Rasanya masih seperti mimpi yang sejak kecil ia impikan. Apa yang dilihatnya saat ini berbeda jauh dengan kehidupannya sebelumnya. Semua perabotan di dalam rumah ini sangat modern, dan terasa sangat tidak nyata ketika Nara memilih untuk menatap tanpa berkedip. Ia akan terkejut, jika satu kedipan saja membuat semua ini menghilang, dan menyadarkan siapa Nara sebenarnya. Rasanya sudah seperti menjadi seorang ratu.
Tadinya Nara ingin menyapu lantai dan mengepel. Walaupun terlihat masih bersih, tapi Nara ingin tetap membersihkannya, hanya saja ia baru teringat jika mereka berdua ini baru pindah, Nara mengubah rencana menjadi membuat kue. Rencananya, kue itu akan dia bagikan pada tetangganya. Nara harus menyapa mereka, siapa tahu dirinya bisa cepat akrab dengan mereka semua.
Akhirnya, dia melangkahkan kaki menuju dapur lagi, mengeluarkan bahan kue yang akan dia buat nanti. Sebelumnya, Nara melihat waktu saat ini, dia memperkirakan waktu yang akan dibutuhkan hingga nanti selesai membuat kue. Dirasa waktunya cukup, dirinya segera membuat kue.
Sedangkan di lain tempat, Rayhan baru saja memasuki kantornya. Ia tersenyum tipis saat para karyawannya menyapa. Langkahnya belum sampai lift, dia sudah dibuat kejut karena temannya yang tiba-tiba membawa buket bunga untuknya. Pun akhirnya mereka berdua berada di dalam lift bersama, dengan Rayhan yang memasang wajah bingungnya.
"Aku hanya pindah rumah, bukan menikah lagi," celetuk Rayhan.
Merasa tidak melakukan kesalahan, Farrel hanya melipat kedua tangannya sembari melihat dirinya dari pantulan lift. "Memberi buket bunga itu tidak selalu ketika acara menikah. Bahkan, aku membeli karangan bunga saat istriku ulang tahun," balasnya.
"Berlebihan sekali kado untuk istrimu,"
Farrel semakin membuat wajah anehnya untuk mengabaikan kalimat Rayhan, sampai pada lantai dimana ruangannya, Farrel segera keluar dan meninggalkan Rayhan yang masih berada didalam sana. Namun, laki-laki itu sempat memutar tubuhnya menghadap Rayhan. "Jangan biarkan istrimu bosan karena sikap kakumu," pungkasnya dan langsung berjalan pergi bersamaan dengan pintu lift yang tertutup.
Tidak tahu kenapa, kalimat Farrel itu terus berputar di kepalanya selama menuju lantainya. Beberapa detik ia memperhatikan buket bunga yang diberikan oleh temannya. Ia jadi berpikir tentang semua yang pernah ia lakukan pada Nara. Apa selama pernikahannya ini, ia belum pernah sekalipun melakukan hal manis pada Nara? Mereka berpelukan dan berciuman, apa itu kurang cukup?
Pintu lift kembali terbuka, menandakan jika Rayhan sudah sampai pada lantai ruangannya berada. Dia berjalan sembari menenteng tas dan buket bunga itu. Barang pemberian temannya itu ia letakkan di sofa tanpa menghentikan langkahnya yang menuju kursi kerjanya.
Rayhan baru saja teringat jika nanti istrinya akan pergi bersama teman-temannya. Ah, Rayhan juga lupa menanyakan alamat lengkapnya. Tapi, ia khawatir jika Nara akan menganggapnya tidak sungguh-sungguh memberikan izin padanya—walaupun tidak sepenuhnya salah bagi seorang suami.
-
-
-
"Wah, kedatangan tetangga baru," adalah suara pemilik rumah yang Nara datangi.
Rumah itu adalah rumah terakhir yang Nara datangi, lantaran berada tepat disebelah dengan rumahnya. Rupanya tetangganya ini juga pengantin baru, hanya saja mereka sudah tinggal beberapa bulan lebih dulu di komplek perumahan ini. Nara cukup senang, karena ia pasti bisa berbagi cerita yang sama dengannya.
Dengan ramah Nara memberikan kue buatannya. Dirinya masih memiliki cukup waktu untuk berbincang sebentar dengan tetangganya. Lagipula, ini pertama kalinya ia berinteraksi dengan tetangga setelah menikah, saat di rumah orang tua Rayhan, dirinya belum pernah menyapa tetangga disana. Itu karena kebanyakan tetangga di sana tidak memiliki usia yang sama dengannya.
