Hasna menerima sebuah pesan dari nomor asing. Pesan itu bertuliskan:
["Assalamu'alaikum. Saya Rina, ibunya Hanan dan Hana. Anda pasti kenal sekali dengan mereka. Tetapi saya belum mengenal Anda dengan baik. Bisakah kita bertemu? Hanya berdua saja. Pastikan tidak ada yang mengetahui. Mengenai nomor Anda, nanti saya beritahukan dari mana saya mendapatkannya."]
Tidak tahu mengapa, tangan Hasna bergetar. Dia merasakan firasat yang buruk, tidak mengenakkan. Seperti berada dalam suasana horor. Lantas tiba-tiba saja ingatannya melayang pada situasi beberapa tahun lalu.
Telunjuk kanan Hana bersentuhan dengan mading sebelah ruangan. Tempat itu adalah pos mengurus segala tentang observasi mahasiswa dan mahasiswi yang diadakan lima hari lagi. Pada majalah dinding itu, dicari deretan huruf membentuk dua kata yakni Hana Sitarani.
"Han! Hana! Kita di kelompok 49!"
Hasna, yang sudah menjadi teman akrabnya sejak peristiwa besar itu berseru-seru. Nada suaranya terdengar girang. Kesedihan sudah tidak ada lagi terdengar pada getaran yang dihasilkan oleh tenggorokannya.
"Empat puluh tujuh," koreksi Hana ketika jarak mereka hanya lima jengkal.
"Sama aja lah itu," katanya membela.
"Beda!"
"Ishhh. Hana selalu gak mau kalah," rajuknya sambil memajukan bibir.
"Karena memang Hasna salah sebut. Gimana sih? Eh, tapi Hasna Lily bisa merajuk jugak ya?" goda Hana sambil menjawil pipi tembam lawan bicaranya.
"Oke, jadi kita di kelompok empat sembilan, eh … empat puluh tujuh!" ulangnya.
"Iya. Tadi aku udah denger."
"Kita sama Yusra juga."
Siapa itu Yusra, Hana tidak tahu. Akan tetapi dia yakin akan segera tahu nantinya. Untuk merespons Hasna, Hana mengangguk dua kali. Hasna melirik kiri dan kanan. Melihat tingkahnya, Hana pun menanyakan perbuatannya itu.
"Tau, gak?" Ekspresinya begitu serius. Bahkan suaranya dipelankan, seakan tengah bisik-bisik tetangga.
"Nggak."
Dia—Hasna—kembali merengek. "Aku serius, Honey!"
"Hasna mau bilang kalo sekolah tempat kita PKL itu seram, angker, berhantu?" Hana memicingkan mata dengan raut wajah seperti meremehkan.
"Kok Hana tau? Cenayang ya? Belum lagi aku bilang Hana sudah tau duluan."
"Cenayang kepalamu itu!" sergah Hana dengan mimik wajah judes.
"Ini namanya analisis. Kan aku pintar." Hana melanjutkan sambil mengangkat dagu dengan wajah ala-ala pemeran antagonis di drama Indonesia.
"Masa? Ngaku aja deh. Hana cenayang, jadi pasti Hana udah tau duluan. Ya, kan?"
"Aku kan detektif."
"Detektif kepalamu itu!" Gantian, Hasna yang meneriaki Hana dengan membara.
Bukan apa-apa Tentu saja Hana tahu jelas mengenai kisah-kisah semacam ini. Bagaimana lagi? Toh, cerita bahwa sekolah berhantu itu rumor lazim yang sering digaungan setiap zaman.
"Udah lah, yok! Kita ambil suratnya."
"Surat apa?" tanya Hasna kebingungan.
"Laa Ilaaha Illallah!" Hana sampai mengeluarkan kalimat tauhid karena pertanyaan dari kawannya. "Masih ditanya pula surat apa. Jangan-jangan Hasna juga tidak tahu kegunaan surat itu."
"Surat apa dulu nih."
Sebelum Hana menjawab, sebuah suara menginterupsi.
"Kelompok Empat Tujuh! Kelompok Empat Tujuh! Mana nih suaranya!" seruan itu datang dari arah mading, artinya dekat dengan mereka berdua.
Lima orang mahasiswi mendekati perempuan berdandan menor yang barusan berseru-seru tadi. Sepertinya mereka juga kelompok empat puluh tujuh. Hasna menarik tangan Hana untuk bergabung bersama enam orang itu. Hanya tersisa dua yang belum ada, karena menurut surat di edaran jumlah satu kelompok adalah sepuluh orang.
Setelah berbasa-basi kenalan, akhirnya salah satu di antara mereka masuk ke ruangan tempat segala keperluan dalam pelaksanaan observasi yang akan mereka jalani. Orang itu adalah Indah Sari. Dia juga mendeklarasikan sepihak kalau dia adalah ketua kelompok. Alasannya karena dia sendiri dari jurusan Bimbingan Konseling di antara para kawan-kawannya. Saat dia mengemukakan alasannya, Hana berbisik kepada Hasna, "Entah motif macam apa itu."
