"Jangan bilang becak sepeda." Mahasiswi bernama Retno dari jurusan Matematika terlihat was-was, ekspresinya membuat ingin tertawa. Sungguh, ia terlihat begitu khawatir. Bisa jadi ini perjalanan pertamanya jauh dari orangtua.
"Becak bermotor kok."
Mereka serempak mengucap hamdalah. Namun, Hana merasa heran dan sedikit menaruh curiga kepada salah satu rekannya. Sebab sepertinya Indah tahu begitu banyak. Hana sebenarnya hendak menanyakan apakah wilayah ini merupakan kampung halamannya kepada Indah.
"Kok dikau bisa tau, Ndah?"
Oh, bagus! Begitulah isi hati Hana ketika rekannya yang terkenal pendiam angkat bicara untuk menyuarakan isi hati. Namanya Nur Aliya. Dia dari jurusan Matematika, teman sekelas Retno.
"Dulu aku pernah tinggal di daerah itu."
Memang sudah sepantasnya dia tahu. Akan menjadi bahan lelucon dan menggelikan jika malah sebaliknya. Sejurus kemudian, dengan serempak, mereka semua—kecuali Indah tentu saja—pun mengeluarkan suara, "Oooo" yang bernada. Setelah itu hening. Selain karena lelah, mungkin juga karena haus.
"Na, kok diam aja sih dari tadi?" Hasna memecah keheningan.
Nah, pantas saja Hana sedari tadi seperti merasa ada yang kurang. Nana ternyata belum masuk daftar orang-orang yang berdialog, karena memang dia hanya diam saja sejak kemarin. Puasa bicara mungkin. Dia adalah orang baru yang Hasna dan Hana kenal secara tak sengaja karena—Nana—sering diabaikan oleh seluruh kelas. Bahkan kadang dosen juga tidak menganggapnya ada. Hana dan Hasna adalah dua orang yang menjadi satu-satunya teman yang Nana punya.
"Diem ah, hari ini aku DL!" Raut wajah Nana terlihat sekali merasa terganggu.
"Apaan? Derita Lo?" kata Hasna menyambar.
"Yalah tuh yang penulis," Hasna ikut menggoda. "Kami ini apa lah?" Lantas dia tertawa.
"Tapi aku liat kau diem-diem aja tuh." Hana kembali berbicara.
"Nyari inspirasi aku." Nana menjawab sekenanya.
"Alah, bilang aja lagi melamunin Jun. Nulis juga paling puisi dan surat cinta atas nama Jun. Buceeeeen …." Hana tak sungkan untuk berbuat lebih dalam menggoda Nana.
Nana merengut—entah karena tidak bisa membalas godaan atau karena sebab tak mampu menyangkal tudingan tersebut—yang secara otomatis membuat Hana dan Hasna sulit untuk menahan tawa. Tujuh orang yang lainnya ikut berekspresi serupa.
Kenangan Hasna berpindah. Kali ini di kepalanya terisi sebuah ruangan besar khas sekolah dan hanya dipunyai oleh satu-satunya petinggi sekolah di antara para guru.
"Jadi, mulai kapan Adik-Adik semua akan melalukan kegiatan ini?"
"Sepertinya mulai hari senin, Pak." Kala itu suara yang menjawab pertanyaan Kepala Sekolah adalah ketua kelompok yang tak lain adalah Indah.
Setelah bertemu dengan kepala sekolah, menyerahkan surat izin dan sedikit berbicara mengenai keberadaan para mahasiswi dari Universitas Nusantara Swarna selama sepuluh hari ke depan yang dimulai dari lusa, maka selanjutnya tujuan pun beralih ke sebuah ruko yang tak terpakai lagi. Tempat itu akan dijadikan rumah tinggal untuk beberapa waktu ke depan.
"Pak Imran udah ada di sana katanya nih," Indah berkata setelah memasukkan ponsel ke saku almamater.
"Apa lagi? Gas teros!" Nana berkata semangat.
Hana kembali dibuat heran oleh tingkah Nana yang tiba-tiba jadi bisa sesemangat itu. Berbanding balik dengan Hasna yang menjadi lebih pendiam. Saat Hasna menanyakan, dia cuma menggeleng, hingga putri Rina pun dilanda kekhawatiran, takut kalau Hasna kena sawan, kesambet atau apa pun itu namanya.
