"Lama sekali," herannya seraya memeriksa jam di tangan.
Biasanya seorang wanita akan lebih lama bersiap dibandingkan laki-laki. Namun, hal ini terbalik pada Nara dan Rayhan. Justru Nara sudah lebih dulu berada di lobi guna menunggu suaminya yang belum keluar dari kamar mereka. Terakhir sebelum Nara keluar, suaminya berkata akan menerima panggilan kantor, namun sudah lebih dari lima belas menit Rayhan tak kunjung turun. Dia mendadak berniat untuk menghampiri suaminya, khawatir jika Rayhan mengalami sesuatu.
Langkahnya tergerak menuju lift bagian barat, membuka tasnya untuk mengambil ponsel dan menghubungi suaminya. Karena tidak memperhatikan jalan, benang pada pergelangan tangan pakaiannya tersangkut pada jam tangan seseorang yang tengah berjalan berlawanan arah. Nara juga terkejut saat dirinya sempat terbawa oleh orang itu. Dia segera meminta maaf karena kecerobohannya yang tidak memperhatikan jalanan. Nara hendak membalikkan tubuh dan kembali ke tujuannya, namun Rayhan sudah lebih dulu memegang kedua sisi tubuh Nara.
"Ada apa?" tanya Rayhan dengan suara beratnya.
"Tadi benang pakaianku tersangkut pada jam tangannya," jawabnya seraya memperhatikan pergelangan tangan pakaiannya yang terlihat berkerut akibat benang yang tersangkut. "Untung saja tidak parah," katanya lagi.
"Ingin mengganti pakaian dulu?" tanya Rayhan setelah melihat pakaian sang istri.
Dengan cepat Nara menggeleng, ia berkata jika kejadian ini bukanlah perkara yang besar. Keduanya memilih untuk tetap keluar, karena sudah mengulur banyak waktu sejak tadi. Rayhan merangkul tubuh istrinya ketika berjalan, ia melihat sang istri yang sedang membenarkan pakaiannya yang berkerut. Satu tangan lainnya ia gunakan untuk membantu sang istri.
Rencana hari ini, mereka berdua ingin mengunjungi tempat-tempat romantis yang bisa membuat keduanya semakin lengket. Kata salah satu penghuni hotel lainnya, ada sebuah tempat dimana laut menjadi pemandangan utama ketika dilihat dari tempat kincir angin. Penghuni itu juga mengatakan jika lebih baik datang ke sana saat hari mulai gelap. Namun, Rayhan ingin perjalanan mereka hari ini melewati tempat itu, agar ia tidak kecewa nantinya.
"Pantas saja," kata Nara, baru saja sang suami menjelaskan alasannya terlambat turun adalah berbincang dengan penghuni hotel yang memberitahu lokasi itu.
Selama di dalam taksi, Rayhan memperhatikan Nara yang menghadap keluar jendela sembari memakan permen jeli. Dia tersenyum tipis ketika melihat binaran yang terpancar dari bola mata sang istri. Mendadak pandangannya berubah pada sebungkus permen jeli yang sejak tadi istrinya makan. Perlahan ditarik bungkus itu tanpa sepengetahuan Nara hingga berada pada pangkuannya. Pun diam-diam ia juga memakan permen jeli.
"Maaass," panggilnya dengan nada yang panjang. Wajah Nara terlihat cemberut saat menyadari camilannya diambil oleh sang suami. "Kembalikan," ucapnya lagi seraya menadahkan tangan.
Yang barusan dipanggil pun mengabaikan panggilan itu, ia tetap lanjut memakan camilan Nara seraya bermain ponsel. Beberapa menit tak ada respon, Rayhan agak terkejut saat Nara akan mengambil paksa camilannya, dengan segera ia menjauhkan permen jeli itu dari jangkauan istrinya. Sampai akhirnya Rayhan mengalah lantaran merasa tak tega pada sang istri.
"Ini," katanya disertai dengan tawa kecil. Tangan kanannya bergerak untuk mengusap pucuk kepala Nara. "Jangan terlalu banyak, nanti gigimu sakit," peringat Rayhan.
"Aku bukan anak kecil," timpal Nara yang kembali pada posisi awal. Kali ini permen itu ia dekap sendirian, menjauhkan dari sang suami.
