sembab, Elza pun akhirnya memilih untuk pergi dari sana setelah membayar minumannya, pelayan yang melihatnya pun hanya bisa menatapnya sedih. Ia pikir Elza tengah menunggu pacarnya yang tak kunjung datang.

"Semangat mbak!" katanya pada Elza yang hanya dibalas senyuman singkat.

Sementara itu Arvin baru saja hendak mengabari Elza dalam perjalanannya pulang ke rumah, ketika ia memutar pesan suara Elza.

Arvin meringis, ia bahkan sampai memukul stir mobilnya.

"Elza pasti marah," gumamnya, lalu ingat pada putrinya yang jelas lebih marah lagi.

Mana ia tahu akan mendapatkan pasien seperti tadi.

Jadi kemudian Arvin pun mengirimkan pesan suara singkat berisi permintaan maaf, ia tak mengatakan alasanya tak hadir, ia hanya bilang agak sibuk dengan pekerjaannya saja tadi.

Elza pun hanya diam mendengarkan pesan suara dari Arvin, ia mengetik tidak apa-apa, lalu mengirimnya, setelahnya menepuk wajahnya agar terlihat biasa saja ketika masuk ke dalam ruangannya.

Hanya sekitar sepuluh menit saja jaraknya, Arvin pun sampai rumah juga, ia buru-buru turun, ketika mendapati Nek Tinah membuka pintu dengan wajah sedih.

"Kaira mana, Nek?" tanyanya.

"Dia ngambek, tidak mau keluar dari dalam kamarnya."

Bisa dibilang ini memang sudah ia duga sih, Arvin sendiri tak bisa menyalahkan Kaira kalau ia marah, sebab memang itu adalah kesalahannya, jadinya ia pun segera menuju ke kamar Kaira, pintu kamarnya kini setengah terbuka, sepertinya Kai mendengar suara mobilnya masuk, jadinya gadis kecil itu pun membukakkan pintunya.

"Kaira, Papa pulang," kata Arvin dengan hati-hati, begitu masuk ke kamarnya, baru ia sadari gadis kecil itu tengah berada di dalam tenda kemahnya, meringkuk di sana membelakangi Arvin.

"Papa bohong!" kata Kaira dengan suara khasnya, terdengar ngambek sudah jelas.

Arvin melangkah pelan menuju putrinya, ia kini duduk tepat di belakang Kaira, tidak masuk ke dalam tenda, ia berada di luar.

Membujuk Kai untuk keluar, ia tak masuk, sebab tendanya terlalu imut untuk ia masuki, nanti yang ada malah tenda mainan Kaira jadi rusak olehnya.

Kaira benar-benar ngambek sekarang, ia bahkan enggan untuk menoleh pada Arvin.

"Papa minta maaf ya Kai, papa gak bermaksud bohong kok."

"Tapi Papa enggak datang, pasti Kakak perinya sudah pergi," kata Kai dengan nada mengiba, bibirnya mengerucut.

Arvin mengulum senyumnya, di satu sisi Kai nampak mengemaskan ketika ngambek seperti ini.

"Iya, papa salah, tapi nanti kita bakalan ketemu kakak peri lagi kok, Kai udahan ya ngambeknya, "

"Hmph!"

Padahal biasanya mudah membujuk Kaira, misalnya dengan membelikannya es krim, atau mainan, tapi ketika ditawari Kai sama sekali tidak mau, ia bahkan tidak terlihat berniat keluar dari dalam tenda.

Hal ini pun di lihat oleh Nek Tinah yang berdiri di depan pintu kamar.

"Datangi saja rumahnya nanti malam, ajak Kaira sekalian," kata Nek Tinah setengah berbisik memberikan solusi, Kalau tidak begitu sepertinya Kai hanya akan menangis. Arvin mengganguk.

"Nanti malam kita main ke rumah Kakak peri mau?"

Begitu kalimat itu dilontarkan, Kaira langsung berbalik dengan wajah berbinar.

"Beneran Pa? Kita mau pergi ke rumah Kakak peri?" tanyanya.

"Iya, tapi Kai enggak boleh ngambek lagi ya."

Anggukan kecil pun langsung Kaira lakukan.

"Iya, Pa, Kaira gak ngambek kok."

"Nah, bagus, oh iya, Kai sudah makan siang?"

Gelengan kecil pun Kaira lakukan.

"belum, Kai nungguin papa."

"Ya sudah, ayo kita makan."

Melihat kedekatan kedua ayah dan anak itu sejujurnya membuat Nek Tinah ikut senang melihatnya.