Suara derap langkah sepasang pantofel baru saja keluar dari gedung perkantoran. Terpampang sebuah wajah yang letih dengan tangan yang membuka kancing jasnya. Berdiam diri di sana, menunggu sopir datang guna membawa keduanya menuju hotel. Tangan yang bergerak guna mengambil ponsel seketika terhenti pada kantung jas biru tua itu, lantaran tak ada gawainya di sana. Secara otomatis kedua alisnya berkerut, kedua tungkainya langsung masuk kembali ke ruangan rapat guna mencari ponselnya yang hilang. Mengabaikan mobilnya yang baru saja berhenti di depannya.
Rayhan berlari cepat demi benda pintar itu, barang yang nilainya sangat berharga sekarang ini. Bukan karena nominal yang ia keluarkan untuk mendapatkannya, melainkan siapa yang akan ia prioritaskan dari seluruh nomor di kontaknya. Melihat jam yang sudah menunjukkan lebih dari sebelas malam, Rayhan semakin panik saat ia teringat belum mengabari sang istri.
Beberapa meter sebelum tiba di ruang rapat, ia melihat seorang pekerja yang baru saja keluar dari ruangan itu. "Tunggu dulu, apa ada ponsel yang tertinggal?" tanya Rayhan pada pekerja yang mengenakan seragam khusus yang diberikan kantor.
"Maaf, pak, semua sudah saya periksa. Tidak ada satupun ponsel ataupun barang lainnya yang tertinggal," jawabnya jujur.
Mendadak kepalanya pening, langkahnya kembali terarah pada luar gedung. Dirinya akan meminta Andre untuk menghubungi sang istri. Rayhan sungguh tak ingat dimana ponselnya berada. Bayangan sang istri terus menghantui dirinya, berapa lama ia tak memberitahu Nara sejak tiba di sini. Pergerakannya cukup cepat saat memasuki mobil, tubuhnya agak condong ke depan guna menyuruh sopirnya itu untuk menghubungi Nara.
Tak memungkinkan untuk Andre menghubungi majikannya disaat dirinya tengah berada dibalik roda setir, pun ponselnya diminta oleh Rayhan. Ia segera mencari nomor sang istri, hanya saja saat pandangannya tak sengaja terarah pada sisi kanan yang kosong, sebuah jaket tergeletak begitu saja. Seketika Rayhan teringat jika ponselnya sempat ia masukkan ke dalam saku jaket.
Tanpa pikir panjang, tangannya tergerak mengambil jaket dan memeriksa seluruh saku di sana. Benar saja, yang sebelumnya daksanya nampak panik mencari keberadaan ponsel, kini ia dapat bernafas lega saat ponsel itu ditemukan di sana. Pun ponsel milik sopirnya ia kembalikan. "Aku tidak jadi pinjam ponselmu, ponselku sudah ditemukan," katanya.
Jarinya bergerak menggeser layar gawainya, sempat tercengang saat melihat ada banyak pesan dan beberapa panggilan dari Nara. Langsung saja Rayhan mencoba untuk menghubungi Nara. Sayangnya, banyak panggilan yang telah ia coba, tidak membuahkan hasil yang bagus. Nara sama sekali tidak menjawab panggilannya. Memang ada kemungkinan jika istrinya sudah terlelap.
Baiklah, tak ingin mengganggu jam tidurnya Nara, laki-laki itu memilih untuk beristirahat selagi dalam perjalanan menuju hotel. Semakin larut, pandangannya semakin kabur, lantaran selama rapat tadi dia terus menatap laptop dan layar proyektor secara bergantian tanpa henti, membuat tengkuknya turut merasakan pegal.
Hingga pagi datang, Rayhan terbangun sedikit telat, beruntung jadwalnya masih ada beberapa jam lagi. Kepalanya terasa cukup pening ketika melihat jam pada ponselnya. Namun, seketika kantuknya sirna, saat menyadari tak ada pesan apapun dari sang istri. Jari-jarinya langsung bergerak menghubungi nomor Nara, yang rupanya masih belum ada jawaban di sana. Perasaan khawatir mulai muncul, pun dengan segera beralih pada nomor ibunya.
Sejauh yang Rayhan tahu, Nara tak akan merajuk seperti ini karena tak mendapatkan kabar darinya. Sampai panggilan itu tersambung pada sang ibu, Rayhan langsung meminta ibunya untuk datang ke rumah untuk memeriksa keadaan Nara.