Tentu saja Hasna meledakkan tawa. Kemudian berujar, "Ya udah kalau gitu, Hana aja yang jadi ketua. Kan preman. Dulu aja pernah ngehajar kakak kelas kita. Belum lagi ikut terlibat perkelahian sama sekolah sebelah."
Hana mendengkus sebal karena aib masa lalunya malah diungkit-ungkit lagi. Sejurus kemudian berkata, "Hiiiih! Ogah!"
Sementara Indah mengambil surat perizinan sebagai tanda mereka untuk diperbolehkan melakukan observasi di sekolah itu, Hasna tampak menghubungi dua orang yang belum berkumpul, salah satu dari mereka adalah teman yang ia informasikan tadi.
Pembekalan dilakukan pada pukul delapan sampai pukul sepuluh pagi di aula utama. Di sana, mereka semua diberi bekal untuk melaksanakan tugas. Di akhir pembekalan, para ketua kelompok disuruh membagikan buku kecil bersampul hijau toska kepada masing-masing anggota. Buku itu adalah buku jurnal untuk diisi selama sepuluh hari di sana. Selain itu ada satu buku tipis yang merupakan buku laporan kelompok yang harus diserahkan kepada dosen pembimbing pada hari terakhir observasi.
"Pak Isra Imran L? L-nya apa nih?" tanya Yusra, dari jurusan Fisika.
"Tak perlu diurusin itu, Yusra. Kita minta tanda tangan bapak itu dulu aja buat laporan kita. Kalok bisa pun sekalian jurnalnya."
Hana merasa Hasna mengemukakan ide yang bagus. Masalahnya, Hana kembali berpikir jika saja sang dosen tak mau diganggu oleh para mahasiswinya, akan bagaimana ceritanya? Tadi saja, saat Indah menghubungi, Pak Imran malah mengatakan kesibukannya hari ini lebih penting daripada urusan menandatangani surat izin yang akan dibawa ke sekolah tempat observasi.
"Guys, jadi kita naik apa ke sana? Hari ini, kan? Soalnya besok udah mulai cari tempat tinggal." Mahasiswi berpakaian serba cokelat kopi dari jurusan Bahasa Inggris bertanya. Namanya Liana.
"Kalo tempat tinggal, kayaknya kita udah dicarikan deh sama Pak Imran." Indah menjelaskan.
"Kok bisa?" Mereka semua serempak menanyakan.
Akibat dari keserempakan itu, para mahasiswi tersebut pun menjadi pusat perhatian dikarenakan setelahnya mereka tertawa keras. Di tengah riuh dan banyaknya kerumunan peserta magang satu, anak didik Imran adalah kelompok paling heboh, menjadi pusat perhatian karena hal tadi.
Indah kembali menjelaskan bahwa Pak Imran baru saja mengirim pesan padanya.
"Bagus. Alhamdulillah," respons Hana, acuh tak acuh.
"Makannya gimana?" Giliran mahasiswi yang paling berisi badannya di antara mereka bertanya. Namanya adalah Sari.
"Ya masak." Indah menjawab.
"Gak ada rumah makan buat rantangan aja ya?"
"Ada sih. Tapi buat hemat, apa salahnya kita masak? Rame-rame aja kok. Bukan anak kos Anda ya?" Indah menjawab setengah mencibir.
"Anak kos. Tapi aku eksklusif. Anak kos rantangan, bukan anak kos masak sendiri. Chatering gitu loh." Dia terlihat tengah menyombongkan diri di mata Hasna dan Hana bahkan di mata semua rekannya.
Tak ada yang merespons dia lagi. Hasna menyenggol bahu Hana. Matanya mengisyaratkan untuk membalas ucapan Sari, tapi Hana abaikan. Saat ini, bagi Hana untuk meladeni Sari bukanlah hal yang penting. Sebagai balasan atas kode Hasna, adik perempuan Hanan hanya menyeringai kecil.
Kemudian para mahasiswa-mahasiswa tersebut kembali berembuk masalah transportasi untuk menuju ke sana—tempat mereka melakukan observasi. Jarak dari kota mereka ke tempat magang dapat ditempuh selama tiga jam perjalanan. Beberapa menit telah berlalu dan telah diputuskan. Maka keputusannya adalah mereka akan menggunakan angkutan umum.
"Dari jalan besar memang tiga jam, tapi kita masok lagi loh ke dalam. Katanya gak ada kendaraan lain di sana kecuali becak." Indah menginformasikan saat kawan-kawannya berada di dalam angkutan. Kebetulan sewanya memang hanya tinggal mereka saja.