"Has, tawaranku ke Hasna udah enggak berlaku lagi loh." Hana berkata serius, tetapi dalam hatinya sedang bersorak ria.
Hasna tahu ke mana arah pembicaraan Hana. Tawaran yang ia harap masih ada, ternyata memang sudah tak ada kesempatan lagi untuk digapai. Wanita itu tersenyum simpul, matanya menyiratkan kesedihan dan ketidakberdayaan.
"Tawaran yang mana?" Sayang sekali, Hasna malah berpura-pura tidak tahu.
"Oh! Lupa ternyata. Baguslah kalau gitu." Hana tersenyum sendu. Padahal dia berharap Hasna bisa lebih jujur.
Suasana hening seketika. Situasi menjadi canggung dan sedikit suram. Hingga sebuah dering telepon memecah kesunyian. Sebuah nomor baru, asing tertera di layar datar ponsel Hasna. Spontan, mata keduanya beralih ke benda pipih yang tergeletak di meja. Kemudian, tanpa tergesa-gesa, Hasna menjawab telepon.
"Halo?"
Suara di seberang telepon pun menjawab sapaan Hasna. Tubuh Hasna menegang. Dia kenal betul suara tersebut. Lantas, menekan layar dan mengaktifkan pengeras suara agar Hana ikut mendengar.
"Halo, Hasna? Assalamu'alaikum …."
Tak hanya Hasna, kini Hana pun membulatkan mata saking terkejutnya. Laki-laki ini adalah orang yang paling dia benci di atas dunia setelah Iblis dan Dajjal.
"Salamku kok enggak dijawab? Aku udah tiga kali ngucap salam. Kamu juga tau kan kalau salam wajib dibalas."
Hasna tersentak, kemudian menjawab salam si penelepon. "Wa'alaikumussalam."
"Kamu apa kabar, Bunga Lili?"
Suara yang lembut dan nada bicara yang teratur memang bisa membuat orang hanyut kepada mantan suami Hasna tersebut. Hana tidak memungkiri itu.
"Alhamdulillah baik." Hasna tampak acuh tak acuh merespons Dion.
"Lagi apa? Aku ganggu, enggak?"
"Enggak usah banyak basa-basi. Mau apa Anda menghubungi saya? Dan mengenai pertanyaan Anda yang terakhir … sejujurnya … iya, Anda mengganggu sekali."
Kalimat Hasna dalam melayani si penelepon sungguh membuat Hana tergelitik. Ia hampir saja tertawa jika tak ingat kalau ini dalam situasi serius.
"Kamu makin galak, makin cantik. Jadi pengen liat ekspresimu."
Hasna mendecap. Laki-laki itu tertawa lepas. Hana menampilkan ekspresi seakan-akan melihat susuatu yang menjijikkan.
"Sayang sekali, aku malah sebaliknya. Tak sudi melihatmu."
Hana menahan diri dari bertepuk tangan dengan heboh untuk mengekspresikan kekagumannya pada Hasna yang sudah tidak bodoh lagi dalam urusan cinta dan Dion.
"Tapi sudi merawat anakku. Kamu gunakan Hasan sebagai penggantiku, kan? Supay—"
"Omong kosong ini betul-betul membuatku muak. Bagaimana kalau kita akhiri saja. Assalam—"
"Okey, okey … maaf. Aku berhenti bicara sekarang. Kita mulai ke pembahasan serius aja."
"Hm …."
"Tapi sayangnya, aku enggak bisa bilang itu di telepon. Gimana kalau kita ketemu … besok, mungkin?"
"Anda merencanakan ini matang sekali." Hasna mendengkus kesal. "Tapi, harapan tinggi Anda itu enggak akan terkabul!"
Hana benar-benar ingin sekali bersorak saat ini.
"Ini tentang Hasan, Sayang. Masa kamu enggak mau nemuin mantan suami yang pernah sangat kamu cintai melebihi sahabatmu itu."
Hana merasa mual dan meniru orang yang hendak memuntahkan isi perut mereka.
"Di sini, Anda tidak sopan. Mengungkit kebodohanku yang paling fatal." Hasna menegaskan kepada Dion dan sebagai pengakuan kepada Hana kalau dia benar-benar orang paling bernasib sial karena terlampau bodoh, sebab pernah lebih memilih Dion daripada Hana.
"Jadi, kamu mau datang, kan?"
Hasna menatap Hana, seakan meminta saran atau bisa juga disebut persetujuan. Namun, apa pun namanya, inti tatapan itu adalah meminta pendapat Hana. Tatapan sahabatnya, membuat bimbang. Setelah beberapa detik, Hana menggeleng.
"Dalam mimpimu pun aku enggak sudi, Dion." Lantas Hasna pun memutus telepon, lalu memblokir nomor tersebut.
"Masih marah, artinya masih ada rasa." Suara yang tak jauh dari mereka terdengar.
"Kak Navya?!" Hana terkejut. "Tapi tadi a—"
"Sebelum Hanan jalanin mobilnya, kakak udah sampai sini." Navya mendekati Hana dan mengelus pipinya.
