Kepulangan mereka disambut oleh ke keluarga, terutama Ibunda dari Rayhan. Dirinya tampak senang ketika melihat Nara yang tersenyum cerah dan berlari memeluk mereka. Rayhan saja sampai terabaikan. Tidak, dia tidak benar-benar terabaikan, ada satu orang lainnya yang lebih menghampirinya daripada Nara. Iya, dia adalah adik Nara, Indra. Bukan tanpa alasan adik iparnya menghampirinya lebih dulu, dia pasti akan menagih apa yang dijanjikan sebelum dia dan Nara pergi. Namun, selama Indra masih bungkam, Rayhan juga tidak akan membahasnya. Pasti adik iparnya itu juga menyadari jika kedua kakaknya baru saja pulang.
Mereka semua berjalan menuju mobil. Jujur saja, padahal Rayhan tak ingin merepotkan para orang tua, mereka bisa memesan taksi. Namun, tak disangka jika akan dijemput seperti ini. Mungkin juga karena Nara yang sebelum terbang sudah mengabari para orang tua. Memang, istrinya itu mudah sekali memikat hati dua wanita paruh baya ini—ibunya dan ibunda Nara.
Setelah selesai memasukkan koper ke dalam bagasi dengan bantuan Indra juga, Rayhan berencana untuk mengendarai, namun dicegah begitu saja oleh ibunya. "Duduklah di sebelah, biar ibu yang menyetir," kata ibunya.
Tak mengindahkan kalimat sang ibu, tanpa izin, dirinya mengambil kunci dari tas milik ibunya. "Ibu duduklah di belakang. Rindu Nara, 'kan?" ucapnya yang langsung memasuki mobil lebih dulu. Di sebelahnya sudah terdapat adik ipar yang tengah bermain dengan ponsel pintarnya. Secara mendadak Rayhan memberikan bungkusan yang berisi janjinya saat itu.
Raut wajah Indra yang tampak sumringah tanpa suara, ia hanya sedikit membuka dan melihat kotak bergambar kamera terpampang jelas. Di sebelahnya, Rayhan hanya menyimak kebahagiaan adik iparnya. Ia nampak iris mata Indra yang bergetar dan tak mampu menuangkan perasaannya melalui kata-kata. Pun ia hanya bisa bersuara lirih, "Terima kasih," ucapnya pada sang kakak ipar.
Selama kuda besi ini melaju, bising-bising terdengar di belakang yang disebabkan oleh dia wanita paruh baya dan seorang wanita berusia dua puluhan sedang membicarakan hal yang menarik atensi. Sesekali guratan mata timbul akibat tersenyum setelah diam-diam turut larut dalam obrolan para wanita.
Karena tenggelam penuh dalam obrolan, ketiganya tidak menyadari tibanya mereka di rumah anak-anak. Terdengar suara kekecewaan lantaran harus berpisah kembali. Disamping itu, ibunda Nara dan juga Rayhan tidak bisa berlama-lama bersama pasangan itu, mereka ingin memberikan waktu istirahat setelah melakukan perjalanan.
Tepat setelah menghilangnya mobil milik ibunda Rayhan, pasangan itu melangkahkan kaki memasuki tempat yang sudah seminggu lamanya ditinggal tanpa meminta seseorang untuk mengurusnya. Belum ada niatan untuk menuju kamar, keduanya bersamaan meletakkan diri pada hamparan busa empuk yang terbentang di ruang tamu yang telah memanggil mereka setelah memasuki pintu masuk. Tak dapat dipungkiri jika Nara dan Rayhan tak sanggup untuk menghindarinya.
"Mas, kita pesan makanan saja untuk nanti siang, ya?" tanya Nara.
"Iya,"
Rayhan melinguk dan menyimak paras ayu sang istri dengan kedua kelopak mata yang menutupi bola mata indahnya. Sebuah senyuman tipis yang lahir begitu saja, menarik atensinya untuk merengkuh tubuh Nara tanpa mendapatkan izin dari si pemilik tubuh. Dia mendapatkan kekuasaan penuh atas tubuh istrinya yang merasakan sesak. Laki-laki itu bebal saat dadanya mendapat pukulan bertubi-tubi dari Nara, ia bahkan tergelak sebelum akhirnya melepaskan.
