Di bandara, Rayhan dan Nara hanya diantar oleh sopir pribadi milik ayah Rayhan. Tak ada satupun anggota keluarga yang mengantarkan mereka, karena laki-laki itu sudah memikirkan jam keberangkatan yang tidak memungkinkan ada anggota keluarga yang akan mengantarkan mereka. Mereka ini hanya pergi selama satu minggu, jadi Rayhan pikir tak perlu bersikap berlebihan. Toh, pada kenyataannya mereka berdua tetap bisa melanjutkan perjalanan, kendati tidak ada keluarga yang mengantarkan.
Memang terkesan egois, namun begitulah Rayhan. Dia tidak ingin hidupnya terlihat seperti drama yang sering ditonton kedua orang tuanya tiap malam. Rayhan sampai menggeleng, jika melihat ayah dan ibunya terlalu larut pada tontonannya, hingga membuat keduanya berbicara, seolah penonton adalah pembuat jalannya cerita yang sempurna. Padahal, itu adalah cara untuk menarik emosi para penontonnya.
Kembali pada Rayhan dan Nara, mereka berdua sudah berjalan memasuki pesawat, Rayhan tengah mencari kursi milik mereka, dan Nara berada di belakang tubuh sang suami sembari memegang mantel Rayhan. Keadaan pesawat yang penuh, membuat keduanya kesusahan untuk berjalan. Para penumpang lainnya masih banyak yang berdiri untuk mencari kursi mereka ataupun tengah memasukkan barang-barang ke dalam kabin.
Tak lama, Rayhan akhirnya menemui kursi mereka. Mereka berada di sisi kiri, Rayhan menyuruh sang istri untuk duduk dekat dengan jendela. Saat ini, Rayhan juga sudah duduk di samping Nara setelah memasukkan barang ke dalam kabin. Dia memejamkan matanya dan menghela nafas kelewat panjang. Di sebelahnya, tangan Nara terarah pada tangan sang suami, ia menggenggam erat tangan kekar itu, hingga membuat Rayhan menoleh.
"Tidurlah, semalaman Mas Ray lembur," ucap Nara dengan lembut.
"Hm," Rayhan hanya bergumam singkat sebagai balasan kalimat istrinya.
Disaat laki-laki itu kembali memejamkan kedua matanya, Nara mengambil air minum pada tas tenteng yang ia bawa tadi. Tas itu berisi air mineral dan roti isi, barangkali suaminya akan lapar mendadak. Nara ingin membuka tutup botolnya, sayang tenaganya tidak kuat. Telapak tangannya sampai memerah, lantaran tutup botol yang terlalu kuat. Satu tarikan nafas ia ambil dan bersiap untuk membuka tutup botol itu. Namun, tangan sang suami langsung mengambil botol itu dan membukanya tanpa kesulitan, pun langsung diteguk oleh Rayhan.
"Seharusnya aku yang membukakan tutup itu untuk Mas Ray," kata Nara menatap Rayhan, dengan posisi tangan yang masih sama seperti memegang botol tadi.
Rayhan memberikan kembali botol itu pada tangan istrinya, menyeka sisa air menggunakan ujung lengan mantel yang ia kenakan. "Kalau begitu, tutupkan botolnya untukku," timpal Rayhan dan kembali memejamkan mata.
Untuk beberapa detik Nara memperhatikan wajah sang suami. Ia menutup botol itu dengan cepat, lantas kembali menoleh ke kanan, mengamati wajah damai suaminya disaat tidur. Nara mendadak terpikirkan kegiatan suaminya jika berada di kantor. Dia penasaran, apa suaminya akan tidur seperti ini jika malam sebelumnya mengerjakan perkejaan hingga larut. Lalu, bagaimana reaksi orang-orang yang melihat paras rupawan suaminya ketika memasuki ruangan. Mungkin, saat ini Nara agak iri, karena ini pertama kalinya ia melihat suaminya begini.
Dirinya mengulum bibirnya, merasa sedikit kesal hanya dengan membayangkan. Dengan sengaja ia mengembungkan kedua pipinya, serta menyipitkan mata ketika memandang Rayhan.
"Bagaimana bisa dia memiliki wajah setampan ini?" tanya Nara pada dirinya sendiri dengan suara lirih.
"Bukannya kau menyuruhku untuk tidur?"
