Cinta membuat orang buta dan bodoh. Bujuk rayu setan telah menjerumuskan Rina ke lubang dosa besar yang jika dalam ajaran agama dijatuhi hukuman dera cambukan seratus kali, karena belum menikah. Beda lagi hukumannya jika sudah menikah. Rina sadar betul kalau menceritakan aib adalah perbuatan dosa juga. Namun, ia harus memberitahukan masalah ini kepada sang ibu karena perbuatannya itu telah menghasilkan seorang anak manusia di rahimnya.
Ketika mengetahui perihal perzinahan putrinya, ibu tersebut hanya bisa menangis tanpa suara. Berpikir bahwa ia telah gagal dalam mendidik putra dan putrinya. Wajah ayu yang biasanya berseri, kini meredup, seakan sirna dari dirinya.
"Maafkan Rina, Buk."
"Minta ampun kepada Allah. Taubat dengan sebenar-benarnya taubat. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penerima Taubat."
Setelah itu, tak ada lagi percakapan di antara ibu dan anak tersebut. Wanita yang telah melahirkan Rina terpukul dengan kejadian ini, terlebih dia tahu siapa laki-laki yang menjadi hadirnya seonggok daging di perut anak perempuannya. Laki-laki yang menjadi kekasih Rina adalah anak dari perempuan yang senantiasa mengolok-oloknya secara halus. Perempuan yang selalu menganggap strata keluarga Rina tidak selevel dengannya. Perempuan sombong yang tidak pernah mau mengakui kesalahan. Perempuan yang pernah memberikannya uang agar Rina tidak mendekati putranya. Padahal jelas sekali bahwa anak dari perempuan itulah yang selalu mengejar Rina hingga gadis itu luluh dan mereka berhubungan. Kali ini, demi Rina anaknya yang tercantik di antara kakak-kakaknya, maka diabaikannya rasa malu dan tidak suka pada ibu si laki-laki.
"Eh, ada Maryam! Ada apa dateng? Mau minjam duit?"
Sambutan wanita ini membuat ibu dari Rina kesal setengah mati. Kehidupannya memang sederhana, tetapi kalau meminjam uang kepada orang seperti ibu si pria, takkan Maryam sudi.
"Assalamu'alaikum, Minah" Maryam mengucap salam yang kemudian dijawab oleh pemilik rumah.
"Begini, aku mau bicarakan tentang anak-anak kita."
Raut wajah Minah berubah jengkel. Dari ekspresi wajahnya, terlihat sekali kalau dia sudah siap dengan pembahasan ini.
"Oh, kudengar mereka udah bubaran. Baguslah. Memang seharusnya begitu, kan?" Lirikan sinis dari Minah tak menggentarkan Maryam.
Maryam tetap berdiri tegak demi putrinya. Dia berdiri karena tak dipersilakan duduk. Jangankan duduk, dipersilakan masuk saja tidak. Mereka berdua berbincang dibatasi oleh pagar. Minah ada di dalam pekarangan rumahnya, Maryam ada di luar.
"Bukan begitu, Minah. Makanya aku ke sini untuk bahas itu."
"Apalagi? Sudahlah, kalian pulang saja"
Maryam melihat ke belakang, ternyata ada Rina yang mengikutinya sedari tadi. Hatinya hancur melihat wajah terluka buah hatinya. Maryam tahu benar kalau anaknya itu merasa sakit hati atas perlakuan ibu kekasihnya.
"Kalian adalah orang yang paling tahu tentang agama. Tapi, kenapa kalian pula yang mengkhianati ajaran agama sendiri?"
Mendengar sindiran Maryam, Minah tak terima. Ia buka gerbangnya dan celangak-celunguk, mengawasi kalau ada tetangga yang melintas. Bagaimana pun reputasinya tidak boleh rusak hanya karena tetangga yang jaraknya tiga puluh rumah darinya.
"Anakmu yang gak bisa jaga kehormatannya sebagai perempuan!" seru Minah.
"Anakmu pun sama. Laginya, aku bukan bahas itu, Minah. Tapi sikapmu kepada tamu!"
Minah tertawa, seakan-akan mengejek. "Aku tidak menganggapmu tamu!"
Maryam menyerah. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi berhadapan dengan perempuan keras kepala dan tidak mau diajak berdiskusi.
