Sebuah kedai kopi menjadi tempat Rayhan dan teman kuliahnya itu bertemu. Beberapa hari setelah malam itu, keduanya dipertemukan lagi secara tidak sengaja. Keduanya memesan minuman yang sama, berbincang banyak hal lantaran lama tak bertemu. Nampak senyuman diparas keduanya. Tungkai kanannya terpangku di atas tungkai kiri, siku yang diletakkan di meja saat menyesap secangkir cappucino sembari mendengarkan percakapan yang sejak tadi dikuasai oleh Luhan—teman kuliah Rayhan.
Setelah menghadiri rapat terakhirnya, Rayhan mendadak ingin membelikan kado untuk sang istri, lantaran sesuai perkiraannya dia akan pulang beberapa jam sebelum ulang tahun Nara, namun sepertinya setelah mendapati temannya yang mengajak mengobrol seperti ini, perkiraannya akan meleset. Pun waktu untuk membeli kado juga akan mundur—entah sampai kapan. Pasalnya, nampak Luhan masih betah untuk berbincang dengannya.
"Terkadang aku memang merindukan masa-masa kuliah kita," ucap Luhan bersamaan menyandarkan tubuh pada dinding di sebelah kanannya. "Hidupmu semakin makmur saja. Aku iri," tambahnya.
Terdengar tawa renyah dari Rayhan, dia menatap temannya itu dengan senyuman miring. "Setiap orang memiliki porsinya,"
"Tapi, kau memiliki porsi yang lebih dibandingkan diriku. Kau memiliki perusahaan sendiri, dan kau juga memiliki wajah dan bentuk tubuh yang bagus. Aku tak sekeren dirimu, Han,"
Jika melakukan kilas balik dimana Rayhan dan Luhan bertemu untuk pertama kalinya di kampus, mereka adalah dua orang yang memiliki kesenangan yang mirip. Tentu saja, hal itu menjadikan keduanya semakin lama semakin dekat. Keduanya berada di kelas yang sama, dan selalu melakukan banyak hal bersama. Hubungan persahabatan mereka tak ada yang bisa menandingi. Pun banyak orang yang merasa iri akan hubungan erat kedua laki-laki itu.
Sayangnya, beberapa bulan sebelum mereka lulus, tanpa alasan Luhan menjauhi Rayhan. Berkali-kali Rayhan mencoba untuk mendekat dan meminta maaf pada temannya itu, namun Luhan tetap menghindar. Dan pada akhirnya mereka benar-benar seperti dua orang asing yang tak pernah kenal. Hingga saat ini, Rayhan masih belum tahu alasan Luhan menjauhinya, pun dirinya juga sudah tidak memiliki keinginan untuk mengetahui hal itu lagi. Dipertemuan mereka ini, sedikit membuat Rayhan canggung untuk kembali akrab. Ya walaupun dia tidak keberatan.
"Ayo, kapan-kapan kita melakukan hal seperti dulu lagi, walaupun tidak semuda dulu," ajak Luhan.
"Aku harus mengatur jadwal dulu, jika seperti itu," timpalnya.
Laki-laki di depan Rayhan mengangguk dengan kedua alis yang terangkat. Memahami bagaimana sibuknya Rayhan dengan semua jadwal yang padat. Selang beberapa menit, Rayhan membereskan semua barangnya, berniat untuk segera pulang, karena sudah terlalu lama dirinya berada di kedai ini.
"Kalau begitu, aku pamit. Istriku sudah terlalu lama aku tinggal," ucapnya.
Rayhan beranjak meninggalkan Luhan yang masih memilih untuk tetap tinggal. Sepasang tungkainya membawa daksanya masuk ke dalam mobil yang sejak tadi menunggunya. Pun melaju pergi meninggalkan kedai itu.
Selama sekitar dua puluh menit mereka melaju, Andre secara mendadak membuka suaranya setelah memperhatikan sang majikan dari spion atas. Dari kedua netranya, majikannya ini memasang wajah datar, namun ia yakin ada sesuatu tersirat dibalik retina itu. Andre cukup lama mengenal Rayhan, sudah jelas ia paham akan hal itu.
"Teman lamanya ya, pak?" tanya Andre.
Rayhan nampak mengerjap sebelum mengangguk beberapa kali. Pikirannya mendadak melayang pada masa lalunya, yang mengingat semua hal yang dilakukannya bersama Luhan.
"Kita jangan langsung pulang, cari kado untuk Nara," ucap Rayhan setelah membuyarkan bayangan masa lalunya.
"Ingin membeli apa, pak?"
