Chereads / TRIO HA / Chapter 4 - Bertemu Kembali

Chapter 4 - Bertemu Kembali

Hasna pulang ke rumah ayahnya. Sesampainya di sana, langsung disambut oleh bocah kecil berusia sekitar delapan tahun dengan berlarian. Hasna menegur supaya si anak jangan berlarian hingga lupa mengucapkan salam.

"Hasan nanti jatuh loh,"

Bocah itu tertawa kecil. "Kok Mama lama sih pulangnya?"

Hasna melirik arloji di pergelangan tangan kanan. Memang sudah cukup malam. Mengobrol bersama Hana sungguh susah untuk tidak berlama-lama hingga hampir lupa waktu. Perhatiannya kini kepada wajah Hasan yang tengah cemberut, merajuk karena sang ibu hampir seharian meninggalkannya bersama kakek-nenek yang cerewetnya tiada banding. Belum lagi kedua orang tua itu pun secara terang-terangan tidak menyukai Hasan.

"Maaf ya, Nak. Nanti kapan-kapan mama bawa Hasan jalan-jalan juga."

Wajah anak laki-laki itu berubah cerah. Lantas mereka masuk ke dalam rumah sambil bersenandung. Namun, dendangan itu terputus tatkala Aksa berdeham, tentunya dengan sengaja dan untuk menarik perhatian. Hasna menyunggingkan senyum.

"Kamu itu udah enggak muda lagi, udah enggak gadis! Tapi keluyuran sampai jam sepuluh malam! Apa pantas begitu? Perempuan tapi kok doyan banget keluar rumah. Apa kata tetangga nanti?" kalimat itu meluncur bebas dari mulut istri sang ayah.

Hasna diam saja. Dia malas berdebat karena jauh di dalam hati, ia juga mengakui kesalahan. Genggaman erat diterima Hasna dari putranya, Hasan.

Aksa hendak bersuara, tetapi kalah cepat dari putri semata wayangnya, "Kami enggak nginap di sini, Yah. Pulang aja."

"Nah! Dibilangin sedikit aja sudah merajuk! Kebiasaan!" cibir ibu tirinya.

Hasna tidak mengacuhkan cibiran itu. Dia memilih membereskan barang-barang putranya—Hasan—untuk dibawa kembali ke rumah kontrakan mereka. Setelah selesai mengemasi barang, ia langsung mencium tangan kedua orang tua tersebut yang diikuti pula oleh Hasan, lantas pergi malam itu juga, tak peduli meski sudah hampir jam setengah sebelas malam.

Hasna hendak memesan kendaraan umum di sebuah aplikasi ketika sudah berada di depan gang rumah ayahnya. Sebuah mobil Sport Utility Vehicle-Crossover berhenti di depan mereka. Kaca jendela terbuka dan menampilkan wajah si pengemudi. Hasna sedikit terkejut karena ternyata kendaraan yang diproduksi oleh Jepang dan berkantor pusat di Minato, Tokyo tersebut adalah milik saudara lelaki tertua Hana, yakni Hanan. Bukan karena kendaraanya, melainkan orang yang ada di bangku pengemudi itu alasannya. Banyak sekali pertanyaan bersarang di kepala Hasna. Salah satunya adalah alasan dari keberadaan Hanan di depan gang rumah ayahandanya.

"Saya baru dari tempat temen, mau pulang. Saya lihat ada Hasna, makanya berhenti."

Hasna mengangguk-angguk. Jadi tadi urusan yang dikatakan Hanan adalah pergi ke rumah temannya. Dia sungguh tidak khawatir dengan kafenya yang ditinggal begitu saja meskipun ada Hana.

"Oh gitu."

"Mau saya antarkan sekalian?" tawar Hanan.

Hasna menggeleng seraya berkata, "Gak usah, Bang. Gak usah."

"Hasna takut saya culik?" Hanan berkelakar, kemudian tertawa geli.

Hasna ikut tertawa dan akhirnya menyerah. Tawaran Hanan diterima. Sesudah itu, masuklah Hasna dan Hasan ke dalam mobil. Hasna menyuruh Hasan duduk di kursi depan, bersebelahan dengan Hanan yang membuat lelaki itu tersenyum lebar serta membantu Hasan memasang sabuk pengaman.

"Kalau aku lupa kenyataan bahwa kamu mustahil cinta dan menerima lamaranku, pasti aku mikirnya kamu lagi berusaha mendekatkan putramu Hasan dan calon suamimu, aku."

Dalam dengkusannya, ia tersenyum lebar, merutuki pemikiran konyol barusan. Melihat itu, Hasan serta-merta bertanya.

"Bukan apa-apa, Nak." Hanan mengelus kepala bocah itu. "Cuma teringat masa kecil aja." Hanan mengatakan kebohongan agar tidak malu. Mustahil juga kalau ia mengakui alasan dari tawanya itu.