Nafas yang tersengal dan rasa lelah yang mendadak sirna, Nara memandang aneh suaminya seraya memegang dada dengan bibir yang sengaja dimajukan. Membuat Rayhan ditelan kegemasan istrinya sendiri. Tangan kekar miliknya terbentang, mengajak sang istri untuk kembali masuk ke dalam dekapannya. Kali ini, dengan cepat pula Nara menolaknya, tak ingin ia merasakan kekurangan oksigen seperti tadi.
"Tidak, kali ini ayo kita ke kamar. Aku lelah," katanya guna meyakinkan Nara.
Setelah menelisik melalui retinanya, pada akhirnya Nara menurut dengan perkataan sang suami. Pinggangnya sudah merasakan tangan besar Rayhan bersemayam nyaman. Langkah demi langkah membawa keduanya masuk ke dalam tempat ternyaman di rumah ini, meninggalkan barang bawaan di ruang tamu. Sampai saat terdengar suara debuman pintu tertutup, Nara berteriak lantaran terkejut saat tangan suaminya merobek kaos yang ia pakai.
"MAS!!"
-
-
-
Sudah lewat tengah hari, Nara baru saja terbangun dari tidurnya. Tangan yang secara otomatis bergerak menyentuh pelipis ketika pening menyerang secara mendadak, memberikan pijatan kecil untuk meredakan peningnya. Ditolehnya presensi suami yang masih terlelap dengan dada yang terekspos. Iya, kaos yang dikenakan Rayhan tadi, kini beralih fungsi untuk menutupi tubuh Nara.
Memang benar, suaminya meminta untuk bermain, namun tubuh Nara benar-benar tidak bisa memenuhi kebutuhan biologis sang suami untuk saat ini. Beruntung, ia mendapat suami yang bisa mengerti dirinya. Sekilas menatap wajah Rayhan.
"Cih!" decihnya, Nara terkekeh kecil saat menyibak rambut. "Yang pendiam memang berbahaya," celetuknya.
"Aku mendengarmu, Nara," balas Rayhan dengan manik yang masih tertutup.
Wanita itu beranjak setelah menertawai suaminya, dia ingin membawa masuk koper yang berada di ruang tamu. Sekalian ingin memesan makan siang mereka. Sejujurnya, terlalu telat jika disebut sebagai makan siang, pasalnya saat ini sudah pukul setengah tiga.
"Mas, ingin makan apa?" tanyanya dengan suara lantang.
"Apa saja,"
Nara mengutak-atik ponsel guna mencari aplikasi. Ia menggulir layar ponselnya ketika memilih menu makanan. Lantas menggeret kotak pakaian itu menuju kamarnya, memisahkan antara pakaian kotor dan bersih. Namun, yang ditangkap netranya saat ini adalah sang suami yang nampak terburu memakai pakaian rapi yang diambil dari lemari. Entah ada kabar apa yang membuat entitas suaminya tergesa bersiap.
Ditambah, Rayhan langsung meraup kunci mobil saat mengenakan jaketnya. Bukan apa-apa, terbesit rasa khawatir mengingat suaminya ini pulang dan baru berisitirahat beberapa jam. Tak ada yang dapat dilakukan Nara selain melihat suaminya yang berjalan keluar kamar guna memakai sepatunya. Langkah Nara turut menghampiri Rayhan saat membawakan ponsel yang hampir saja tertinggal di ranjang mereka.
"Tak apa jika kau akan makan lebih awal. Milikku hangatkan saja nanti malam," ucapnya setelah mengecup kening sang istri dan melangkah keluar rumah.
Melihat dari pintu gerbang ketika mobil suaminya sudah melaju, ia menyadarkan kepala pada besi dengan tatapan yang sedikit sayu. Terdiam beberapa menit sampai salah satu tetangganya menyadari eksistensi dirinya di sini setelah seminggu tidak terlihat sama sekali. Iya, itu adalah tetangga yang juga pengantin baru seperti dirinya dan Rayhan.
"Bagaimana bulan madunya?" tanya tetangga itu.
Nara tersenyum, ia tergelitik dan malu diwaktu bersamaan saat mendapati lemparan pertanyaan itu. Berbagi cerita dengan dua ibunya saja, tidak akan bisa jika tidak dipaksa.
"Seperti yang lainnya. Seluruh perasaan tercampur," jawab Nara dengan amat santai.
Cukup lama perbincangan itu berlangsung di depan gerbang rumahnya. Bahkan, sampai makanan pesannya tiba, keduanya belum menyudahi obrolan. Namun, Nara bersyukur saat suami tetangganya ini memanggil. Bukan tidak ingin berinteraksi dengan tetangga, hanya saja keadaannya saat ini tidak mendukung.