Di sekolah, Hana terus merenungi kejadian kemarin. Hana tidak membawa kacamatanya, toh sudah tidak belajar lagi. Ke sekolah hari ini hanya tinggal menunggu informasi untuk ujian akhir dan semacamnya. Perihal uang sekolah, uang perpisahan dan biaya-biaya lain pun harus selesai di hari ini. Kawan-kawannya sibuk berceloteh akan sebahagia apa mereka saat melakukan perjalanan nanti. Suara Rumia paling tinggi di antara semua.
"Pasti seru kalau kita sekelas pakai baju kaos perpisahan sambil jalan-jalan nanti. Aneh ya, kalo punya baju perpisahan yang bayarnya lama, eh gak ikut jalan-jalan. Tapi gak level juga sih. Buat malu entar."
Tampaknya memang sengaja dia lakukan demi memanasi Hana yang tidak kepanasan. Seorang teman Hana, laki-laki yang paling tampan di kelas, menegur. Namun tak diindahkan oleh Rumia.
"Buat malu? Bagi kami sih enggak. Kalian cewek-cewek kalo gak suka sama orang, kalau dia ditindas atau kesusahan harusnya bantu. Bukan diem aja. Untuk Rumia, mending diem aja."
"Suka-suka aku dong. Mulut-mulutku kok. Enggak usah repot mikirin urusan orang!"
"Racun dari ular berbisa kayaknya pun bisa iri sama si Rumia ini. Kayaknya juga sia-sia dia sekolah dua belas tahun, tapi enggak bisa jaga sikap. Salah sekolah apa didikan dari rumahnya, kita juga gak tau." Suara tinggi itu datang dari remaja tadi. Dia berkata demikian kepada ketua kelas.
"Eh! Apa katamu?!" Rumia tidak terima. Ia menghampiri tempat lelaki itu. Hasna meminta Rumia tidak perlu marah, tetapi tak digubris.
"Marah berarti benar," jawabnya enteng.
Rumia memukul kepalanya dengan buku tebal. Hasna dan semua siswi terkecuali Hana yang sibuk melamun pun ternganga. Laki-laki itu menyeringai. Ekspresinya tetap tenang menatap lurus ke arah Rumia.
"Belagak berani. Nanti dibalas nangeeees!! Terus betingkah, merasa disakiti. Padahal dia duluan. Pandai!"
Rumia hendak mengatakan sesuatu, tetapi ditahan Hasna. "Udah, Rum. Ngapain diladenin sih?"
"Jauh-jauh deh, Has. Waspada aja suatu saat dia ngeluarin bisa, eh keracunan deh." Ketua kelas ikut pada kubu si pria tertampan. "Serem!"
Rumia merasa teraniaya. Dia menunjukkan ekspresi sedih. Mengusap mata yang memerah. Kemudian mendatangi Hana yang sejak tadi hanya diam. Dia mendengar mereka, tetapi enggan menanggapi. Itulah yang membuat Rumia kesal. Harusnya Hana membalasnya seperti biasa. Pada kesempatan ini, dia akan melabrak Hana.
"Heh!" Dia menggebrak meja Hana.
Ketua kelas hendak melerai. Bukan apa-apa, kalau bertengkar, takutnya mereka semua ikut dihukum. Namun dihentikan remaja tampan tadi.
Hana memandang Rumia dengan ekspresi dingin.
"Enggak usah sok paling cantik dan merasa senang karena dibela. Di kelas ini, semua juga tau siapa perempuan jelek penggoda semua laki-laki yang ada di sekolah ini."
Hasna memperingatkan Rumia. "Jangan lewati batas Rum!"
Berbeda dengan Hasna, Hana membalas dengan santai. "Apaan sih? Gak jelas. Obatmu habis?"
"Saking lihainya, sampai guru agama juga berhasil digoda."
Sampai sini, suasana memanas. Kasak-kusuk mulai terdengar. Dada Hana bergemuruh, marah karena gurunya dihina dan direndahkan. Terlebih itu guru agama.
"Kau meragukan karakter guru kita? Di mana sopan santunmu? Apa di rumah, orang tuamu yang lengkap itu enggak ngajarin? Apa sebegitu sibuknya pada urusan duit, sampai lupa ngurusin akhlak anaknya? Betapa sayangnya mereka kepada uang dibandingkan anak mereka. Mengesankan!"
Ibarat permainan catur, bidak catur dengan status raja, telah dikalahkan. Skak mat! Rumia yang tidak terima menyiram Hana dengan air dalam botol yang ada di atas meja Hana, jilbab dan kemejanya jadi agak basah. Suasana hening demi menyaksikan pertunjukan menghebohkan. Tak terima, Hana melakukan aksi pembalasan. Gadis itu menjagal kaki Rumia hingga perempuan itu jatuh, lantas mengambil botol kosongnya tadi untuk memasukkannya ke dalam mulut Rumia.
