Tangannya terampil mengikat dasi pada kemeja sang suami, sekaligus merapikan bagian-bagian yang nampak kusut pada kain itu. Wajahnya tersenyum puas ketika melihat lilitan rapi. Tungkainya mundur satu langkah, mengamati seluruh penampilan sang suami. Memastikan tak ada setitik kesalahan. Memberi anggukan kecil dirasa selesai mengurus Rayhan.
"Nanti siang ingin dimasakkan apa?" tanyanya bersamaan mendongak menatap manik suaminya.
"Daging mungkin,"
Mendengar jawaban itu, maniknya bergulir turun pada perut suaminya. Pun dengan berani Nara mengulurkan tangannya guna memegang perut yang tertutup oleh kemeja berwarna oren ini. Memberikan usapannya lembut dengan senyuman yang membuat matanya menghilang. "Sebelum dihajar besok," tuturnya yang mengarah pada lemak perut Rayhan.
Besok adalah akhir pekan, yang mana keduanya akan melakukan olahraga bersama. Sedikit menggoda sang suami justru membuat Rayhan menarik kedua bibirnya. Senang mendengar kalimat sang istri, tangannya memegang kedua pundak Nara, memajukan kepalanya mendekat ke arah leher sang istri. Memberikan tanda kemerahan di sana, tanpa mengetahui jika Nara sempat menahan nafasnya lantaran terkejut.
"Aku menandaimu sebagai milikku," kata laki-laki itu.
Nara mengerjap beberapa kali, ia melepas rematannya dari kemeja suaminya hingga menimbulkan bentuk tak beraturan pada kemeja itu. Mencoba untuk abai dengan perbuatan Rayhan, wanita itu bergerak guna merapikan ulang pakaian sang suami. Tak berniat menimpali kalimat Rayhan, Nara membawa tungkainya keluar kamar. Jantungnya sedang tidak aman jika terus berdekatan dengan Rayhan.
Saking gugupnya, tangannya terlalu kuat untuk menarik pintu, hingga menimbulkan debuman keras. Di dalam kamar, Rayhan hanya tertawa lirih dan menyusul sang istri yang memerah. Bersamaan tangannya menarik kenop pintu, Nara terlihat tengah mengusap dadanya beberapa kali, pun secara otomatis senyuman laki-laki itu terpasang.
Tibanya di sana, dengan segera wanita itu bersikap biasa, mengabaikan yang sebelumnya terjadi pada mereka. Bahkan, ia lupa jika lehernya terdapat hasil dari perbuatan sang suami.
"Aku akan memberi makan Molly," katanya setelah melihat suaminya duduk.
"Kenapa harus malu? Aku bahkan sudah memberimu lebih dari itu,"
"Terkejut," balas Nara dengan cepat.
Tak ada kalimat lain yang mengudara, pun laki-laki itu memulai kegiatan menghabiskan sarapannya. Selama mendalami kunyahan, sesekali laki-laki itu menolehkan kepalanya pada Nara yang baru saja mengeluarkan hewan gemuk dan lucu itu keluar dari kandang. Serta menyaksikan mahakarya di leher jenjang Nara.
-
-
-
Kedua tangan pualam tengah membuka pintu kotak pendingin, memandangi semua bahan makanan di setiap raknya. Kendati suaminya meminta daging sebagai bekal makan siangnya, wanita itu agak kebingungan. Pasalnya Rayhan tak mengatakan ingin dimasak seperti apa. Telapak tangan kirinya memegang dahi, sedangkan satunya memegang pintu kulkas, memandang dengan pikiran yang penuh akan berbagai macam resep makanan. Pun matanya bergulir ke kanan dan kiri meniti setiap sayuran dan bumbu yang berada di dalam sana.
Terdengar suara decakan saat tangan kanannya menarik plastik yang berisi daging segar serta beberapa jenis sayuran. Jika diolah bersamaan, suaminya tetap akan mendapat asupan sayur. Tumis daging sayuran bukanlah ide yang buruk, toh Nara juga belum pernah memasakkan jenis makanan itu pada sang suami.
Dibawanya semua bahan makanan itu menuju meja dapur, melipat lengan piyamanya dan mengikat rambutnya yang menjuntai ke tubuh depannya. Kedua tangannya terampil melakukan banyak pekerjaan disatu waktu, berusaha bergerak cepat supaya dapat menyingkat waktu.
Setiap hari melakukan pekerjaan seperti ini sudah membuat Nara terbiasa dengan letak dan kegunaan barang di rumah ini—meski beberapa kali sering terlewat. Namun tak ingin menampik kenyataan, jika pribadinya sempat merasakan adanya kebosanan jika selesai melakukan pekerjaan rumah. Iya, tak memiliki teman mengobrol.
