Hampir seminggu berlalu, Nara menjalankan kehidupan sebagai istri Rayhan tanpa adanya sang suami. Jika saja boleh jujur, dia merindukan suaminya, sangat. Karena kendati sudah berhari-hari melakukan semua pekerjaan sendiri itu tetap ada rasa kesepian dalam dirinya. Sesekali ketika tengah mengepel lantai, mengamati seluruh penjuru rumah kosong ini, Nara secara mendadak kehilangan tenaga untuk membersihkan rumah sebesar ini sendirian.
Apalagi saat ini ketika dirinya menatap kosong makan malamnya yang entah karena masakannya yang hambar atau memang karena dirinya terlalu merindukan Rayhan. Kunyahan dari suapan pertama saja sangat berat untuk dilakukan, dan berakhir dengan mencampur aduk makanan yang ada di atas piring menjadi tak beraturan. Dagunya dengan sengaja ia pangku menggunakan tangan kiri. Beberapa kali melihat ponsel dan makanannya secara bergantian.
"Kenapa dia tak menghubungiku?" tanyanya pada diri sendiri.
Suara dentingan terus mengudara ditengah heningnya malam. Bibir Nara terus meracau tak jelas kala suaminya tak memberikan kabar. Sampai ia mendengar samar-samar suara bel rumah yang berbunyi. Nara sempat melirik ke arah ponsel guna melihat waktu saat ini. Sebenarnya masih belum terlalu malam, tapi siapa orang yang berkunjung pada jam sembilan begini.
Tidak tahu kenapa, mendadak kakinya terasa agak lemas. Agak mengerikan jika menerima tamu di malam hari begini, apalagi Nara sendirian di rumah ini. Pun dia memberanikan diri untuk melangkahkan kakinya menuju pintu, melihat siapa orang yang menekan tombol bel rumahnya.
Mengintip dari korden ruang tamu, nampak seorang wanita yang Nara tidak mengenalinya. Sejujurnya, agak ragu untuk Nara berjalan ke arah gerbang, namun saat memperhatikan wanita yang nampak lugu itu masih sabar menunggu, hatinya tergerak untuk menghampiri. Ia rasa, berbicara dari balik pintu gerbang akan aman.
"Maaf, siapa? Dan perlu apa?"
Wanita itu memasang senyuman merekahnya, pribadinya mengangguk sebuah bingkisan yang dibungkus rapi, diberikannya pada Nara melalui sela-sela gerbang. "Aku adalah mantan Rayhan. Memang aku tak diundang di pernikahan kalian," wanita itu menahan kalimatnya beberapa saat, ia tersenyum tegar sebelum kembali bersuara. "Tapi, aku ingin memberikan hadiah pernikahan kalian. Aku ucapkan selamat menempuh hidup baru. Aku turut bahagia untuk kalian," imbuhnya.
"Terima kasih," ucap Nara seraya menerima bingkisan itu.
Detik berikutnya, wanita itu nampak membawa tas bawaannya lagi, ia langsung pamit dengan air wajah yang terburu. Padahal, Nara bisa mempersilakannya untuk meminum segelas air. Tapi keburu pergi meninggalkan Nara dengan penuh kebingungan. Pun Nara melihat wanita itu yang berjalan semakin jauh, hingga akhirnya tubuhnya tak lagi tampak Nara baru melangkah ke dalam rumahnya.
Dirinya memasang pandangan yang cukup lekat pada bingkisan itu. Terduduk di sofa ruang tamu seraya mengeluarkan isi dari dalam. Sepasang boneka dengan kartu ucapan untuk dirinya dan Rayhan. Tatapan Nara berubah menjadi lebih jengah untuk menatapnya lebih lama, lantaran pikirannya masih terbang pada sang suami. Barang itu ia masukkan kembali ke dalam paper bag, lantas diletakkan di ruang tengah.
Daksanya berjalan kembali pada meja makan, membawa piring dengan makanan yang sudah berantakan itu ke tempat pencucian piring. Membersihkan semua peralatan makan serta dapur yang di rasa kotor—walaupun sebenarnya tak nampak adanya kotoran.
Di kepalanya saat ini, Nara membayangkan wanita yang mengaku sebagai mantan kekasih suaminya. Demi apapun, Nara saja tak pernah bertanya perihal mantan kekasih Rayhan. Karena pada dasarnya, pernikahan mereka karena sebuah perjodohan. Hanya saja, untuk beberapa hari kebelakang, wanita itu mulai ragu dengan perasaannya sendiri. Entahlah, dia tak dapat menjabarkan apa yang sebenarnya ia rasakan.
