Hasna langsung menunjukkan ekspresi menyesal hingga keluar permintaan maaf dari lisannya. Hanan menghela napas, menurunkan pandangan mata. Sementara Navya berdiri diiringi tawa geli. Lantas, gadis itu mendekati Hanan. Adik perempuan Hanan yang tak lain Hana, hanya duduk tenang sambil melihat drama ketiga manusia yang lebih tua darinya.
"Nan, kayaknya antum udah bisa nanyain dia lagi deh. Kali ini, pasti—Insyaa Allah diterima."
Hasna mengernyit. Karena kecemburuan, dia menjadi berasumsi kalau yang dimaksud Navya bisa saja menanyai salah satu wali nikah untuk segera melangsungkan pernikahan. Memikirkan itu, tiba-tiba saja dada Hasna seperti dihantam benda tak kasatmata, kalau boleh meminjam salah satu frasa terkemuka, maka ungkapan yang pas adalah: sakit tak berdarah.
Hanan mendengkus. Jadi, inilah maksud Navya tempo hari yang mengatakan bahwa dirinya akan membantu Hanan sampai sukses untuk mengetahui perasaan Hasna yang sesungguhnya. Pantas saja, tadi Navya pun bersikeras untuk datang ke rumahnya ketika Hanan menginformasikan kalau Hasna sedang bersama Hana di ruang tamu mereka.
"Hana, yuk! Kak Navya mau milih bibit mawar. Biarin mereka berdua di sini. Mungkin kalo ada kita,Hasna-mu malu. Enggak perlu nunggu pekan depan." Navya langsung menarik lengan Hana tanpa persetujuan gadis itu.
"Pintu di buka lebar-lebar ya~" Sayup-sayup suara Hana terdengar sebelum benar-benar keluar dari sana, disertai cekikikan.
Sekarang, tinggal Hanan dan Hasna yang ada di ruang tamu dengan pintu yang dibuka lebar. Sekarang Hasna paham situasinya. Ini jebakan. Hasna berkeyakinan bahwa Hanan tidak mungkin terlibat dalam rencana semacam ini.
"Aa—"
"Kita engak usah pakai basa-basi lagi," Hanan memotong kalimat Hasna.
Di luar, tepatnya di balik pintu masuk, Navya berbisik kepada Hana. "Apa-apaan abangmu? Mesti pakai mukadimah harusnya. Gimana pas nikah, terus malam pertama? Apa langsung aja tanpa pemanasan? Kan enggak boleh."
Hana menahan diri untuk tidak tertawa oleh guyonan dewasa ala Navya. Matanya fokus memperhatikan Hanan dan Hasna yang berdiri berhadapan.
"Saya mau nikah sama Hasna. Apa saya boleh datang melamar? Jika kali ini pun ditolak, saya janji tidak akan mengganggu lagi."
Hasna menganga. Pikirannya berkecamuk, antara senang dan bingung. Senang karena permintaan Hanan yang tak lain adalah lamaran untuknya. Bingung harus berbuat apa untuk merespons. Otaknya membeku seketika.
"Ma-maksudnya gimana, Bang?"
Hanan tertawa kecil. Dia mengulang lamaran dengan bahasa yang lebih sederhana."Hasna, maukah menerima saya sebagai suami?"
Saat ini, Hasna ingin berteriak kegirangan. Dia bisa menyembunyikan perasaan, tetapi gagal mengemukakan hal yang terus ada dalam hatinya. Karena itu, wanita itu secara jujur berkata, "Sebenarnya, Hasna pernah berpikir untuk mengungkapkan rasa kepada Abang. Tapi, agak malu karena status janda yang Hasna sandang."
Hanan diam-diam tersenyum lega, dia dengan tenang memerhatikan Hasna. Berbeda dengan Hanan, Hana malah lebih heboh berkasak-kusuk dengan Navya yang mengambil video pasangan Hanan-Hasna secara rahasia.
"Hasna … Hasna … tak kusangka! Gila! Enggak nyangka kalau Hasna senekat ini cuma gara-gara cemburu. Mantap! Akhirnya jadi kakak ipar juga!" seru Hana tertahan.
"Ssshht! Nanti kita ketahuan!" Navya menyenggol bahu adik Hanan sambil terus merekam dua orang yang sedang melakukan aksi lamar-melamar itu.
"Tapi, bukankah Ibunda Khadijah Radhiyallahu Anha pun melamar Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam duluan? Apa yang membuat Hasna malu?"
Hana yang mendengar itu mengangguk antusias, membenarkan kalimat abangnya. Navya masih saja senyum-senyum senang dalam aksi merekamnya.
"Benar. Tapi, sungguh tidak pantas kalau saya membandingkannya dengan Ummul Mukminin Al-Kubra itu. Bernasab mulia, putri Mekkah. Bangsawan kaya serta kelebihan-kelebihan lainnya yang tidak saya punya."