"Gugurkan aja. Gitu aja kok repot!" celetuk Minah lagi.
Benar dugaan Maryam selama ini. Minah mengetahui perzinahan anak mereka. Maryam tersenyum sinis, mengejek kalimat Minah yang jahil. Kebodohan Minah tentang ajaran yang dibawa oleh manusia paling agung di muka bumi ini telah nyata.
"Suami yang setiap hari ke masjid dan melakukan ceramah, apa tidak mengajarimu kalau membunuh itu dosa?"
"Halah! Daripada jadi anak haram?!"
"Setiap bayi yang dilahirkan ke dunia itu suci, Minah. Jangan kau tampakkan kebodohanmu."
"Maryam. Rina Madina. Maryam adalah perawan suci, ibu dari Nabi Isa. Madina adalah nama kota suci. Tapi kesucian dua nama ini …." Minah sengaja menggantung kalimatnya.
Maryam tentu paham apa yang hendak dimaksud oleh Minah. Maryam pun meninggalkan tempat itu tanpa berpamitan kepada yang punya rumah, disusul pula oleh Rina. Ia menyesal telah membuat ibunya dipermalukan dan dihina seperti tadi. Andai saja waktu bisa diulang, dia ingin sekali memperbaiki kesalahannya. Namun mustahil terjadi. Demikian dengan andai-andai tadi, tak elok untuk dipikirkan, karena tidak mungkin hal itu bisa terjadi.
Sesampainya di rumah, kedua perempuan itu telah disambut oleh dua orang lelaki yang tak lain adalah suami Maryam dan kakak lelaki Rina yang sulung. Mengabarkan kalau lamaran kepada gadis kampung sebelah diterima. Maryam tersenyum, ikut bahagia atas putranya. Di sisi lain, dia juga sedih atas putrinya. Dia belum mengatakan kepada ayahnya Rina mengenai perkara yang telah putri mereka ciptakan.
"Bu, aku mau pesta yang meriah ya?" pinta kakak sulung Rina.
"Insyaa Allah."
Lelaki paling tua di antara mereka memandangi Maryam dan Rina bergantian, memperhatikan setiap raut wajah dua perempuan yang menjadi bagian dari hidupnya. Ia tak sabar menanti kabar yang tak diketahui apa itu dari sang istri. Rina masuk ke dalam kamar, dia menangis dalam diam. Menyesali perbuatannya dan merasa malu kepada Pencipta Alam Semesta. Tangan kanannya kini berada di atas perut, mengusapnya perlahan-lahan. Sambil berbisik kecil di sela isakan, ia berkata, "Maafkan ibumu, Nak. Maafkanlah. Jika kelak yang lahir adalah seorang perempuan, maka mohon maafkan ibumu ini. Maafkan dosa yang akan mencoreng namamu di kemudian hari, Nak."
"Ya Allah! Apa yang harus hamba lakukan jika suatu saat kenyataan ini akan mengguncang jiwanya? Apakah harus hamba kembalikan dia kepada-Mu agar tidak menanggung malu?"
Rina mengambil gunting yang tergeletak di meja riasnya. Dia pun sebenarnya sudah menyiapkan ramuan penggugur janin.
"Ataukah kami berdua yang akan menemui-Mu?" Rina tertawa miris dalam tangis. "Mungkin hanya dia yang menemui-Mu. Sementara aku akan bertemu dengan pendosa lainnya, disiksa karena kejahilan."
Rina sudah siap dengan gunting yang akan ditancapkan ke tubuh. Berbagai ingatan berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Kejadian berhubungan cinta dengan ayah biologis anaknya, raut wajah ibunya yang lelah dan sedih, kakak sulungnya yang bahagia, kalimat Minah. Semua itu terus berputar-putar.
"Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." Surat Al-Isra ayat tiga puluh dua pun terngiang-ngiang di kepala. Surat yang senantiasa ia dengar dari ceramahnya Pak Yunus, ayah dari anaknya Minah. Ironis sekali. Ayahnya demikian baik dan paham tentang agama. Jelas bisa membedakan mana halal dan mana yang haram. Mengingatkan akan kisah Nabi Allah Nuh Alaihis Salam dan putranya yang mengingkari.