"Terus, Bang Hanan mana?"
"Nanti juga masuk, Bunga Mawar." Elusan di pipi berubah menjadi cubitan kecil.
Hasna melihat interaksi keduanya yang terlihat sangat akrab. Ada perasaan kesal dan iri pada hatinya. Merasa terbakar dan khawatir tidak bisa menyembunyikannya.
"Kata Hanan, kakak cuma diizinkan ambil satu bunga aja. Makanya, mumpung memang lagi ada di dekat sini, kakak mampirin. Mau minta langsung sama pemiliknya buat ambil bibit mawar."
Hana tertawa hambar. Hanan, kakak lelakinya itu sungguh jujur sekali. Apa tidak bisa melencengkan sedikit alasan menjadi: mawar Hana belum bisa diambil banyak bibit, ambil satu dulu ya. Lainnya menyusul.
Namun, setelah dipikir kembali, Hanan memang seperti itu. Mana pandai membuat alasan atau semacamnya.
"Oh iya, Kak! Ini kenalin, temen Hana … namanya Hasna."
Wajah Navya berubah jadi serius. Dia tau nama ini. Hasna adalah sahabat Hana dan wanita yang sampai sekarang masih spesial di hati Hanan.
"Hi! I'm Navya. Nice to meet you." Navya mengulurkan tangan.
Hasna berdiri, menyambut uluran tangan tersebut seraya berujar, "Nice to meet you too, Miss Navya. I'm Hasna."
"Oh, karena kamu temennya Hana, kamu manggil aku sama aja kayak Hana manggil aku. Oke?" Navya berkata ramah.
Hasna mengangguk. Lalu keduanya duduk. Navya duduk di tengah, di antara Hasna dan Hana, yang membuat Hasna jengkel setengah mati, tapi tidak bisa berbuat apa pun untuk menyuarakan ketidaksukaannya. Atau lebih tepatnya, dia merasa tidak pantas, tidak berhak memberikan protes kepada calon pemegang kunci rumah ini karena membuat jarak antara dirinya dengan Hana.
"Maaf kalau ikut campur, tapi kalau kelakuan kamu kayak tadi, itu mengisyaratkan kalau kamu masih menyimpan rasa."
Hasna tersenyum kecil. "Tapi, aku mengartikannya bukan seperti itu, Kak Navya."
"Tapi asumsi orang berbeda." Navya menatap lurus ke depan, tanpa mengubah mimik wajahnya yang datar.
"Aku tidak peduli asumsi orang." Hasna melirik sinis Navya.
"Itu makanya kamu terus terperosok. Egois karena tidak pernah mau mendengarkan pendapat orang. Mau menang sendiri, seakan benar dalam setiap tindakan." Navya menyeringai.
"Aku merasa … Kak Navya kurang menyenangiku." Sepertinya situasi mulai berubah menjadi medan perang.
"Aku tidak keberatan kalau kamu menganggap begitu. Aku juga bukan orang anti kritik atau bermuka dua." Navya menoleh, memandang tepat ke arah bola mata Hasna.
"Apa pula yang membuat Kak Navya berkata demikian?" nada suara Hasna menaik, membuat Hana memasang kuda-kuda, siapa tahu dua orang di sebelah kanannya akan merencanakan perang besar. Jambak-jambakan jilbab, misalnya.
"Oh, itu hanya sekadar kata-kata." Navya berkata seakan tak ada apa-apa, santai sekali.
Situasi pun semakin memanas. Baik Hasna maupun Navya sudah menyadari sejak perkenalan pertama tadi, bahwa mereka adalah rival mengenai Hanan dan adiknya, Hana.
"Setiap kata memiliki makna, tentu Anda tahu akan hal itu." Hasna berkata dingin. Giginya saling bersentuhan erat, antara atas dan bawah.
"Oke. Baiklah. Kamu merasa aku kurang menyenangimu, tapi sebaliknya juga demikian. Lantas, apa beda kita?"
Hana menggaruk kepalanya yang bermahkotakan khimar biru muda, senada dengan kaftannya. Dia berharap kakak lelakinya segera datang dan mengakhiri perang dingin yang terasa panas ini.
"Tidakkah Anda merasa itu bagian dari prasangka buruk? Su'udzon sangat dilarang agama, Saudariku." Hasna memang sedikit agak iri pada Navya, tapi tidak membenci perempuan itu sama sekali.
"Menuduh kalau aku su'udzon, bukankah bagian dari prasangka buruk juga?" balas Navya sinis.
"Rumah ini hampir terbakar, hangus kalau kalian berdua masih tetap mempertahankan argumen." Hanan jalan dengan santainya, lalu berdiri, berkacak pinggang di depan tiga kaum hawa tersebut. Ternyata sedari tadi, pemuda itu mendengarkan perdebatan mereka ditambah Hana yang tampak tidak berdaya. Mau melerai tak bisa, tidak dilerai pun bahaya, jadi serba salah.