-
-
-
Setelah melalui satu setengah jam perjalanan, keduanya sampai pada suatu tempat yang ramai, karena ini adalah seperti pasar yang tumpah ke jalanan. Sepertinya memang mereka datang di waktu yang tepat. Nara langsung lepas begitu saja dari genggaman Rayhan, mendatangi para penjual yang menarik perhatiannya. Hanya dalam waktu beberapa detik saja, Rayhan sudah kehilangan presensi istrinya yang entah lari kemana.
Istrinya aktif sekali, Rayhan bisa kewalahan jika tidak mengawasi Nara dengan ekstra.
Kedua bola matanya bergerak guna memindai setiap tendanya. Keadaan yang ramai, menyulitkan Rayhan mencari Nara, ditambah ia tidak mengingat pakaian apa yang dikenakan oleh istrinya yang sejak tadi bersamanya. Beberapa kali Rayhan sama memanggil orang, ada yang terlihat seperti Nara dari tampilan belakangnya. Rayhan mencoba mengingat pakaian Nara, dan lepas ia berpikir, Rayhan ingat lengan pakaian istrinya adalah kain tulle berwana putih. Dia ingat lantaran sempat ikut membantu Nara membenarkan pakaiannya setelah tersangkut pada jam tangan orang lain.
Dia berjalan cepat seraya meniti satu persatu wanita yang mengenakan pakaian lengan panjang. Dan sekitar tiga menit ia berusaha, laki-laki yang hampir kehilangan detak jantungnya ini menemukan istrinya yang menghilang. Rayhan menggenggam erat pergelangan tangan Nara. "Jangan hilang lagi," kata Rayhan.
Dengan mata bulatnya, Nara mengangguk patuh. Tangan yang tengah digenggam pergelangannya itu memegang sebuah lampu tidur berukuran kecil. Ia meminta sang suami untuk melepaskan pergelangannya karena ingin memilih benda kecil itu.
"Tidak perlu," tangan Rayhan yang satunya ia gunakan untuk mengambil benda itu dari tangan Nara. Bertanya pada Nara pilihan lain yang dia inginkan, dan mengambilkannya menggunakan tangan kekarnya. Dua lampu tidur itu langsung dibayar oleh Rayhan. Lantas membawa istrinya pergi bersama tanpa melepaskan genggamannya.
Berjalan bersama seraya melihat barang-barang yang dijual lainnya, membuat Nara tersadar jika Rayhan masih menggenggam tangannya. Wanita itu melirik ke arah tangannya sebelum mendongak melihat wajah Rayhan yang lebih tinggi dari kepalanya.
"Takut ya jika kehilangan aku?" tanyanya menggoda sang suami.
"Lain kali akan aku pasangkan borgol," timpal Rayhan tanpa melihat ke arah Nara.
Mendengar kalimat Rayhan justru membuat Nara tertawa. Mengingat bagaimana wajah suaminya yang begitu khawatir saat menemukannya, ekspresi itu tidak akan Nara lupakan. Tapi, ia merasa kasihan juga pada suaminya yang terlihat kelelahan ketika mencarinya tadi. Lantas ia mengusap lengan sang suami penuh kelembutan, berharap suaminya tidak perlu terlalu khawatir akan dirinya.
Langkah mereka kali ini lebih tenang, Rayhan masih terus menggenggam tangan sang istri. Ia enggan melepaskan, khawatir jika akan semakin sulit mencarinya. Namun, saat Rayhan akan mengajak ke salah satu penjual kue, laki-laki itu terkejut ketika tangannya ditarik oleh sang istri yang mengarah pada penjual makanan pedas. Beruntung Rayhan tak melepaskan genggamannya, walaupun dirinya harus terhuyung mendapatkan tarikan Nara.
"Astaga, kau ini brutal sekali," heran Rayhan.
Pun Nara hanya terkekeh kecil mendengar kalimat sang suami, kedua pandangannya justru lebih terfokus pada makanan yang berwarna merah seperti ini. Nara mengigit jari terlunjuknya, melihat satu per satu jajaran makanan itu. Ah, sulit sekali untuk memilih.
"Gurita," bisik sang suami.
Rupanya bisikan itu sangat berguna untuk Nara, bahkan ia memilih gurita pedas sesuai bisikan sang suami. Lantas ia juga memilih ayam bakar pedas.
"Sudah cukup," kata Nara pada penjual. Ia mengeluarkan selembar kertas dengan nominal paling besar, namun langsung ditahan oleh Rayhan. Karena laki-laki itu yang akan membayar semuanya.
"Tetap disampingku, dan biar aku yang menghabiskan uang," kata Rayhan.