Bunyi hujan gerimis menimpa atap seng di rumah terdengar berlomba-lomba nyaring di telinga ketika Yudi mengetuk pintu sebuah rumah.
Rumah tersebut terbilang mewah. Lantainya beranda rumahnya saja marmer, rumahnya dua lantai, tetapi sayang tidak berpagar. Menurut orang-orang yang bergunjing—yang sempat Yudi curi dengar tadi—rumah itu memang sengaja tak berpagar dahulu. Alasannya masih tidak diketahui, mungkin bisa saja ingin pamer mobil baru atau semacamnya. Yudi pun malas mencari tahu karena bukan urusannya.
Pintu yang diketuk oleh ayah Hana tadi terbuka. Penampakan yang pertama kali terlihat adalah wanita paruh baya dengan menggunakan daster batik selutut dan lengan sesiku.
"Oh!" Hanya itu yang didengar oleh telinga Yudi dari mantan istrinya.
"Suamiku lagi kerja. Enggak ada di rumah. Maaf, kalo aku gak persilakan masuk. Ada apa, ya?" Rina berbicara agak keras untuk mengimbangi suara hujan. Setengah badannya tertutup oleh pintu.
"Aku memang mau bicara sama ibunya Hana dan Hanan, bukan suamimu. Dia gak ada hubungannya dengan yang mau aku bicarakan." Yudi berkata datar.
"Tapi aku harus izin Mas Andi!" Rina menutup pintunya dengan tenaga yang kuat.
Yudi merapatkan giginya, merasa sangat kesal sekaligus tak berdaya. Padahal dalam hidup, ia ingin sekali berguna bagi Hanan dan Hana walau hanya sekali. Namun, semua pupus ketika harus melibatkan ibu mereka berdua.
"Ya! Minta izinlah. Katakan kalau kau masih punya anak yang lain dan mereka menantimu!" Yudi pun akhirnya berteriak.
Setelah mengatakan itu, dia tidak langsung pergi. Berharap mantan istrinya tersebut sudi melembutkan hati demi anak-anak mereka. Namun ternyata tidak. Bahkan hujan semakin deras. Merasa perbuatannya konyol, menanti manusia yang telah rela meninggalkan anak-anaknya demi pria lain adalah sebuah kesalahan fatal.
Ketika tubuhnya berbalik, didapatinya tubuh tegap berdiri dengan memegang payung.
"Andi ...."
"Enggak masuk, Bang?" Andi, suami Rina berbasa-basi. Baju kemeja putih dan celana katun hitamnya tampak sedikit basah. Mungkin sebelum membentangkan payung, air yang jatuh dari langit oleh Malaikat Mikail Alaihis Salam terkena pakaiannya.
Yudi tersenyum miris. "Gak perlu. Aku cuma perlu izinmu buat Rina ketemu sama anak-anaknya."
Andi tidak bersuara lagi, wajah yang tadi menampilkan keramahan, tiba-tiba lenyap begitu saja. Entah apa yang ada di pikiran lelaki itu. Tanpa mau berlama-lama, Yudi pun beranjak dari sana. Selain karena hujan, tentu karena merasa muak dengan sikap Rina dan Andi. Rina yang tidak bisa menangani perihal pelik dan terkesan tidak peduli pada darah daging dan Andi yang munafik, setidaknya itulah penilaian Yudi kepada dua orang tersebut.
Sementara di dalam rumah, Rina kembali mengingat masa sulitnya bersama Yudi dahulu. Wanita tersebut menikah karena perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya. Memang, Yudi yang dahulu adalah calon suaminya adalah yang kini sudah menjadi mantan suami adalah seorang lelaki yang cukup mapan. Dia memiliki sawit satu hektar—di salah satu desa—dari warisan mendiang sang ayah yang juga seorang tentara. Kebun kelapa sawit itu dikelola oleh orang lain. Selain itu, lelaki tersebut berprofesi sebagai mandor di perkebunan kelapa sawit milik teman ayahnya. Kehidupan mereka tentram dan damai. Perlahan, Rina pun dapat mencintai suaminya itu. Meski di desa, tetapi keadaan hidup Rina lebih terasa nyaman. Dulu, semasa di kota dia selalu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri dan hidup pas-pasan. Sekarang, dia bahkan memiliki binatu. Pekerjaan rumah yang dikerjakannya hanyalah memasak, membersihkan rumah. Selebihnya dikerjakan oleh binatu. Baik menyuci pakaian, menyetrika, menyapu halaman dan lainnya.