"Ada apa dengan kalian berdua, huh?" Hana bertanya. Lebih tepatnya bermonolog.
Singkat cerita, mereka pun sudah sampai di depan ruko tersebut. Satu-satunya rumah toko di pedalaman sana. Bangunannya bagus, tetapi ada bekas bagian yang terbakar. Tampak tidak terurus dan sedikit seram. Auranya tak bersahabat. Entahlah, mungkin karena baru melihat, jadi mereka simpulkan asal saja.
Seorang laki-laki paruh baya menyapa, yang ternyata Pak Imran. Dia menyuguhi senyuman kepada anak-anak didiknya. Lelaki itu memang dikenal ramah dan mudah akrab dengan para anak didiknya.
"Saudari-saudari, Anda semua akan tinggal sepuluh hari di tempat ini, gratis. Asal, ruko ini dirawat dan dibersihkan ya?" Pak Imran tidak melepaskan senyuman dari wajah bersahabatnya.
Mereka semua membatin, kalau ternyata ada alasan pribadi di balik kebaikan dengan menyuruh tinggal di tempat ini, bahkan gratis pula. Agar bisa dibersihkan tanpa membayar orang. Cerdik sekali.
"Makannya, gimana, Pak?"
Sedari tadi Sari hanya memikirkan makan saja. Hana sampai ingin menenggrlamkannya ke rahim bumi. Berbeda dengan Hana, Nana malah berpikir itu bagus juga sebenarnya, karena sepanjang jalan yang terlihat oleh mata, tak ada yang membuka warung makan. Hanya ada warung bakso dan sejenisnya.
"Di dalam, perlengkapan memasak komplit. Di belakang rumah ada kebun, bisa digunakan untuk mengisi perut. Air mineral bisa dibeli pada depot di ujung jalan. Tapi. biasanya dia juga lewat di depan sini. Tidak perlu risau."
Wah! Hemat biaya makan. Lumayan sekali. Ya, meskipun sebenarnya sebagian besar dari para mahasiswi itu malas dengan keruwetan semacam itu.
"Baik, ada yang mau ditanyakan sebelum saya kembali?"
Nana mengangkat tangan. Pak Imran mempersilakan.
"Rumor hantu macem di pilem-pilem itu, ada gak, Pak?"
Atas pertanyaan Nana, kini pusat perhatian mereka terbagi dua. Gadis manis itu dan dosen pembimbing. Pertanyaan pamungkas yang sebenarnya bersarang dalam benak para mahasiswi tersebut.
"Kita hidup berdampingan dengan mereka. Itu bukan hal baru. Apanya yang aneh? Biasa saja itu. Asal enggak aneh-aneh, semua aman."
Shahih. Benar memang seperti itu. Masalah yang dimaksudkan Nana, mereka paham, tetapi apa yang dikatakan Pak Imran pun tak dapat dibantah.
"Ganggu gak, Pak!" giliran Yusra yang bertanya.
"Tergantung. Kalau kita duluan yang ganggu, ya dia balas. Kayak kita kalo diganggu orang lain, mayoritas dari kita akan membalas kan? Kan tadi saya juga sudah menjelaskan. Baru saja loh."
Hasna tidak tahu, tapi dia rasa ada yang salah di sini. Bukan kalimat Pak Dosen, tetapi makna selubung dari kata-katanya. Entah kenapa Hasna merasa,mereka harus melakukan sesuatu jika ingin aman tinggal di sana.
"Baik, ada lagi?"
Semua serempak menjawab tidak. Kemudian Pak Imran berpamitan. Sementara mereka harus membersihkan ruko sebelum ditinggali besok.
Suara teriakan Hasan yang memanggil Hasna membuyarkan wanita itu. "Iya, Nak! Ibu di kamar! Sini"
Suasana hati Hasna benar-benar sedang tidak baik-baik saja. Selama ini, ibu sahabat dan kekasihnya itu tidak pernah muncul ke permukaan. Lantas, dengan tiba-tiba wanita yang melahirkan keduanya memberinya pesan seperti tadi. Pasti sesuatu akan terjadi. Sinyal di kepalanya menginformasikan demikian. Bukanlah hal tersebut bagian dari prasangka buruk. Janda muda itu hanya berjaga-jaga jika di kemudian hari terjadi hal yang dia takutkan. Namun, entah apa, dia tidak tahu untuk saat ini.