Bersiap menggunakan pakaian santai, Nara dan Rayhan akan pergi bersama mengunjungi beberapa pusat oleh-oleh. Ini adalah hari terakhir mereka sebelum besok pagi akan melakukan penerbangan. Mumpung saat ini masih memiliki waktu sebelum berkemas.
Pasangan itu segera masuk ke dalam taksi yang telah dipesan. Di dalam sana, Nara sibuk dengan ponselnya yang sedang mencatat semua oleh-oleh yang akan mereka beli, serta beberapa lokasi pusat oleh-oleh yang ingin didatangi. Sedangkan Rayhan beberapa kali menoleh ke arah istrinya yang sibuk. Pun dirinya hanya menghela nafas panjang, menyandarkan kepalanya dan melihat ke arah luar jendela.
"Mas, ibu ingin oleh-oleh apa?" tanya Nara tanpa melihat ke arah suaminya.
"Cucu,"
Mendengar jawaban nyeleneh Rayhan, ia mengalihkan pandangannya dari layar ponsel menuju wajah sang suami. Wanita itu memukul pelan lengan sang suami. "Mas, tolong serius," pintanya.
"Kapan aku bercanda denganmu?"
Tepat setelahnya, ia mendadak mendapat panggilan. Dengan segera Rayhan mengambil ponselnya dari dalam saku jaket. Rupanya itu panggilan yang berasal dari temannya sendiri—Farrel. Sekilas saling bertatapan dengan sang istri sebelum menjawab panggilan itu. Jujur saja, Rayhan agak terkejut mendapatkan panggilan itu, karena tidak biasanya Farrel menghubunginya diluar jam kerja.
Namun, rasanya ia menyesal telah menjawab panggilan itu. Bagaimana tidak, belum saja dia bersuara, temannya itu lebih dulu melontarkan banyak pertanyaan. Membuat ia memutar matanya jengah. "Tidak usah meminta apapun, aku akan pulang hari ini," alibinya, pun Rayhan langsung mematikan panggilannya.
Ponselnya ia masukkan kembali ke saku jaket, sekilas melirik ke arah sang istri yang sejak tadi tidak mengubah posisinya sama sekali. Rayhan menaikkan kedua alisnya secara bersamaan. "Ah.." ia baru saja mengerti maksud tatapan sang istri. "Tadi itu Farrel, dia meminta oleh-oleh," katanya.
"Kalau begitu belikan saja sekalian un—"
"Tidak perlu," potong Rayhan dengan cepat.
Terdengar suara decakan dari Nara, ia menghela nafasnya seraya memijat pelipisnya. "Padahal aku belum selesai bicara," katanya, pun raut wajah Rayhan tidak menampakkan rasa bersalahnya. "Maksudku, kita belikan saja untuk istrinya, Mbak Anna. Dia selalu baik padaku," tambahnya, melanjutkan kalimatnya yang terpotong tadi.
Hanya anggukan kecil yang Rayhan berikan pada Nara. Lagipula, Rayhan juga tidak akan mempermasalahkan barang atau makanan yang akan dijadikan sebagai oleh-oleh untuk orang-orang terdekat. Ia akan menyerahkannya pada Nara, tugasnya hanya memberikan kartu pada sang istri. Lantas keduanya kembali terdiam dengan kesibukannya masing-masing.
Perjalanan mereka berdua menempuh waktu hingga dua jam lamanya. Pusat oleh-oleh memang terletak cukup jauh dari hotel. Bahkan, keduanya juga sampai bosan berada di dalam taksi. Beruntung rasa bosannya terbayarkan saat melihat pernak-pernik hiasan yang tertata rapi disetiap raknya. Wajah Nara tidak dapat melunturkan senyumannya. Tangannya langsung menarik lengan sang suami untuk menuju toko pernak-pernik itu, seketika ia mengabaikan daftar oleh-oleh yang sudah dicatat saat berada di dalam taksi.
Nara mengambil sepasang gantungan pintu yang manrik perhatiannya, ia menatap pada setiap sisi benda itu, lantas terdiam untuk beberapa detik untuk berpikir dengan alis yang berkerut. Dirinya sedikit menaikkan tangannya, menunjukkan gantungan pintu itu pada sang suami tepat di depan bola maniknya. "Apa kita belikan ini saja pada Mbak Anna dan Mas Farrel?" tanyanya.
"Mas?" Rayhan agak terkejut dengan sebutan untuk temannya itu. "Sejak kapan kau memanggilnya dengan sebutan itu?" tanyanya.
Nara memiringkan kepalanya, dia tengah mencari jawaban atas pertanyaan suaminya. "Entahlah," jawabnya singkat bersamaan menaikkan kedua bahu, namum perhatiannya langsung kembali pada benda yang ia bawa. Saat langkahnya akan dibawa menuju kasir, ia terkejut dengan kalimat yang dikatakan oleh Rayhan.