Tak ingin mengandalkan tetangganya, karena setiap orang memiliki kegiatannya masing-masing. Toh, Nara juga tidak mengerti jika saja tetangganya itu memiliki pekerjaan yang tak pernah ia lihat sebelumnya. Memang ini yang ia dapatkan menjadi seorang ibu rumah tangga. Walaupun menerima uang hasil kerja keras suami, Nara sedikit-sedikit ingin merasakan bekerja kembali seperti dulu.
Mengingat pekerjaan lamanya, Nara teringat jika saat itu ia pergi ke tempat kerjanya yang lama. Meja lamanya telah terisi oleh presensi lain yang memiliki tugas yang sama dengannya dulu. Terkadang dia sampai ragu untuk meminta lagi pada Rayhan, pasalnya suaminya bersikeras untuk melarangnya bekerja. Apa boleh buat jika kecapan sang suami adalah perintah mutlak?
Sampai dimana ia selesai memasak, berniat meninggalkan masakan itu menuju kamar—menunggu hingga tidak terlalu panas. Nara bergegas untuk mengganti pakaian sebelum akhirnya memegang kotak bekal berwarna biru yang akan ia isi dengan masakannya.
Kali ini dia akan mengendarai mobil pemberian suaminya, Nara rindu berkendara. Memasukkan semua bekal dan beberapa camilan tambahan di dalam tas bekalnya itu. Sejemang menatap jam tangannya sebelum melajukan mobil berwarna merah meninggalkan pelataran rumah.
"Empat puluh lima menit dari sekarang," tukasnya.
Wanita itu berkendara dengan penuh kehati-hatian, lantaran ia tak ingin merusak makanan yang berada di dalam kotak bekal. Kendati tertutup rapat, dirinya tak ingin isinya nampak berantakan, apalagi jika mengenai tutup dari kotak bekal itu. Khawatir jika saat suaminya membuka akan mengenai barang atau pakaiannya.
Sejujurnya, dia bisa meminta sopir untuk membawakan bekal itu. Toh, saat ini sopirnya itu sedang tidak bekerja untuk suaminya, namun Nara sendiri yang menginginkan untuk membawakan bekal makan siang Rayhan.
Hingga waktu berlalu, mobil merah itu memasuki area perkantoran sang suami. Membawa mobilnya terparkir dengan kendaraan lainnya—milik para pegawai. Lantas berjalan keluar memasuki lobi. Semua orang menyapanya dengan sangat sopan, mengetahui jika Nara adalah istri dari pemilik kantor ini. Pun dengan ramah ia membalas semua senyuman pegawai suaminya. Merasa bangga terhadap suaminya yang mempunyai pegawai seramah mereka.
Langkahnya berakhir pada lift yang sudah ia tunggu sejak dua menit lalu. Hendak tertutup, sebuah tangan berjas itu menahan pergerakan pintu. Kedua alis Nara terangkat bersamaan, melihat Farrel yang memasuki lift ini. Keduanya saling terdiam setelah berucap hanya untuk bersapa.
Menunggu alat ini membawa salah satu dari mereka pada lantai tujuan—keduanya memiliki tujuan yang berbeda. Dalam diamnya, Farrel beberapa kali melirik ke arah istri dari temannya yang membawa bekal makan siang. Sudah jelas jika itu untuk Rayhan, namun sepersekian detik Farrel langsung membuka suaranya.
"Rayhan sudah memberitahumu?" tanyanya.
"Tentang apa?"
"Tentang mantan kekasihnya," jawab Farrel.
Nara mengangguk paham, pun menyematkan senyuman lembut pada teman suaminya ini. Kalimat berikutnya adalah balasan untuk ucapan Farrel. "Aku tidak akan memikirkan tentang itu. Aku mempercayainya,"
Suara denting dari lift ini berbunyi, mereka harus berpisah lantaran Farrel telah dulu sampai pada tujuannya. Kembali bersuara sebelum keluar dari alat ini.
"Yang terbaik untuk kalian,"
Nara kembali menutup pintu lift dan membawa dirinya menuju lantai keberadaan ruangan sang suami. Pikirannya benar-benar tenang ketika membawa tungkainya menuju ruangan Rayhan. Tetapi seorang wanita yang bekerja di depan ruangan Rayhan menahan pergerakannya dengan tangan yang menjulur ke depan.
"Maaf, Bu. Pak Rayhan sedang ada tamu," kata sekretaris Rayhan.
Pun membuat tangan Nara kembali turun dari pegangan pintu itu. Ia memahami keadaan sang suami yang tengah menemui tamu. Lantas Nara berjalan mendekat ke arah meja sekretaris cantik itu. "Siapa tamunya?" tanya Nara dengan suara lirih—tak ingin terdengar hingga ke dalam ruangan.
Sekretaris itu berdiri dengan kedua tangan yang berada di depan tubuh, bibir merah mudanya nampak bergetar setelah mendengar pertanyaan Nara. Dengan terpaksa ia memberi tahu pada istri dari atasannya itu.
"M-mantan kekasihnya,"