-
-
-
Mobil milik ibunda Rayhan berhenti tepat di depan gerbang besar. Dengan gerak yang cukup cepat, wanita paruh baya itu turun agar ia bisa segera menjumpai presensi sang menantu. Tepat setelah mendapat kabar dari putranya, tanpa pikir panjang langsung pergi dari rumahnya. Ibunda Rayhan juga tak ingin sesuatu terjadi pada menantu kesayangannya.
Beberapa kali menekan tombol bel, Nara sama sekali tak muncul. Tangan keriputnya bergerak untuk mengambil ponselnya di dalam tas, berharap jika Nara mau menjawab panggilannya. Namun, selang beberapa menit, rungunya menangkap suara kunci dari arah depannya, menampilkan sosok Nara ketika pintu itu terbuka. Wajahnya tak tampak senang ataupun sedih. Memang pada dasarnya wanita itu sering memasang air muka yang seperti ini, hanya saja kali ini berbeda.
"Ya ampun, kenapa sulit sekali dihubungi, sih?" tanya sang ibu mertua saat tungkainya dibawa masuk.
"Ponselku mati, bu. Baterainya habis," jawab Nara.
Kedua wanita itu membawa dirinya pada sofa ruang tamu. Nara masih memilih untuk bungkam saat ibu mertuanya banyak berbicara, membahas tentang suaminya. Dan karena hal itu yang membuat Nara khawatir jika ibu mertuanya secara mendadak turut menanyakan hal yang sama dengan ibunya kemarin sore.
Sejak pertanyaan yang dilontarkan ibunya dan mendengar jawabannya, mereka saling terdiam. Iya, Nara sangat paham jika jawabannya itu menciptakan kekecewaan pada ibunya. Namun, memang tidak bisa dipungkiri jika Nara belum sepenuhnya mencintai laki-laki yang dijodohkan dengannya, kendati dia menyukai semua perhatian dan perlakuan Rayhan padanya. Dan sekarang ia tengah berhadapan bersama ibu dari suaminya. Perasaan takut dan khawatir secara mendadak menyambangi dirinya.
"Biar aku ambilkan minum untuk ibu," dirinya bangkit setelah mengucapkan kalimat itu.
Dari jarak beberapa meter, jari lentik Nara tengah mengaduk gula yang bercampur dengan teh seduhannya. Hanya ada suara dentingan dari sendok dan gelas yang saling bertubrukan. Benaknya hanya terselimuti rasa kegetiran, perasaan bersalah terhadap suami dan orang tua mereka—terutama pada ibu mertuanya.
Satu tarikan nafasnya lolos begitu saja, membawa secangkir teh hangat itu menuju ruang tamu. Sebisa mungkin menetralkan tenggorakannya dengan deheman kecil serta senyuman lembut yang ditunjukkannya pada ibu mertuanya. "Silahkan, ibu," tangannya bergerak, membawa cangkir itu pada meja.
Wanita yang baru beberapa menit tiba di rumah besar ini menoleh dengan sorot tatap lembut nan menghangatkan, menggenggam kedua telapak tangan menantunya, serta memberikan usapan lembut guna membuat Nara merasa tenang. Ibunda Rayhan bisa merasakan sesuatu yang tidak beres menyerang menantu satu-satunya ini.
"Ada apa?" tanyanya. "Rayhan baik-baik saja di sana," ungkapnya lagi.
"Mungkin aku hanya lelah, karena kemarin di rumah Mama," jawab Nara.
"Tidak apa-apa jika membutuhkan teman, ibu akan menemanimu,"
Nara mengangguk disertai senyuman lembut, walaupun ada rasa bersalah, berat rasanya menolak tawaran ibu mertuanya untuk menemaninya. Wanita tua itu memeluk dirinya erat, benar-benar menumpahkan rasa kasih sayangnya pada Nara—bisa dirasakan oleh Nara—pun dirinya berujar ketika masih berada dalam dekapan ibu mertuanya.
"Ibu, aku minta maaf karena sudah membuat khawatir," ucapnya.
"Tidak, kau tidak salah. Wajar kau kesal karena Rayhan tidak cepat memberi kabar untukmu,"
Bahkan, ibu masih membelaku—batin Nara.