"Jangan memanggil seperti itu lagi. Kau terdengar seperti selingkuhannya," celetuknya asal.
Detik itu juga Nara geram pada sang suami, sampai-sampai terdengar suara gemertak yang berasal dari rahangnya. Tangannya juga teremat kuat, tak tanggung ia kembali memberikan pukulan yang lebih keras pada Rayhan. Jujur saja, Nara tidak tahu apa yang terjadi pada suaminya hari ini. Sejak berada di taksi tadi, Rayhan sudah memancing kekesalan.
"Bahkan, kau membuat istrimu terlihat buruk di depan suaminya," tandas Nara yang langsung meninggalkan Rayhan.
Sejak kejadian ini, mereka berdua saling diam, Rayhan hanya mengikuti langkah sang istri pergi. Kendati begitu, kartu kredit milik Rayhan berada di tangan Nara, semua barang yang menjadi oleh-oleh sengaja dilipatgandakan tanpa seizin sang pemilik kartu. Tak ada yang bisa Rayhan lakukan, bahkan ia tak mampu untuk mencegahnya. Diajak berbicara saja Nara tidak menyahut sama sekali.
"Rasakan itu! Tagihan kartu kreditmu akan membengkak!" ketus sang istri.
"Aku bekerja memang untuk membayar tagihan kartu kredit," balas Rayhan dengan santai.
-
-
-
Demi apapun, hati Nara saat ini terlampau kesal pada sang suami. Sejak Rayhan mengatakan kalimat yang menyakitkan, dia sama sekali tak mendapatkan kalimat permintaan maaf. Maksud Nara bukan seperti ini. Seminggu mereka melakukan bulan madu, dihari terakhir justru keduanya bertengkar. Disamping itu, dirinya merasa penasaran dengan sikap sang suami yang nampak sangat santai dan tenang. Sejak tadi tak ada yang mereka lakukan bersama selain saling berdiam dan mengabaikan satu sama lain. Nara sudah tidak tahan jika terlalu lama begini, Rayhan yang salah.
Tepat setelah sang suami menutup pintu, Nara langsung berdiri tegak di hadapan Rayhan dengan tangan yang membawa banyak kantung belanja. "Mas, tidak ada yang ingin dikatakan padaku?" tanya Nara sedikit emosi.
Yang semakin membuatnya naik pitam adalah gelengan Rayhan barusan, dengan cepat ia melepas kantu belanjaannya secara bersamaan ke lantai. Ia melepaskan sebuah tamparan pada pipi kiri Rayhan dengan cukup keras, pelupuk matanya sudah terdapat air yang menggenang.
"Aku tak menyangka jika hal ini akan terjadi di hari terakhir kita di sini. Aku sendiri juga tidak tahu, apa pasangan lain juga ada yang seperti kita ini," curahnya dengan satu aliran turun dari mata kirinya.
"Kau sendiri yang memintaku untuk mengatakan apa yang aku pikirkan,"
"TAPI KATA-KATAMU TERLALU KASAR, MAS!" bentak Nara.
Rayhan tak melakukan pembelaan apapun, ia melihat istrinya yang memutar tubuh menuju ranjang, hanya saja wanita itu terhenti secara mendadak. Laki-laki itu menyusul istrinya dan memeluknya dari belakang. "Maaf," ucapnya dengan lembut. Nara masih terdiam setelah melihat adanya buket bunga mawar berwarna merah dan sebuah kotak berwarna putih di dekatnya. "Aku tidak tahu caranya berbuat romantis, dan aku juga tidak ingin terlihat sedang melakukan hal romantis," sambung Rayhan.
"Apa ini?"
Sang suami melepaskan pelukannya, ia bergerak mengambil dua benda yang berada di atas ranjang. Buket bunga itu yang pertama ia berikan pada sang istri, lantas membuka kotak putih yang berisikan kalung dengan inisial namanya. Dia berjalan ke belakang tubuh Nara untuk memasangkan kalung itu. "Ingatlah, kau milikku," katanya.
Nara memutar tubuhnya menghadap sang suami dengan wajah yang sudah basah akan air matanya. Tangannya menyentuh kalung berhuruf R itu dengan wajah penuh tanya.
"Itu adalah kado ulang tahunmu bulan depan. Namun, saat ulang tahunmu aku harus pergi keluar kota. Karena itu aku meminta staf hotel untuk menyiapkan ini," jelasnya.
Semakin mengeluarkan air matanya, Nara memeluk sang suami dengan erat. "Mas, maaf, tamparanku terlalu keras," kata Nara, yang justru membuat Rayhan tertawa kecil. "Aku sudah terlanjur kesal denganmu," katanya lagi.
"Iya. Memang terasa perih,"