Di tahun kelima, Yudi membuat ulah, kegaduhan akibat pertengkaran pun tidak bisa dihindari. Dia suka bermain judi. Uang hasil kerjanya sebagai mandor tak lagi dia berikan kepada Rina. Belum lagi kebun satu hektar itu dijual dan Yudi menguasai seluruh hasil penjualan perkebunan.
"Judi pun haram, Pak. Bukan cuma miras sama babi aja. Sama kayak ke dukun haram, main judi pun juga." Rina coba menasehati dengan kalimat santai dan nada yang tenang.
"Halah! Gak usah sok suci! Berkaca aja sendiri. Kayak enggak pernah aja buat dosa. Kayak enggak pernah buat sesuatu yang haram." Bukannya terbuka hati, Yudi malah terkesan menyindir masa lalu istrinya.
"Aku memang pernah buat dosa. Haram. Tapi sekali, dan itu kusesali sampai mati nanti. Tapi Allah itu maha pengampun. Kalau kita bertaubat, pasti diampuni."
"Halah! Gak usah ceramah! Pening kepalaku!!"
Pertengkaran itu terus terjadi hingga Rina memutuskan untuk pergi ke kota tempat rumah ayah dan ibunya berada membawa Hanan, buah hatinya yang manis dan penurut juga menyenangkan bila dipandang. Keputusan itu dia ambil pada tahun keenam pernikahan mereka karena insiden pengambilan televisi dari dalam rumah mereka sebagai taruhan judi.
"Bapak main judi lagi? Kan aku udah bilang, jangan ulangi! Ini udah berapa kali, hah? Uang belanja enggak kau beri, aku diam. Uang sekolah anak-anak belum terbayar, aku yang usahain. Emas mahar darimu kujual untuk sekolah dan kebutuhan sehari-hari, aku masih diam. Sekarang tipi pun mau kau ambil. Di mana otakmu?"
"Diam! Uang yang kupakai ini uangku! Apa hakmu mengatur, hah?" bentak Yudi dengan nada tinggi.
"Kewajibanmu memberi kami nafkah! Aku dan Hanan!" Rina tak kalah meninggikan suara, dia pun berseru.
"Hanan bukan anakku! Anak itu anak haram yang kau bawa bersamaku ketika menikah dulu!"
Rina merasa dadanya dihantam gada atau apa pun namanya yang jelas benda berat tak kasatmata. Sesaat setelah mendengar itu, dia terdiam sebab otaknya memproses kalimat sang suami.
"Ceraikan aku aja kalau gitu." Rina akhirnya berkata, intonasinya datar, tatapan matanya kosong.
Mengingat kejadian terdahulu membuat air mata Rina mengalir, sampai-sampai dia tidak mengetahui kalau suaminya—Andi—sudah pulang ke rumah mereka.
Andi membiarkan wanita yang telah belasan tahun ia nikahi itu melamun sambil sesekali mengusap sudut mata. Dalam lamunan itu, ada satu sisi kecil yang mempertanyakan sikap Rina. Pertanyaan sederhana yang mampu mengusik ibu dari lima orang anak tersebut.
Pertanyaannya adalah : Jika memang Yudi yang bersalah dan menyakiti hatinya, mengapa dendam yang berkobar di dalam hati ikut menyeret kedua anaknya yang tidak bersalah. Mengapa mereka harus menanggung beban atas kejadian masa lalu orang tua mereka?
Pertanyaan itu memang selalu menghantui Rina sejak dahulu. Sejak dia memutuskan hubungannya—secara sepihak dan begitu saja tanpa pemberitahuan—kepada Hanan dan Hana. Dua manusia yang lahir dari rahimnya harus menjalani hidup layaknya yatim piatu meski ayah dan ibu mereka masih hidup, bahkan hidup enak dan berkecukupan.
"Hanan … Hana … Anak-anak Ibuk …." Kata-kata itu meluncur penuh perasaan dari mulut Rina setelah sekian lama.