Hasna Lily binti Aksa Burhandi bukannya tidak merenungi kata-kata Hana. Dia sadar betul bahwa yang gadis itu katakan banyak benarnya. Akan tetapi, bukankah ketika jatuh cinta, maka nasehat sebaik dan selembut apa pun tidak akan mempan bagi si pencinta? Mengesampingkan logika, Hasna bersikap masa bodo. Gadis itu juga membohongi diri dengan mantra bahwa Hana benar-benar hanya iri kepadanya.
Seingat Hasna, sejak mengetahui dirinya berpacaran dengan Dion, Hana seperti menjaga jarak dari dirinya. Bahkan nada suaranya juga terdengar dingin dan menusuk. Padahal dulu, Hana adalah satu-satunya orang yang memperlihatkan kemanjaan dan nada suara hangat kepadanya. Tentu saja Hasna memerhatikan itu. Jika boleh jujur, Hasna merasa ada yang hilang dan hampa ketika Hana menjauhinya. Perempuan itu tidak mengerti mengapa demikian. Padahal, dia yakin sekali berada di pihak Rumia, selamanya dan takkan berubah haluan. Hanya Rumia yang dianggapnya sahabat dan bisa mengerti dirinya.
Memikirkan hal itu membuat kepala Hasna pening. Pada jam istirahat, dia memilih menyendiri dulu, untuk menenangkan pikirannya yang penuh. Memikirkan mata pelajarannya, Hana, Dion dan perasaannya yang tak bisa dia mengerti. Perasaan yang mengarah kepada Hana. Dia sendiri bingung mengapa harus memasukkan Hana ke dalam daftar yang harus dipikirkan.
"Hey, Sayang! Kamu kok melamun aja? Melamunin apa?" Remaja putra yang digadang-gadang sebagai siswa tertampan dan terpopuler itu menghampiri kekasihnya yang duduk sendirian di samping perpustakaan.
"Dion." Hasna bersuara lemah.
"Oh, melamunin aku?"
Hasna tidak menanggapi kelakar Dion. Dia hanya tersenyum lemah. Jelas saja itu tertangkap jelas dari indera penglihatan remaja putra tersebut.
"Hasna kenapa? Sakit? Mau aku anterin ke UKS? Istirahat ya? Minum obat." Dion memegangi pundak Hasna.
Hasna menggeleng. "Aku enggak apa-apa kok."
"Beneran nih?" Dion memastikan.
Hasna mengangguk yakin, meski hatinya tidak sedang meragu.
"Ya udah. Hasna kalo ada apa-apa, kasih tau aku aja langsung ya? Kirim pesan atau BBM-in aku. Oke, Sweety?" Dion berkata manis dan lembut.
Hasna memberikan senyuman manis. Siapa yang tidak luluh dengan perhatian yang diberikan oleh orang yang disukai. Demikian pula dengan Hasna. Dion adalah cinta pertamanya dan perasaan kuat begitu menancap di dalam relung hati gadis itu.
Dion mengusap-usap hidung Hasna sembari tersenyum lebar, hingga matanya menyipit. "Hasna cantiknya buat aku susah berpaling. Ngelirik cewek lain aja enggak bisa."
Rayuan itu membuat Hasna bersemu. Pipinya merona bagaikan tomat. Senyumnya pun tak dapat ia tahan, bibirnya melengkung tanpa disadari, membentuk senyuman yang sama lebar dengan punya Dion.
"Tuh, kan! Makin manis deh kalo senyum gitu." Dion kembali menggoda.
Kening Hasna mengernyit, bibirnya maju. Pura-pura merajuk atas godaan Dion. Padahal jauh di dalam hatinya, merasa senang tak terkira. Remaja putra itu tertawa geli. Matanya tak bisa berbohong, pancaran itu benar-benar menyiratkan kecintaannya kepada Hasna.
"Coba tebak!" Dion mengalihkan topik. Tangannya sudah tak mengelus hidung Hasna lagi, tetapi berpindah ke pipi.
"Tebak apa?" Mata mereka saling beradu pandang.
"Dina dan Hadi. Siapakah mereka?" Dion menirukan gaya guru mendikte soal ulangan harian.
Hasna tampak berpikir. Lama, hingga ada sekitar dua menit. Dion setia menunggui. "Kucing?"
Dion menggeleng, tapi bibirnya setia menyunggingkan senyuman. Hasna kembali berpikir dan akhirnya menyerah ketika semua yang dia sebutkan salah. Bahkan Dion sempat tertawa dengan jawaban-jawaban yang diberikan Hasna.
"Nama calon anak-anak kita." Kini tangan Dion menggenggam tangan Hasna.