Perhatian Hasna terfokus pada dua laki-laki di depannya. Mereka tampak santai dalam perbincangan. Hingga akhirnya tanpa sadar tertidur. Hanan hendak menanyakan tempat tinggal mereka, tetapi karena dari spion melihat wanita itu terlelap, dia batal mengajukan. Maka ia beralih pada Hasan, yang dijawab Hasan dengan baik dan fasih. Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai. Hasna pun terbangun.

"Maaf ya, Bang. Saya ketiduran." Nada suara Hasna terdengar canggung. Merasa malu dan tidak enak secara bersamaan.

"Santai aja," jawab Hanan.

Hanan membantu Hasan melepaskan sabuk pengaman. Ia juga membukakan pintu bagi anak lelaki itu.

"Makasih, Om." Hasan kini berada di luar mobil bersama sang ibu.

Hanan merespons dengan anggukan disertai senyum hangat, matanya menyipit dan terdapat kerutan di sekitar bagian wajah pada indera penglihatannya.

"Maaf, Bang. Saya enggak bisa ajak mampir. Sa—"

"Saya tahu, Hasna. Sudah larut juga. Tidak elok dipandang dan tidak pula pantas." Hanan dengan cepat memotong.

"Tapi lain kali boleh kok. Kalau lagi enggak malam. Ya kan, Buk?" Hasan bersemangat mengundang teman ibunya ini ke rumah mereka.

Hasna mengiyakan dan membuat Hanan tersenyum lebar.

"Terima kasih. Kapan-kapan, insyaa Allah mampir."

Setelah itu mobil Hanan pun meluncur meninggalkan tempat tersebut dengan hati yang berbunga-bunga.

***

Hasna adalah teman sejak masa SMP Hana. Mereka belum dekat saat itu. Jangankan dekat, dikatakan menukar sapa dalam sehari juga tidak. Hasna adalah salah satu siswi populer dan mendapat peringkat satu di kelas dan peringkat sepuluh umum. Sedangkan Hana ada satu tingkat di bawahnya. Juara sebelas umum dan juara dua kelas. Mereka selalu berada di kelas yang sama dan menjadi pasangan kontes cerdas-cermat sekolah. Uniknya, meski keduanya melawan juara umum, tetapi mampu membabat habis mereka semua ketika lomba diadakan. Lebih aneh lagi, mereka bukanlah teman yang bisa dikatakan dekat atau akrab, bahkan mereka tidak berteman. Hasna cenderung menjauhinya—menurut rumor yang beredar—karena gadis itu miskin dan tidak berpenampilan menarik. Hana bukannya jelek, tapi tidak memedulikan penampilan saja. Selain itu, riwayat keluarganya pun berantakan. Banyak yang menjauhinya karena hal itu, termasuk Hasna.

Seperti saat Hana mencoba mendekati Hasna karena Hanan, kakak lelakinya itu terlihat berminat pada sang teman. Hana juga sering memerhatikan Hasna yang tampak ingin memiliki sandaran di balik pembawaannya yang tegar dan tegas.

"Mau apa kamu dekat-dekat Hasna? Mau minjem uang?" Demikian kata salah satu teman Hasna kala itu.

Hana menatap tajam pada siswi yang terang-terangan menghina, seakan-akan dirinya adalah seekor harimau yang hendak menerkam seekor kijang.

"Apa? Adakah yang salah dari kata-kataku? Tadi aja gak bisa bayar uang kas. Lima ribu aja pun nunggak. Gak bisa beli es di pelajaran olahraga, bawa minum pakai bekas botol mineral. Parah banget miskinnya dah, Heran."

Hasna merasa kawan sepermainannya ini sudah melewati batas. Dia memang menjauhi Hana dan tidak ingin berteman dengan gadis itu, tetapi dia juga tidak pernah ingin menyakiti gadis itu baik fisik maupun hati.

"Miskin bukan dosa, Rumia." Hasna menatap tajam. Lalu beralih menatap Hana seraya berkata, "Kamu mau apa dariku, Hana?"

Hana menggeleng. "Enggak sekarang, tapi mungkin nanti bakalan aku bilang."

Hasna tidak tahu apa maksudnya. Namun sampai saat itu tiba, dia terus dilanda rasa penasaran. Pada pandangan Hasna, mata gadis itu lebih tajam dan lebih berani dibandingkan mata miliknya. Dia bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya alasan tidak ingin berdekatan dengan Hana adalah karena rumor dari kawan-kawannya atau karena sesuatu yang dimiliki oleh gadis itu tapi dia tidak memilikinya. Lamunannya buyar tatkala Rumia menggandeng untuk keluar kelas.

"Traktir aku ya, Has."

Hana tersenyum miris mendengar kalimat Rumia. Perempuan yang mengaku lebih kaya dari dirinya, tapi selalu mengemis traktiran kepada Hasna. Setidaknya ia bernilai lebih dari Rumia. Biar kata miskin tapi tidak bermental pengemis.