Seorang perempuan sekitar usia seperempat abad memasuki kafe. Setelah ia duduk, datanglah pramusaji pria mendatanginya. Menanyai tentang pesanan. Ia pun memesan teh, tapi dengan gula terpisah.
Setelah pramusaji itu pergi, telepon selulernya berdering. Ia menekan tombol "answer", kemudian diletakkannya ponsel itu ke telinga kirinya, sambil mengucap salam. Setelah salam dijawab oleh si penelepon, ia berkata: "Kudengar, Hasna mencurigai aku. Benar begitu?"
Suara decakan kekaguman terdengar dari seberang telepon. Reaksi itu mengundang tawa dari perempuan berseragam biru samudera. Sepatu hitam ala wanita bergesekan dengan lantai karena tawanya yang asyik.
"Beri tahu saja kalau Sheryl memang memiliki hubungan dengan Hanan sampai sekarang. Aku tetap tidak sudi mereka menikah."
'Saya menelepon Anda bukan untuk membahas masalah pribadi, Zurya!'
Derai tawa kembali dilontarkan perempuan bermata hitam gelap itu.
'Jangan tertawa karena saya serius!'
"Oh baiklah." Dia menahan tawanya.
'Temui saya, sekarang! Di tempat biasa kita dahulu bertemu, paham?'
Pramusaji datang mengantar pesanan teh. Dia——Zurya——mengangguk singkat pertanda ia menerima pesanan.
"Sepertinya Anda menyalahi tugas saya sebagai seorang profesional dengan emosi menggebu, ya? Anda tidak sadar, Pak? Saya tidak lagi tertarik mengganggu Hanan."
Gantian yang di seberang telepon terkekeh geli. Namun, suara kekehan itu sirna. Entah karena sinyal atau memang sengaja, sambungan itu terputus begitu saja. Perempuan itu memberengut kesal. Tambah kesal ketika di dalam cangkirnya terdapat dua lalat besar. Dengan gestur tangan, ia panggil si pramusaji tadi.
"Ada yang bisa saya bantu lagi, Mbak?"
Perempuan itu mengarahkan telunjuknya ke gelas tehnya. Pramusaji itu meminta maaf dan mengatakan bahwa ia akan membawakan teh yang baru.
Pramusaji itu membawa gelas dan pergi ke dapur.
"Teh? Tumben?"
Suara laki-laki yang baru saja tak ada sopannya karena tiba-tiba berkata langsung dan bukannya menyala dengan salam itu membuatnya terkejut.
"Aku Sheryl, apa pun yang kulakukan meski di luar kebiasaan atau kesukaanku tentu tak boleh dipertanyakan, Dion."
Laki-laki itu mendengkus. Perempuan ini sama sombongnya dengan Aksa. Dion menarik kursi di depan si perempuan kemudian mendudukinya.
"Jadi, apa motif kalian sampai harus membunuhnya?" tanya perempuan itu kemudian.
"Apa aku bilang kalau kasus ini pembunuhan?"
Perempuan itu menggeleng. "Intuisiku berkata ini akan menjadi kasus pembunuhan atau lebih mengerikan daripada itu."
"Kami bukan kriminal, Zurya."
Terdengar decihan kentara yang dikeluarkan oleh perempuan berambut sepinggang yang kini tengah ia gerai. Poni menghiasi dahinya. Sebagian rambutnya keriting, di bagian bawah.
"Lalu?"
"Kita belum melakukannya, jadi mana bisa tahu." Dion mengangkat bahunya.
"Aku tidak menyangka Hasna memiliki ayah dan mantan suami yang agak terganggu jiwanya."
"Terdengar taksa."
"Tidak ada yang ambigu! Itu jelas aku mengatakan bahwa kalian memang benar-benar terganggu!"
"Aku tidak begitu paham maksud dari terganggu yang kau katakan, Zurya."
Hampir saja ia meneriaki laki-laki di depannya ini dengan makian andalannya: bodoh!
Pramusaji tadi datang lagi, mengantar teh. Karena kesal dan mungkin haus akibat berdebat, Zurya langsung meminum teh yang disodorkan.
"Tunggu!" perintah Zurya ketika pramusaji tadi pamit undur diri. Menatap tajam ke arah pramusaji dan menuding bahwa teh yang dibawakan adalah teh yang sama dengan yang pertama tadi. Tak diganti melainkan hanya dibuang saja lalatnya. Jika begitu, ia juga bisa tanpa harus meminta bantuan orang dapur dan pramusaji untuk melakukannya. Ia minta diganti tehnya, bukan hanya dibuang lalatnya.
"Jangan menuduh sembarangan begitu. Kami bisa saja menuntut atas pencemaran nama baik." Pramusaji tetap pada pendiriannya.
"Silakan saja. Pamanku seorang pembesar di kepolisian, jika kalian ingin tahu."
Wajah pramusaji itu memutih saking ketakutannya, sementara Dion mendengkus geli.
Kemudian lelaki tersebut menghela napas. Ia gamit tangan wanita kepercayaan Aksa untuk keluar dari kafe itu.
"Tugas menanti, Zurya." Dion berkata. Mau tidak mau, Sheryl Zurya Syafitri menuruti.
Mobil melaju cepat ke jalanan menuju tempat yang mereka sebut markas untuk menyusun rencana.
"Apa Anda sengaja menjemput?" Nada menggoda terselip pada lontaran pertanyaan itu.
Pertanyaan dari Zurya membuat Dion sedikit terkejut. Apa modusnya sudah terendus?
"Katakanlah begitu. Pamanmu menitipkan keselamatanmu padaku, jadi ...,"
"Jadi karena Om Andi, ya?" nadanya seperti kecewa entah karena sebab apa.
"Oh ya? Bagaimana kau bisa tahu kalau teh itu tidak diganti?" Dion mengganti topik.
Senyum angkuh terpatri di wajah tegas milik Zurya. Tatapan wanita itu pada Dion yang mengemudikan mobil seperti meremehkan. Ditambah lagi dengan kalimatnya yang terkesan merendahkan.
"Tidak bisa menganalisis, ya? Gunakan pikiran, please."
Terperanjat sekaligus kesal, itulah sekarang yang dirasakan oleh Dion. Sebuah tawa menggantikan respons pria itu atas kalimat sinis keponakan dari suami ibunya Hanan tersebut.