Chereads / TRIO HA / Chapter 14 - Fakta Mengejutkan

Chapter 14 - Fakta Mengejutkan

Hana terlihat merajuk. Sarapannya tidak habis dimakan. Padahal Hanan sudah susah-susah membuat nasi goreng ala Indonesia yang warna nasinya tetap putih dan hanya dicampur garam, bawang putih dan bawang merah serta sedikit irisan cabai merah. Dahulu makanan ini adalah menu langganan di rumah kontrakan dan rumah warisan nenek mereka yang kini telah berubah jadi indekos dan rumah makan. 

"Apa sih isi kotaknya? Kok Hana jadi uring-uringan gini?" 

"Apa pun isinya, pokoknya kembalikan!" Hana berkata lagi kali ini lebih galak.

"Kok suaranya jadi tinggi gitu? Udah mulai gak sopan ini kayaknya, ya!" Hanan pura-pura marah.

"Abang jahat! Abang kan yang sembunyikan kotak dari Mas Dharma? Kembalikan ke Hana dong!" rengekan Hana bercampur dengan dengan rasa kesal. 

Hanan menghela napas. "Iya, iya. Maaf, ya. Ini juga karena Hana duluan yang berulah. Coba Hana eng—"

"Jadi Abang balas dendam?" Hana pun kini sukses menangis sejadi-jadinya. 

Hanan kebingungan. Tidak bisa pemuda itu pahami mengapa Hana menjadi sesensitif ini. Mustahil kalau karena pandemi. Alasan itu konyol bukan main. 

"Bu-bukan, Adek. Aduh, jangan nangis! Hana kan udah gede."

Bukannya berhenti, Hana semakin mengeraskan tangisan. Tampak seperti benar-benar sedih, padahal hanya trik agar Hanan mengabulkan permintaannya. Istilahnya, menjebak dengan gaya. Bukan Hanan namanya kalau dia tidak bisa membaca taktik tangisan si adik. Kalau saja Hana tidak berlebihan, pastilah Hanan menganggap kalau adiknya sedang dalam masa pra-menstruasi yang menyebabkan emosinya berubah, naik-turun.

"Udah, gak usah kebanyakan gaya! Hana mau apa?" Hanan langsung bertanya tanpa tedeng aling-aling.

Gadis itu kemudian tertawa kecil, lantas menjawab singkat, "Abang pasti taulah. Kan enggak berubah."

Hanan menepuk jidat, lalu meremas sedikit rambut di area dahi. "Hana, Adikku Sayang …  enggak baik memaksa orang buat nikah sama kita." 

"Kok kita? Abang doang kok." Wajah Hana yang serius menambah kejengkelan Hanan. Bisa-bisanya adindanya bergurau dengan ekspresi seperti itu. 

"Eh! Lagian emang Abang tau, Hana mau apa?" Hana memulai menggoda kakak lelakinya. 

Hanan menghela napas berat. "Jadi, bukan?"

"Iya, sih." Hana mengatakannya sambil tersenyum lebar.

"Pekan depan, Abang coba lagi lamar Hasna. Udah, Hana sekarang makan dulu." Hanan menghela napas. 

"Kotak isi kalung dari Mas Dharma sekalian nanti, pulangin! Awas aja enggak!" ancam Hana.

"Siap, Tuan Putri." Hanan melakukan gestur menjura dengan masih mempertahankan posisi duduknya. 

"Kali ini, kalau misalnya Hasna nolak, ya udah … cari pengganti baru aja. Hana ikhlas kok. Sama … kak … aduh, siapa itu? Yang suka juga sama Abang? Lupa Hana namanya."

"Navya."

"Oh iya. Kak Navya. Navya … apa namanya?"

"Navya Sara Husein."

"Maaaak! Cantik sangat namanya. Mana Abang hapal lagi tuh nama. Kayaknya bakal calon ipar nih kalau Hasna nolak lagi." 

"Insyaa Allah." 

Hana penasaran. Apa perasaan kakak lelakinya tentang dua perempuan tersebut. Hanan tidak memberi penjelasan, malah ia menyuruh Hana untuk menghabiskan sarapannya. Setelah Hana menurutinya, Hanan memeriksa ponsel yang bergetar terus-terusan di saku kemejanya. Ternyata dari ayahandanya Hana yang meminta uang. 

"Dek, bentar ya. Abisin sarapannya ya. Abang mau ke luar sebentar."

"Mau kemana pagi-pagi?"

"Bentar doang mau ke … ah, nanti juga tau." 