"Ah, benar. Maaf,"
Nara mengembalikan posisi duduknya, kali ini ia menoleh ke arah jendela. Langitnya sangat cerah, bahkan hanya dengan sedikit awan tak menghilangkan keindahan dari atas sini. Detik setelahnya, seluruh bulu tangannya merinding mendapat bisikan dari Rayhan.
"Jika ingin menggodaku, nanti saja setelah sampai hotel,"
Dengan gerakan cepat, Nara menatap tajam sang suami. Bukan apa-apa, tapi mereka berdua ini masih berada di dalam pesawat, Nara khawatir jika ada yang mendengar kalimat Rayhan yang seperti itu. Tapi, dirinya juga tidak akan munafik, ketika tak bisa menahan senyuman karena godaan suaminya itu. Lantas, Nara berdeham untuk menetralkan tenggorokannya, ia kembali menikmati pemandangan di luar, serta masih membayangkan kalimat Rayhan tadi.
Tanpa ia sadari, jika Rayhan melihat istrinya yang menjadi salah tingkah. Apalagi saat ini Nara tengah memegang kedua pipinya yang memerah. Rayhan hanya mendengus singkat dan menahan tawanya, ia menggeleng kecil lantaran merasa gemas dengan Nara.
Setelah sekitar dua jam berada di dalam pesawat, mereka pun tiba di bandara. Melihat semua orang sudah bergerak mengambil barang-barang dan bergegas keluar, Rayhan masih setia di kursinya dengan mata yang masih terpejam. Nara sudah beberapa kali membangunkan sang suami, namun tak ada jawaban dari Rayhan. Karena merasa tidak ingin diam saja, Nara pun bangkit setelah melepas sabuknya, berniat untuk melangkahi suaminya. Sayangnya, tangan Rayhan menahan tangan Nara, membuat dirinya kembali terduduk.
"Nanti saja setelah semua orang turun. Kau akan kesulitan berjalan seperti tadi," celetuk Rayhan.
Nara baru menyadari, jika suaminya ini memang tidak tidur. Pantas saja, saat Nara mencoba membangunkan tadi, Rayhan sulit untuk bangun, yang mana suaminya itu sangat mudah untuk dibangunkan. Tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti ucapan suaminya, Nara memeriksa apakah ada barang miliknya yang tertinggal atau tidak.
Selang beberapa menit, Rayhan baru membuka mata dan melepas sabuk pengaman. Ia bangkit guna mengambil barang mereka, menggandeng tangan Nara ketika berjalan keluar pesawat. Mereka berdua langsung mencari taksi untuk mengantarkan ke hotel. Sembari menunggu, Nara membuka ponselnya untuk mengabari keluarga mereka jika dia dan Rayhan baru saja turun dari pesawat.
Nara mendengar suaminya memanggilnya ketika dia masih berkutat dengan ponsel. Rupanya Rayhan sudah mendapatkan taksi yang dipesan, lantas dirinya membawa koper dan tas menuju taksi. Rayhan segera memasukkan semua barang ke dalam bagasi, sedangkan Nara langsung memasuki taksinya.
"Mas lapar?" tanya Nara saat Rayhan baru saja menutup pintu.
Suaminya itu mengangguk, ia memberikan roti isi yang ia bawa tadi pada Rayhan. Dia juga menyiapkan air untuk suaminya minum. Selama perjalanan menuju hotel, Rayhan hanya fokus pada ponselnya, dan Nara baru bisa memegang ponsel setelah menghabiskan roti isi yang ia makan beberapa menit lalu. Tubuh mereka cukup lelah selama total perjalanan hari ini. Sampai hotel nanti, baik Rayhan dan Nara akan segera mengistirahatkan diri mereka.
Sesampainya di hotel, keduanya berjalan menuju lantai tiga setelah melakukan check-in. Rayhan mendapatkan rekomendasi hotel ini dari Farrel. Kata temannya itu, hotel ini memang digunakan para pasangan suami-istri untuk berbulan madu. Tidak heran, karena banyak sekali orang-orang yang berpasangan, tampak mesra ketika berlalu-lalang di sekitaran hotel ini.
Dari semua pengalaman, sepertinya hari ini adalah pengalaman yang akan sulit dilupakan, saat Nara dan Rayhan tidak sengaja mendengar suara desahan saat mereka berjalan menuju kamar mereka. Keduanya sempat terheran, karena saat ini masih terlalu sore untuk melakukannya. Mungkin, memang selera tiap orang berbeda.
"Terus jalan," ucap Rayhan.