Anggaplah Nara tengah kembali melakukan semua kegiatan masa mudanya. Semua yang dilakukan sendirian saat ia berada di kost. Tunggu, tapi tempat tinggalnya saat ini, sangat jauh disebut sebagai kost. Sulit untuk menganggap melakukan hal masa mudanya. Baiklah, Nara mengubahnya dan menganggap hari-hari biasa dimana ia ditinggal oleh sang suami. Pun akhirnya Nara berniat untuk pulang ke rumah orang tuanya. Setidaknya, ada teman yang bisa diajak bicara olehnya. Salah satu tangannya menarik tas dari atas nakas, bergegas turun untuk mencari taksi.
Pikirannya kosong, kepala yang ia sandarkan pada kaca. Tangan kanan masih memegang gawai—menunggu kabar dari sang suami—padahal, baru beberapa jam Rayhan meninggalkan dirinya. Nara sedikit terkejut saat kaca mulai ditetesi air dari langit. Daksanya sama sekali tak menyadari adanya langit yang menggelap, hingga awan tak mampu menampung muatannya lagi. Atensinya kembali terarah pada gawainya yang rupanya masih sama seperti tadi, air muka Nara kembali tertekuk. Sebuah helaan nafas keluar cukup panjang.
Sampai ia tak sadar jika taksi sudah berhenti tepat di depan gerbang rumah orang tuanya. Ia keluar dengan beberapa makanan yang ia beli tadi. Dirinya sengaja tak menekan tombol bel yang berada di depan gerbang, lagipula beberapa bulan lalu Nara masih tinggal di sini. Mungkin kesannya memang tidak sopan, lantaran dia sudah tidak tinggal lagi di rumah orang tuanya.
Tungkainya baru menapak pada pintu masuk, ia disuguhkan dengan pemandangan yang jarang ia lihat. Ada beberapa remaja laki-laki dan perempuan yang singgah di ruang tamu ini. Dapat ia tebak jika mereka adalah teman- adiknya. Nara tersenyum kikuk, bersamaan dengan sang adik yang baru keluar membawakan nampan berisi minuman. Melihat kakaknya berdiri di sana, Indra menghampiri.
"Tumben sekali kakak datang," kepalanya terarah ke belakang tubuh Nara, mencari presensi lain. "Kemana Kak Rayhan?"
Lagi-lagi Nara teringat Rayhan, ia mengalihkan pertanyaan Indra itu dengan memberikan satu kantung makanan untuk dibagikan pada teman-teman adiknya. "Ini untuk kalian. Kakak akan menemui Papa dan Mama," ucap Nara yang menghalau pergi setelah menyerahkan kantung itu.
Indra dilanda kebingungan, pandangannya melihat sang kakak yang berjalan masuk. Langkah kakinya mencoba untuk keluar rumah, tak nampak adanya mobil milik kakak iparnya. Itu tandanya memang sang kakak datang seorang diri. Remaja laki-laki itu mengedikkan bahunya, dan kembali membaur dengan teman satu kelasnya.
Sedangkan di ruang makan, ia melihat sang ayah yang sibuk menyantap makanannya. Sepasang tungkai putih itu sempat terhenti beberapa detik memperhatikan kedua orang tuanya dari jarak beberapa meter. Wajahnya sama sekali tak memasang raut kebahagiaan. Berjalan meletakkan sisa kantung belanjanya di atas meja makan, membuat dua orang paruh baya itu tercengang melihat putri sulungnya datang.
Ibunya yang berada di dapur saja sampai meninggalkan pekerjaannya—mencuci piring—berjalan dengan kedua telapak tangan yang penuh akan busa dari sabun. Sebuah senyuman lahir pada wajah yang sudah nampak akan kerutan itu. Berdiri di antara suami dan putrinya, merasa bahagia lantaran Nara sangat jarang pulang ke rumahnya setelah menyandang status sebagai istri seorang presdir.
"Rayhan mana?" tanya sang ibu.
Baiklah, memang tak dapat dipungkiri jika suaminya itu adalah menantu idaman ibunya. Nara melepaskan tas selempang ke atas meja sebelum menimpali pertanyaan sang ibu. "Pergi keluar kota,"
Terdengar suara seruputan yang berasal dari ayahnya, meletakkan cangkir hingga menciptakan suara dentingan. Cinta pertama Nara itu bisa merasakan bagaimana perasaan putrinya saat ditinggalkan sang suami. Pun laki-laki itu hanya terkekeh melihat Nara memasang air muka yang lesu.