"Menurutmu apa yang cocok untuknya?"
Andre terdiam sebentar, membayangkan wajah dan tubuh Nara. "Nona Nara cantik, saya rasa apapun cocok untuknya,"
Tepat setelah mendengar kata 'cantik', tatapan Rayhan berubah menjadi tajam ke arah sopirnya. Pikirnya, Andre sangat mudah menyebutkan kecantikan Nara didepan suaminya. Namun, detik berikutnya Andre membenarkan perkataannya, agar tak terjadi kesalahpahaman.
"Maksud saya, Nona Nara tidak akan terlihat buruk memakai atau membawa apapun,"
Kini Rayhan yang terdiam, menatap luar jendela seraya memikirkan sesuatu untuk diberikan pada sang istri. Rasa-rasanya dia telah berusaha untuk memberikan segalanya. Nara itu hanya kesepian ketika ditinggal seperti ini, hari-harinya pasti sangat kosong. Lantas, setelah berpikir sejenak, ia mengerti apa yang akan diberikan sebagai kado untuk istrinya itu.
"Kita cari toko hewan," titahnya pada sang sopir.
-
-
-
Waktu menunjukkan hampir dua belas malam, detik-detik menjelang hari ulang tahunnya, Nara merasa harus menunggu sesuatu sebelum ia tidur. Jika suaminya tidak bisa pulang malam ini, setidaknya ia akan mendapat ucapan ulang tahun pertamanya dari Rayhan. Tidak mungkin suaminya itu akan mengabaikan begitu saja. Walaupun kedua kelopak matanya hampir tidak bisa menahan rasa kantuknya, Nara tetap memaksakan diri untuk terjaga sampai ponselnya berbunyi.
Hanya saja, setelah di hari ulang tahunnya berjalan selama sepuluh menit, ponselnya masih diam dan tak menampilkan adanya panggilan ataupun pesan dari Rayhan. Agak kesal jika Nara rasakan, pasalnya bulan lalu Rayhan ingat jika Nara akan berulang tahun hari ini, tapi sekarang ia tak mendapat ucapan. Bisa jadi Rayhan memang sudah tertidur, karena sore tadi sempat memberi kabar jika dia akan ada rapat.
Alih-alih membaringkan tubuhnya, Nara justru keluar dari kamar dan berjalan menuju ruang tamu. Melihat keadaan luar rumah dari celah jendela. Siapa tahu, Rayhan memberikan kejutan secara tiba-tiba di depan rumahnya. Namun, tak ada siapapun di luar sana. Benar-benar kosong. Dirinya hanya menghela nafas, berjalan kembali ke kamar.
"Rupanya dia lupa," gumamnya sembari membawa daksa itu pada ranjangnya.
Perlahan kedua bola matanya tertutup rapat, membawa dirinya ke dalam mimpi. Usaha begadangnya tidak membawakan hasil yang bagus, karena suaminya memang tak memberikan kejutan apapun. Lagipula, bulan lalu Rayhan sudah memberikannya kado, walaupun disertai dengan drama anehnya.
Sampai menjelang pagi, Nara membuka kedua maniknya lebar. Melihat ke sekeliling kamar dan tak menampilkan apapun di sana. Bahkan, sisi lain ranjangnya masih nampak kosong—tak ada Rayhan di sana. Pun dirinya kembali merasa lesu, karena doanya semalam tidak terkabul. Dengan helaan nafas beratnya, Nara berjalan keluar kamar dengan kedua tangan yang menggulung rambut panjangnya. Menoleh ke ruang tamu, ia mendapatkan sebuah kotak berwarna abu-abu berada di belakang sofa.
Kedua tungkainya berjalan mendekat, kotak itu adalah sebuah kandang. Hanya saja tak ada hewan apapun di dalamnya, perasaannya mulai takut. Di rumah ini sama sekali tidak ada hewan peliharaan.
"Mas," Nara mencoba untuk memanggil, barangkali ada jawaban dari suaminya. "Mas, kamu sudah pulang?" cobanya lagi.
Sayangnya tak ada respon apapun. Nara kembali mengamati kandang kosong ini, serta memasang rungunya guna mencari suara yang menandakan keberadaan hewan. Selang beberapa menit, barulah ia mendengar suara kalung hewan dari arah belakang tubuhnya. Tepat setelah membalikkan badan dengan perasaan penuh ketakutan, ia malah dikejutkan dengan sang suami yang menggendong seekor kucing anggora berwarna abu-abu, berjalan dari arah dapur menghampiri Nara.
"Selamat ulang tahun, Nara," ucap Rayhan.