Hanan tersenyum kembali. Hana yang menjadi penonton malah tidak sabar. Dia berpikir mukadimahnya terlampau panjang. Tidak seperti dirinya dan Dharma dahulu. Ketika Dharma memintanya untuk ke jenjang pernikahan, Hana menjawab: "Kalau aku sih mau aja nerima. Tapi, kan … Mas Dharma mesti izin ke abangku. Kalau diterima, ya ayo kita nikah. Kalau enggak diterima, ya bujuk terus sampai bisa."
"Hasna …." panggilan lembut Hanan menghipnotis wanita itu.
"Kami tidak pernah mengetahui solusi untuk dua orang yang jatuh cinta selain menikah." Hanan mengucapkan kalimat yang dikutip dalam Hadits Riwayat Ibnu Majah kepada Hasna.
Hasna mengangguk. Dia pernah mendengar hadits ini sewaktu zaman perkuliahan dahulu. Dia mengerti apa maksud Hanan. Namun, dia teringat pula dengan ayahnya. Setelah memandang Hanan sekilas, dia pun semakin mengerti kalau kalimat Hanan tadi bisa juga dikatakan untuk melamar Hasna pada ayahandanya.
"Jadi?" Hanan meminta kejelasan.
"Saya menerima lamaran Abang." Hasna berkata mantap, tanpa keraguan.
Hana langsung menerobos masuk dan menghampiri Hasna, lantas memeluk wanita itu erat. "Congratulation, Hasna … My Sister-in-law!"
Hasna balas memeluk dan menyembunyikan wajah di bahu sahabatnya itu. Dia malu setengah mati. Navya ikut bergabung dan mengucapkan selamat pada Hanan dan berkata baru saja mengirim hasil video tadi.
"Kau memang iseng, Navya." Hanan memeriksa ponsel dan melihat isi video yang dikirim melalui aplikasi berwarna biru yang namanya persis mirip dengan telegram.
Navya tak acuh, lalu menyentuh pundak Hana. "Han, kak Navya pulang dulu, ya."
Hana melepas pelukannya. Hasna memegang tangan Navya, seraya berujar penuh penyesalan, "Maafkan saya karena hal kurang mengenakkan tadi ya, Kak."
Navya tertawa geli. "Harusnya saya yang bilang begitu. Untuk mengetahui perasaanmu kepada Hanan, saya memakai cara memanas-manasi, yang ternyata berhasil." Navya kemudian tertawa lagi, kali ini tergambar betapa senangnya ia, tawa itu pun diikuti oleh cekikikan Hana.
Hasna tertunduk malu.
"Baiknya blokiran mantanmu itu, dibuka. Kabarkan padanya kalau sekarang seorang Hasna sudah bahagia."
Hanan menatap Hasna, seakan meminta penjelasan lewat pandangan mata. Seiring dengan itu Navya pamit undur diri dari mereka.
"Tadi, Dion minta ketemuan." Hasna memberi informasi.
Hana duduk di sofa, demikian pula Hanan. Hasna turut pula duduk di sebelah Hana, berhadapan dengan Hanan.
"Oh," respons Hanan.
Hana dan Hasna saling berpandangan tentu saja dua perempuan itu bingung dengan maksud respons laki-laki paling tua dan satu-satunya di antara mereka.
"Dia cuma nelepon gak penting, Bang." Hana bersuara.
"Saya blokir dia, karena mengganggu."
Hanan mengangguk. Wajahnya tidak seramah tadi. Terlihat dingin dan cemburu.
"Tapi, dulu kayaknya Hasna suka ya diganggu dia."
Delapan kalimat Hanan, memperjelas kecemburuan pemuda itu. Hasna menggaruk pelipisnya. Sementara Hana sudah tertawa terbahak-bahak.
"Aku enggak ikutan ya. Udah, anggap aja aku enggak ada." Hana lari dari sana dan tidak berniat mengintip lagi seperti tadi.
"Jadi, Bang Hanan mau Hasna kayak mana?" Hasna bertanya lembut.
Hanan pun menjadi luluh.
"Temuin aja dia." Hanan masih bersuara dingin.
Hasna hendak berkata-kata lagi, tapi Hanan lebih cepat menikung, "Temui dia, bersama saya."
Senyum Hasna mengembang. Wajah Hanan juga tidak semenyeramkan tadi, bahkan mata dan bibirnya ikut pula tersenyum.
"Kita nemuin dia, setelah ketemu sama ayah. Mau, Bang?"
"Oke. Gak masalah. Itu malah lebih baik."
Hasna tersenyum, matanya menunduk. Dipandangi Hanan membuatnya seperti gadis remaja yang baru saja merasakan getaran aneh di dalam dada. Mendebarkan sekaligus menghangatkan.
"Jadi, kapan kita ketemu ayahmu, Hasna?" pancing Hanan.
"Sekarang juga boleh." Hasna berkata antusias.
"Benar?"
"Benar."
"Oke. Abang ganti baju dulu." Hanan kemudian bangkit dan meninggalkan Hasna di sana untuk menuju kamar tidurnya di lantai atas.
Muka Hasna memerah, tapi dia tak repot menutupi itu semua. Hana juga tidak ada di sini untuk menggodanya. Hanya karena Hanan mengubah sapaan 'saya' menjadi 'Abang' saja, ia senang bukan main.