Baru saja tetangganya yang bernama Hera meletakkan gelas berisikan minuman dingin di atas meja. "Silahkan," katanya yang duduk berhadapan dengan Nara.
Diambilnya minuman itu, dan diteguk beberapa tegukan. Tak membutuhkan waktu lama hingga akhirnya mereka berdua bisa akrab dan membicarakan banyak hal. Namanya juga pengantin baru, pasti ada hal-hal yang belum mereka pahami, dan itu juga sedang dibicarakan, kendati tak menemukan jawabannya.
Acara bincang mereka berlangsung selama satu jam lebih tiga puluh menit lamanya, sampai Nara tersadar jika ia memiliki janji dengan teman-temannya. Akhirnya, dirinya lebih dulu berpamitan pada tetangganya itu. Dia merasa sangat senang karena bisa berkenalan dengan semua tetangga barunya. Ya, Nara ingin memastikan jika kedepannya mereka semua bisa lebih akrab lagi. Lantas ia beranjak dari sofa berwarna putih itu, berpamitan dan meninggalkan ruang tamu tetangganya ini.
Dia memasuki rumahnya, berjalan menuju dapur guna menyiapkan kue untuk sang suami. Tentu saja dia membuat lebih, agar suaminya juga bisa merasakan kue buatannya. Selesai memasukkan kue itu ke dalam kotak bekal, Nara langsung menuju kamarnya untuk mandi dan bersiap-siap mengunjungi kafe yang akan menjadi tempat pertemuannya bersama teman-temannya.
Sejujurnya, Nara agak takut jika ia berada di rumah besar sendirian. Memang, pintu rumahnya sudah menggunakan sandi, namun jika nantinya ia mendengar suara aneh, dia tetap akan merasa khawatir. Tapi mau bagaimana lagi, mereka berdua saja belum membicarakan tentang apa saja yang dibutuhkan setelah tinggal di sini. Dan selama mandi, perasaan Nara cukup tidak tenang. Dipikirannya terbayangkan seorang tamu yang sedang berdiri didepan pintu rumahnya. Semakin ia pikirkan, membuat Nara bergerak cepat untuk menyelesaikan acara mandinya.
Selesai berpakaian, buru-buru Nara keluar dan memeriksa luar rumahnya. Rupanya tak ada siapapun di sana, pun gerbang rumahnya juga tertutup. Entah harus apa, Nara menyesal sudah berpikiran seperti saat mandi tadi. Akhirnya dia berjalan memasuki rumahnya setelah memastikan gerbangnya benar-benar sudah tertutup.
Nara kembali menuju kamarnya untuk mengganti pakaian sekaligus merias diri. Kali ini Nara tidak ingin berpikiran seperti tadi, dan memilih untuk lebih santai menikmati waktunya untuk bersiap-siap. Lagipula jika ada tamu, dia akan mendengar suara bel berbunyi.
Lebih dari enam puluh menit ia bersiap, akhirnya Nara mengambil tasnya dan membawa barang yang ia perlukan. Baru saja keluar dari pintu kamar, ia terkejut melihat suaminya yang baru saja menutup pintu rumah. Dirinya terdiam dengan tangan kanan yang masih menegang kenop pintu sembari menatap sang suami yang berjalan mendekat ke arahnya bersamaan mengendurkan kancing pakaiannya.
"Mas sudah pulang?" tanyanya.
Air muka suaminya itu tidak kelewat datar, dia hanya sekali mengangguk dan mengalihkan pandangannya. Secara tiba-tiba ia berhenti didepan Nara, memandang dari ujung kepala hingga kaki. Ada sedikit rasa khawatir tentang tatapan Rayhan, membuat Nara menelan salivanya kesusahan.
Tanpa berkata apapun, Rayhan langsung memasuki kamar. Tak lama, ia kembali keluar dan menggenggam tangan sang istri menuju garasi mobil. Nara sendiri juga hanya bisa pasrah dengan apa yang sedang Rayhan lakukan. Sampai di dalam mobil, laki-laki itu masih bersuara, mau tidak mau Nara yang akhirnya bertanya lebih dulu.
"Kena—" sayangnya ucapan Nara terpotong.
"Aku akan mengantarmu," tandas Rayhan.