Nara tak akan munafik jika dia sangat menyukai semua perhatian yang diberikan oleh Rayhan. Sifat dan cara bicara suaminya itu bak tokoh fiksi yang sangat didambakan semua wanita. Namun, untuk meletakkan perasaan cintanya, tak semudah ia menerima perjodohan ini.
Selang beberapa menit, Nara selesai dengan kegiatan dapurnya. Tungkainya berjalan ke arah kamar, menatap layar ponsel yang berdenyar. Nara ingin mencoba untuk menghubungi duluan, namun ia kelewat gengsi andai sangat kentara jika dirinya begitu merindukan Rayhan. Dia hanya membanting ponselnya ke atas ranjang, menatap langit-langit kamar.
-
-
-
Setelah seminggu berada di kota ini, Rayhan berpikir unruk segera menyelesaikan pekerjaannya. Semakin cepat ia mengurusnya, maka semakin cepat pula waktu untuk pulang dan menemui Nara. Dia sudah berbicara pada sekretarisnya untuk memajukan semua jadwal. Lagipula, semakin ia menyelesaikan dengan cepat, merupakan hal yang bagus. Apalagi beberapa hari ke depan adalah ulang tahun sang istri. Ini adalah kali pertamanya melewati ulang tahun Nara, dia seharusnya berada di sana.
Kalimat demi kalimat ia perhatikan dengan lamat, tak ingin satu hurufpun tertinggal dari pandangannya. Terlampau fokus saat menghadapi banyaknya berkas yang tertumpuk di atas meja. Memang agak sulit ketika bekerja tidak di atas meja yang biasa dipakai, konsentrasinya juga tidak maksimal. Bahkan, pikirannya terus melayang ke lain tempat. Kepala Rayhan benar-benar terasa pening.
Sejak tadi berkutat dengan semua lembaran itu, membuat dirinya tidak tersadar jika tergeletak nyaman di atas ranjang selama berjam-jam. Pun Rayhan segera melepas semua pekerjaannya itu berjalan menuju ranjang guna mengambil ponselnya. Lagi-lagi ia terlupa untuk mengabari Nara.
"Pasti dia menungguku,"
Tepat setelah kalimatnya, laki-laki bertubuh besar itu segera menghubungi nomer sang istri. Beruntung istrinya masih menjawab panggilannya itu. Tak ada suara apapun yang keluar dari birainya, hanya mendengar celotehan Nara yang memanggil dirinya. Diam-diam Rayhan tersenyum tipis hanya dengan seperti ini.
'Aku merindukanmu'
Adalah kalimat yang terurai dari speaker ponselnya, membuat jantung Rayhan bertalu tak karuan. Menggebu-gebu lantaran tak sabar ingin segera menjumpai sang istri di rumah.
"Bersabarlah. Aku akan pulang cepat," katanya sebelum panggilan mereka berakhir.
Senyuman Rayhan sama sekali tidak luntur, rasa semangat untuk menyelesaikan pekerjaannya pun bertambah. Ia bergerak kembali pada pekerjaannya, suara kerinduan sang istri menjadi energi bagi Rayhan. Konsentrasinya seolah kembali memenuhi kepala.
Hatinya cukup berbunga, wajah berseri hingga membuatnya nampak lebih cerah dan segar. Pengaruh kalimat Nara memang sedahsyat itu bagi Rayhan, dia juga membayangkan apa yang keberadaan Nara di kamar hotelnya ini. Hanya saja, kebahagiaan itu harus sempat tertunda, setelah mendengar suara ketukan pintu. Dengan segera Rayhan memasang wajah datarnya, berjalan ke arah datangnya suara.
Andre memang terkadang membuatnya menggeleng heran, sudah jam segini masih saja mengetuk pintu kamarnya. Padahal, Rayhan sudah memberitahu untuk mengirimkan pesan saja, ia tak akan masalah. Sopirnya itu terlampau sopan, dan melakukan semuanya untuk Rayhan secara tatap muka. Tubuhnya seketika terdiam, saat bayangannya tadi salah. Bukan Andre yang mengetuk pintu kamarnya, melainkan seseorang yang pernah ia kenal kala kuliah.
"Sudah lama tidak berjumpa,"