Chereads / TRIO HA / Chapter 9 - Fatamorgana

Chapter 9 - Fatamorgana

Sesampainya mereka di sana, Hana dibuat takjub. Belum pernah ia sekali pun menginjakkan kaki ke pusat perbelanjaan besar ini. Paling mewah hanya swalayan dekat rumah mereka saja. Jangankan untuk hal itu, selama ini, untuk makan saja susah. Beruntung dia masih bisa bersekolah. Hana tidak menyangka bisa melihat gemerlapnya kota, sejuknya air conditioner, dan euforia karena hal lainnya. Matanya sampai berkaca-kaca karena dulu hal ini hanyalah sebuah keniscayaan yang mungkin tidak akan terwujud dalam waktu dekat. Bagaimana tidak? Selama ini kehidupan mereka benar-benar jauh dikatakan dari kata cukup. Hinaan dan cacian sering datang dari orang lain, tetangga bahkan kadang kerabat sendiri. Alasannya ya karena mereka sangat miskin. Tak banyak yang mau berteman dengan mereka karena tidak bisa diandalkan dalam hal keuangan. Orang-orang itu menganggap Hana dan Hanan seperti kuman yang harus dijauhi. Kalau misal datang ke warung, bukan ditanya mau beli apa, tetapi dengan wajah ketat akan disindir dengan kata pasti mau utang lagi. Kadang malah pura-pura tidak melihat dan tak diacuhkan, kalau sudah begitu, Hanan atau Hana biasanya akan meninggalkan warung dan berjanji akan melunasi jika sudah punya uang, lantas esoknya sampai memiliki uang akan memakan nasi pakai garam, kecap atau nasi goreng putih dengan irisan bawang merah dan putih. Listrik dan air pun pernah diputus karena menunggak beberapa bulan. Hana saja jarang bisa jajan. Ada untuk ongkos saja sudah baik. Kadang dia malah berjalan kaki. Jika ada iuran mendadak, dia akan menundanya sampai besok. Namun, ada kalanya guru atau bendahara di kelasnya tidak mau tahu tentang itu. Mereka memaksa dan sedikit menghina.

"Kalau mau sekolah, ya butuh modal. Gak ada modal mending di rumah aja!"

"Masa dua ribu aja enggak ada. Semiskin apa sih?"

Satu kalimat pertama didapatkannya dari seorang guru dan kalimat berikutnya dari segelintir teman-teman di kelas, termasuk Rumia. Berulang kali dia harus menahan perih di hati ketika dihina seperti itu. Namun, atas didikan abangnya, dia mampu bersabar. Sebagai seorang yang beriman kepada Allah dan Al-Quran juga Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam, dia tidak boleh putus asa dari rahmat dan kasih sayang-Nya. Lagi pula, tidak semua guru dan temannya seperti itu. Guru agama Islam sangat baik kepadanya. Tidak pernah berbicara keras dan setiap ada kesempatan berjumpa, dia selalu dibekali uang atau makanan. Temannya yang baik satu lagi adalah Hasna. Meski Hasna mengaku bukan teman yang bisa dikatakan dekat, tetapi gadis itu tidak pernah menghinanya, bahkan diam-diam membantunya. Hana tahu hal itu. Terkadang pula, Hana membayarkan iuran mendadak. Bendahara tidak akan mendatangi kursi Hana jika Hasna sudah membayarkan. Untuk alasan ini pula Hana tidak bisa membenci Hasna yang terlihat memusuhi.

Sekarang, lihatlah seperti keniscayaan semu, hal itu terjadi di depan mata. Bagaimana mungkin dia bisa terbebas dari rasa bahagianya yang agak berlebihan? Belum lagi Hanan membebaskannya memilih apa saja. Hana yang masih linglung menatap abangnya, seakan-akan mata itu menanyakan keabsahan tawaran sang kakak. Mata pemuda itu melembut, menatap sendu si adik dengan senyuman yang jika dikatakan hangat, memang hangat, dan jika dikatakan menyejukkan, itu pun benar.

Hana pun memilih barang-barang yang dibutuhkannya dan yang selama ini dia inginkan tapi merasa mustahil untuk bisa dimiliki. Belanjaan mereka penuh.

"Untuk hari ini, Hana boleh foya-foya. Tapi besok, ingatlah, kalau foya-foya bukan bagian dari ajaran Islam." Hanan menasehati ketika mereka sudah berada di dalam taksi menuju pulang ke rumah.

Hana mengangguk. "Tapi, kenapa hari ini, Hana boleh foya-foya?"

Hanan beristighfar, lalu berkata, "Semoga Allah mengampuni kita. Abang cuma mau mewujudkan janji abang ke Hana aja."

Hana paham maksudnya. Dahulu sekali, masa SMP, gadis itu pernah meminta hadiah ulang tahun kepada Hanan berupa ajakan jalan-jalan dan berbelanja sepuasnya. Hanan berjanji akan mengabulkannya suatu hari. Gadis itu memeluk Hanan erat, air matanya mengalir. Saking kelu dan tercekatnya, dia tidak bisa mengucapkan terima kasih. Namun, Hanan mengerti.

"Terima kasih kembali, Adek."

Saat ucapan itu keluar dari mulut Hanan, tangisan Hana semakin kencang. Hanan mengusap-usap bahu adik yang sedang memeluknya. Tak hanya itu, dia juga menjaili Hana.

"Jangan nangis, malu sama Pak Supir."

Lamunan Hana buyar tatkala Hanan menghampiri dan mengusap air mata yang merembes ke pipinya. Bahkan gadis itu tak sadar kalau ia menitikkan air mata.

"Tumben nangis mulu dari semalam." Hanan lagi-lagi menggoda.

Hana tersenyum miris dan memukul pelan lengan saudaranya yang malah terkekeh geli. Hanan bukan hanya kakak lelakinya, abangnya. Hanan pula berperan sebagai ayah sekaligus ibu bagi Hana.

"Udah, ya? Jangan nangis lagi," bujuk Hanan.

"Mendingan mandi biar enggak telat ke sekolahnya. Abang aja yang siapin sarapan." Hanan mencubit pipi Hana.

Hana berlalu dari hadapan abangnya dengan tergesa-gesa. Agak malu juga dipergoki menangis meski pun Hanan sering juga melihat dirinya mengeluarkan air mata.