"Mulutmu hari ini kusumpal botol, gak tau kalo besok, mungkin bom!"
Hasna menatap cemas, sementara anak laki-lakinya menyeringai puas. Tak ada satu pun murid laki-laki yang menyukai perangai Rumia. Kelakuan mereka ini ternyata tertangkap basah oleh guru. Maka, seketika itu pula seluruh kelas disidang pada hari itu juga. Karena terlalu banyak dan ruang BP terlalu sempit, maka kelas mereka yang dijadikan tempat. Murid-murid dari kelas lain yang penasaran, diam-diam hendak melihat, tetapi diawasi oleh guru lain yang memang berjaga di depan kelas, sekaligus menanti dua orang tua atau wali yang akan bertanggung jawab atas kelakuan dia siswi yang berseteru tadi.
Di dalam ruangan tersebut, kedua siswi yang menjadi bintang hari ini duduk di depan kelas, menghadap wali kelas dan guru BP. Kedua guru yang jelas sekali memihak Rumia. Terbukti dari tatapan dua perempuan lajang paruh baya tersebut kepada Hana. Rumia merasa terlindungi. Dia sedang membayangkan bagaimana nanti Hana akan dipermalukan bersama walinya—kakak lelakinya.
Pintu terbuka, pertanda akan ada yang masuk, dan yang diperbolehkan masuk hanya dua orang. Ibu dari Rumia dan kakak lelaki Hana. Wajah Rumia mendadak lebih cerah, dia yakin ibunya yang datang. Namun, kesenangannya itu harus pupus, karena yang datang ternyata pemuda tampan yang bahkan menyihir dua perawan tua di sana.
"Assalamu'alaikum," ucapnya sopan.
Semua murid beragama Islam menjawab salamnya, bahkan ada satu gadis manis Nasrani ikut menjawab, membuat teman sebangkunya tersenyum geli.
"Anda?" Wali kelas Hana bersuara ramah dan berdiri sambil menyambut.
"Hanan. Abangnya Hana Sitarani, Bu."
Hanan dihampiri oleh wali kelas, lantas perempuan itu mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. Hanan menerima uluran tangan tersebut.
"Saya Setiani, wali kelas Hana Sitarani."
Hana hampir saja mengeluarkan tawa. Bahkan Hasna ikut berdeham di sela senyuman lebar, seakan sedang memberi protes bahwa Setiani bukan hanya wali kelas Hana Sitarani, tetapi juga Hasna Lily dan tiga puluh lima murid lainnya yang ada di ruangan ini. Guru BP mempersilakan Hanan duduk di sebelah Hana. Instruksi sang guru, diterima Hanan dengan baik. Sebelum Hanan mendudukkan diri, pintu terbuka lagi. Kali ini, ibunya Rumia yang datang. Penampilan mentereng bak selebritas pun tersaji, seakan-akan ingin memberitahu status sosial mereka yang tinggi.
"Jadi, apa sudah bisa kita mulai? Kebetulan sekali semua sudah hadir." Guru Setiani tidak menyambut seperti yang dilakukannya kepada Hanan.
Rumia dan Hana duduk di tengah-tengah, di bangku panjang. Wali kelas menjelaskan kronologisnya. Hanan menatap Hana, menyuruh sang adik untuk meminta maaf.
"Maaf," ucapnya.
Semua yang ada di kelas itu tercengang. Hana bukanlah orang yang mudah meminta maaf jika dia berada dalam hal yang benar. Hana merasa dia benar, demikian para siswa dan sebagian kecil siswi. Namun, dengan mudahnya kata maaf meluncur dari mulutnya. Bahkan Hasna melotot, hingga matanya seakan ingin keluar.
"Atas nama Hana Sitarani, saya minta maaf kepada ibunya Rumia, wali kelas dan semua pihak yang dirugikan atas kejadian ini."
"Ganti rugi. Dia ini kesayangan kami di rumah." Ibu Rumia berkata sombong.
"Ibu mau saya melakukan apa untuk itu?"
"Perawatannya mahal, tapi karena saya tahu kalian enggak, maaf ... kaya, mungkin sejuta cukup."
Dua perawan yang berstatus guru di sana melempar pandangan sinis, tiba-tiba saja mereka jadi berada di kubu Hana.
"Tapi, Bu—"
Belum selesai sang wali kelas berbicara, Hanan menjawab tuntutan ibunya Rumia.
"Baik."
Kejutan yang ada di kelas mereka terlalu banyak hari ini. Mereka—murid-murid—sangat terkesan dengan Hanan dalam menghadapi situasi ini. Pemuda itu banyak mengalah. Dalam sesaat, dia telah menjadi idola.