Jawaban Dion membuat Hasna gemas sekaligus tersipu. Untuk sejenak, gadis itu dapat melupakan masalah-masalah yang bersarang di kepalanya. Dion memang paling jago membuat Hasna lupa pada kepenatan.
"Apaan sih?" Hasna pura-pura kesal dalam suasana hari yang membuncah ria. Seperti akan meledak karena kesesakan akibat kebahagiaan.
"Dina. Di-nya Dion. Na-nya Hasna. Hadi. Ha-nya Hasna, Di-nya Dion. Cantik kan?"
"Cantik." Hasna mengangguk seraya tersenyum lebar.
"Nah, iya kan? Sama kayak ibunya yang juga cantik."
Hasna memalingkan muka. "Udah dong, jangan gitu terus. Aku malu."
Rajukan menggemaskan dari Hasna mengundang tawa Dion. Lantas, suasana canggung dan dingin beberapa saat lalu, tergantikan dengan suasana ramai dan hangat. Hasna bertambah suka pada Dion yang selalu dapat mencairkan suasana san menyenangkan suasana hati.
Detik berganti menit, begitu pula menit berganti jam, kemudian berganti lagi hari, demikian seterusnya. Pada suatu ketika, Hana pernah merajuk kepada Hanan karena tidak diizinkan ikut berdarma wisata. Kala itu Hanan mengaku tidak memiliki cukup uang. Sebenarnya Hana bukanlah tipe anak yang akan tantrum jika keinginannya tidak terwujud. Dia sudah terbiasa hidup kekurangan sejak bayi. Hinaan pun sudah menjadi makanan sehari-hari. Hanan pun penasaran apa yang membuat adik kesayangannya yang biasanya baik dan pengertian malah bersikap demikian.
"Abang ganti di hari lain. Kita liburan sama-sama nanti ya?" bujuk Hanan pada suatu sore kala itu.
Hana tidak menjawab. Matanya sembab karena menangis. Dia tidak peduli dengan usianya yang hampir tujuh belas.
"Adek jangan merajuk lah. Abang gak ngerti bujuknya."
Hana masih tidak mau bicara. Andai saja Hanan tahu apa penyebab perasaan Hana tidak keruan. Hanya lima persen saja akibat tak diizinkan mengikuti darma wisata. Sisanya yang sembilan puluh lima persen disebabkan oleh Hasna dan Dion, oleh hubungan mereka berdua. Pasalnya, Hasna seperti tidak memberikan ruang kepada siapa pun untuk menggantikan Dion, si ular jantan. Begitu Hana menyebutnya.
"Oh, iya! Bulan depan kayaknya kita pindah." Hanan mencoba peruntungan, berharap menarik atensi adik seibunya.
"Kenapa pindah? Ke mana kita pindah?" Berhasil, Hana menanggapinya.
"Pindah karena rumah ini udah enggak layak. Pindah karena akhirnya kita bisa beli rumah dan itu kontan. Ke mana? Itu rahasia dulu. Tapi pasti Hana suka." Hanan mengambil sisir dari tangan Hana, dan membantu adiknya itu merapikan rambut.
Mata Hana langsung berbinar-binar sampai-sampai ia melupakan kekesalan kepada Hanan.
"Kok bisa? Abang menang lotre?" kelakar Hana seraya berbalik membelakangi kakak lelakinya.
"Enak aja! Ini cara halal kok."
Hana menertawai gaya bicara Hanan. Namun, tawanya terhenti saat menyadari sesuatu. Jika bisa membeli rumah artinya tabungan sudah lumayan banyak atau setidaknya memiliki uang dalam jumlah yang tidak sedikit. Jika demikian, mengapa menolak perizinan yang diajukan oleh adiknya sendiri? Memikirkan ini, Hana kembali kesal. Hingga Hanan menjelaskan kesalahpahaman mereka.
"Uang buat beli rumah sudah jauh hari dititipkan sama temen. Khusus sebulan sekali. Nah, uang lain-lain terpisah dari uang rumah. Gak bisa seenaknya kan kita ambil buat keperluan lain. Nitip kok gitu. Abang bener, kan?"
Hana setuju dengan pendapat Hanan. Memang harus ada skala prioritas. Dengan cepat dia mengangguk. Hanan tersenyum sambil mengusap kepala adiknya yang rambutnya sudah rapi.
"Memangnya kapan pembayaran terakhir?" Hanan menyerahkan sisir dan membalikkan tubuh Hana agar mereka berhadapan.
"Besok. Tapi kalau besok bukan sama bendahara atau wali kelas lagi ngasihnya, tapi ke BP. Nggak taulah. Kan enggak ikut, ngapain musingin mikirin itu."