"Ya udah, hati-hati ya …." 

Setelah itu, Hanan pun meninggalkan Hana yang menyantap lahap sarapan buatan abangnya. Ternyata Hanan menemui Yudi di Mesin Anjungan Tunai Mandiri terdekat di sekitar rumahnya. Selain ingin menarik uang dari dalam mesin tersebut, abang dari Hana Sitarani memang tidak mengizinkan mantan ayah tirinya itu ke rumah mereka. 

"Kapan Hana akan menikah?" tanya Yudi saat uang sudah ia terima dari tangan putra Rina dan mantan kekasih wanita itu.

"Mungkin dalam waktu dekat. Tahun depan paling lama." Hanan memasukkan tangan kanan ke saku celana. 

"Oh."

"Kenapa? Tumben nanyain?" 

"Kalau semisal aku enggak bisa nikahkan Han—"

"Jangan ingkar, Pak! Saya sudah beri uang, ini-itu yang Bapak mau. Apalagi yang kurang?" Hanan menjadi emosi. Untungnya tidak banyak orang di sana. Hanya beberapa orang lewat dan itu pun agak jauh dari mereka. 

"Bukan masalah itu." Suara Yudi tidak sekeras Hanan, dia bahkan tampak sengaja melemahkan suara.

Hanan menatap tajam Yudi, meminta penjelasan. 

"Maut. Kita enggak ada yang tau. Semis—"

"Takdir. Sudah jalannya begitu. Kalau untuk alasan itu, tentulah bukan kuasa kita lagi, Pak." Suara Hanan kembali stabil. 

Yudi menatap Hanan prihatin. Meski perangainya tidak baik, tetapi Yudi masih memiliki sedikit hati dan perasaan. Dia pun tidak tega kepada anak-anak yang dilahirkan oleh Rina menderita sejak mereka terlahir ke dunia. Bahkan ketika kehidupan ekonomi dua anak itu sudah bisa dikatakan baik dan mapan, masih saja ada yang terasa kurang. Kasih sayang orangtua dan kini, status mereka. 

"Hana-mu pasti bangga sekali padamu, Nak." Mata Yudi berkaca-kaca. 

Bukan tanpa alasan Yudi memuji Hanan sedemikian rupa. Pria itu rela mencari Yudi di dunia hitam, melunasi utangnya demi Hana, adik kesayangannya. Demi melihat adiknya tersenyum bahagia dan bangga di hari pernikahannya kelak. Tak hanya itu, Hanan juga membujuk Rina, melupakan kesalahan dan luka yang Rina torehkan di masa lalu, agar wanita yang melahirkannya tersebut bisa menghadiri ritual lengkap Hana. Apa pun dilakukan Hanan untuk menyenangkan adiknya. 

"Kalau saja aku bisa menikahkan adikmu Hana … tapi kayaknya kalau takdir berkata lain, Allah masih memberi jalan. Ada wali hakim." 

Hanan adalah anak hasil hubungan di luar nikah. Putra dari Rina dan kekasihnya dulu. Ironisnya, ayah biologis dari Hanan adalah bos yang memberi utangan kepada Yudi. Seorang bandar narkoba dan penjudi kelas atas. Untuk alasan itu pula, Hanan tidak bisa menikahkan adiknya sendiri.

Hanan menarik napas, mengembuskan dengan perlahan. Ia melakukannya berkali-kali. Mungkin ada sampai lima kali. 

"Ketika waktu itu tiba, kami janji, akan mengurus jenazah Bapak dan tetap memberikan hak kepada Anda, yang menjadi kewajiban kami sebagai anak. Insyaa Allah." Hanan pun kemudian berlalu dari sana setelah mengucapkan salam.

"Wa'alaikumussalam." Yudi menjawab setelah Hanan sudah jauh. 

Setetes air bening menuruni pipi tuanya yang sudah ada garis keriput di mana-mana. Tidak jauh dari sana, Hasna yang memang akan mengunjungi Hana di pagi hari karena janji, tak sengaja mendengar perbincangan tersebut. Wajahnya memerah dengan air yang menggenang pada sudut mata. Hatinya mendadak penuh dengan adukan campuran perasaan. Bertambah rasa kagum wanita berbaju abu-abu itu terhadap Hanan.

Hasna kemudian meneruskan jalan menuju perumahan tempat Hana dan Hanan tinggal. Dalam perjalanan, dia teringat pernah pula tinggal di perumahan elite dulunya, sebelum sang ayah mengalami kebangkrutan.