"Dek," panggil sang ayah. "Papa tahu apa yang adek rasakan. Jadi, bersabar ya. Adek akan tahu arti sebuah kehadiran," tutur sang ayah.
Hanya anggukan yang Nara tunjukkan, seluruh jarinya bermain di atas meja kaca, serta sesekali melirik ke arah ponselnya lagi. Seharusnya Rayhan sudah memberi kabar, namun sejak tadi tak ada panggilan apapun. Awas saja jika nanti Rayhan menghubunginya, Nara tak akan tertarik dengan panggilan itu.
-
-
-
Hingga sore, Nara masih menampakkan diri di rumah kedua orang tuanya. Wajah wanita itu semakin kecut, lantaran ponselnya sangat sepi sejak pagi tadi. Presensi yang tengah ia tunggu kabarnya pun, tak kunjung memberikan kabar. Rasa gatal sudah menggerogoti jari-jarinya untuk nekat menghubungi sang suami.
Sudah tahu kakaknya sedang berada dalam suasana hati yang tidak bagus, secara tiba-tiba adiknya datang duduk di depannya seraya memakan es krim yang manis. "Kak Rayhan tidak akan selingkuh," celetuknya.
Yang tadinya dagu berada di atas meja, seketika terangkat. Kedua manik Nara menatap cukup tajam pada sang adik yang berceloteh dengan mudah. Nara saja tak terpikirkan sampai sana. Ini bisa membuatnya daksanya semakin memanas. Lantas dia beranjak dari sana, menghampiri sang ayah yang tengah menonton televisi. Merengkuh erat perut buncitnya, menghirup aroma khas yang keluar dari tubuh laki-laki itu.
"Sudah memiliki suami, masih saja menempel dengan papanya,"
"Karena sudah menikah, aku jadi tidak bisa seperti ini pada papa," timpal sang putri.
"Ingin pulang jam berapa?" tanya ayahnya.
Untuk beberapa detik Nara terdiam, sepertinya dia belum ada niatan untuk pulang ke rumahnya. Di sana akan sangat sepi, Nara tidak bisa mengobrol dengan siapa pun. "Aku ingin menginap, boleh tidak?"
Tanpa ragu ayahnya mengangguk, tentu saja tanpa Nara meminta izin pun akan tetap diterima di rumah ini. Tempat ini tetap menjadi tempat tinggal Nara juga, kapanpun sang putri ingin menginjakkan kaki di sini, keluarganya akan selalu menerima.
"Tentu saja," jawab sang ayah, mencium pucuk kepala Nara.
Bersamaan dengan sang ibu yang datang dan turun duduk di sebelah Nara, mengusap kepala belakang anak perempuan satu-satunya itu. Mumpung putrinya juga akan menginap, sang ibu memiliki rencana untuk berbelanja bersama. Sudah lama tidak melakukannya bersama. Lantas mereka bersiap, tak lupa untuk mengajak si bungsu.
Kendati di luar hujan, tak menghalangi mereka untuk memanfaatkan waktu kebersamaan yang belum tentu bisa dilakukan. Apalagi, Nara ini ditinggal pergi selama dua minggu. Ibunya saja berharap jika Nara bisa menginap selama Rayhan pergi, tapi Nara sendiri yang menolak dan khawatir rumahnya akan sangat kotor.
Sore hari ini mereka akan berbelanja kebutuhan rumah. Pun Nara juga akan membeli keperluan di rumahnya yang sudah mulai berkurang. Baik ibunya dan dirinya sama-sama membawa troli belanja. Keperluan mereka tidak akan sedikit, apalagi Nara itu kadang suka membuat kue secara mendadak jika sedang sendirian di rumah.
Melihat sang putri memasukan banyak barang ke dalam troli belanja, sang ibu tersenyum dalam diamnya. Nara pasti sangat memperhatikan suaminya, sampai ia tahu barang milik sang suami yang ditambahkan bersama dengan belanjaan lainnya.
"Kapan kau mulai menyukainya?" tanya ibunya secara mendadak.
Mencerna beberapa detik, Nara pun mengerti maksud pertanyaan itu. "Tidak tahu, tapi aku menyukai semua perlakuan dan perhatiannya," jawab Nara.
"Kalau begitu sudah mencintainya?"
"Belum," jawab Nara dengan suara lirih, serta kepala yang tertunduk.