Hana bersiul mendapati kakak lelakinya yang memilih pakaian untuk menemui Aksa. Dia memilihkan pakaian yang baik untuk Hanan kenakan. Hasna masih di ruang tamu, menanti dengan senyum mengembang. Diambilnya ponsel, lalu membuka blokir. Dia pun mendapati pesan dari aplikasi hijau dari nomor yang baru saja ia blokir.
"Aku sudah di rumah ayah. Bersama Hasan. Kamu tidak berniat melihat ayah dari anakmu ini?"
Senyum Hasna memudar. Laki-laki ini sungguh tidak punya malu sedikitpun. Sudah jelas Hasna sangat membencinya, masih saja berusaha mendekati. Sungguh ironis sekali. Dahulu, pria ini begitu disukainya. Saking sukanya, Hasna senantiasa ingin melihat Dion, berbicara padanya, melihat wajahnya sepanjang hari dan melakukan apa pun bersama-sama. Namun kini, Dion menjadi orang yang paling tidak dia inginkan. Baik sekadar menanyakan kabar maupun tak sengaja bertatap muka karena bertemu di jalan. Luka yang ditorehkan oleh lelaki ini begitu dalam, begitu sulit disembuhkan.
Pada awal tahun dua ribu tiga belas, ketika itu pertama kali Dion ketahuan selingkuh oleh Hana. Awalnya Hasna tidak percaya sama sekali. Hingga, dia membuktikan dengan mata kepala sendiri. Saat itu, Rumia menghubunginya untuk ke suatu tempat. Karena masih menganggap teman, Hasna pergi menemui perempuan itu tanpa Hana. Tak disangka, malah pemandangan lain yang ia lihat. Sebuah adegan kotor yang tidak pantas disebutkan di depan anak di bawah usia delapan belas tahun, seperti usia Hana. Hatinya merasakan rematan maut tak kasatmata. Pikirannya seketika kosong dan jantungnya seperti ditarik dari organnya. Hana benar, Dion telah berkhianat. Bodohnya, Hasna masih menerima kembali laki-laki itu dengan alasan cinta. Terlebih lagi, Rumia menghilang tanpa jejak. Dia tidak menyelesaikan kuliahnya. Bahkan terakhir kali Rumia terlihat adalah ketika ulang tahun Hasna yang ke sembilan belas. Meski sudah meminta maaf, Hasna tetap tidak memaafkan Rumia di dalam hati, meski di lisan dia mengatakan bahwa dia tak membenci Rumia dan masih menganggap kawan.
"Aku nyesal duain kamu, Na. Kita mulai dari awal, ya?" Demikian kata Dion membujuk Hasna.
Perempuan usia sembilan belas tahun tersebut, entah bagaimana dan kenapa jadi luluh. Namun, dia memberikan syarat agar hubungan mereka kali ini tidak boleh diketahui oleh Hana.
Dion menyetujui syarat Hasna. Lagi pula, Aksa juga sudah sangat dekat dengannya. Hasna pernah berkata kalau dia hanya akan bersama orang yang disukai ayahnya. Maka, dalam hal ini, seorang Dion lebih unggul dari siapa pun.
"Hasna kok akhir-akhir ini sering senyum-senyum sendiri? Udah dapat pengganti si Daon?"
"Dion, Hana. Dion!" koreksi Hasna. Entah berapa kali gadis itu harus mengoreksi Hana yang memang sengaja menyebutkan secara salah nama laki-laki itu.
Kedua gadis tersebut berada di kafe seberang kampus. Menikmati sore hari dengan bersantai, ditemani kopi untuk Hasna dan minuman cokelat hangat untuk Hana. Mereka juga memesan makanan yang sama. Pisang bakar dengan siraman susu cokelat dan keju. Air mineral juga tersedia di atas meja.
"Bodo amat." Hana selalu tidak peduli pada kesalahan penyebutannya itu. "So? Bener?" imbuh Hana, bertanya.
"Apa sih? Mana ada begitu." Hasna menyimpan ponselnya ke dalam tas, lantas meneguk kopi.
"Terus kenapa senyam-senyum macem orang gila?" cecar Hana.
"Hana maunya aku nangis, gitu?" Hasna balik bertanya.
"Ya enggak."
"Iya apa enggak, nih?" goda Hasna.
Hana berdecap. "Ya aneh aja, padahal sepuluh hari yang lalu baru aja patah hati. Dua hari lalu juga masih murung. Tapi, setelah kemarin, semua berubah bahkan negara api tidak menyerang."
Hana tidak pernah gagal dalam membuat Hasna melengkungkan bibir. Entah itu karena leluconnya atau apa pun tingkah dan ulah si gadis penyuka film horor.
Hasna mengangkat bahu. Mencoba terlihat natural agar sahabatnya tidak curiga. "Mungkin karena aku dapat hadiah pas ulang tahun kemarin. Atau karena bebanku udah ilang."
"Hah? Alasan macam apa itu?" selidik Hana, matanya memicing curiga.
Hasna menarik napas. Wajahnya dibuat seserius mungkin. "Rumia pas itu, datang ke rumah."
"Hah?! Berani benar dia. Enggak tau malu!" komentar Hana. "Terus, terus?"
"Ya … gitu."
"Ya apa? Apanya yang gitu sih? Jelasinnya jangan separuh-separuh." Hana mulai tertarik pada pembahasan menjurus perghibahan ini.
"Dia dateng, minta maaf. Selesai!"
"Terus dia dimaafkan. Wah!" Hana melanjutkan.
Hasna mengangguk. "Kuharap begitu."
Hana melihat sekilas wajah Hasna yang sendu. "Aku tau Hasna belum bisa. Tapi, aku yakin suatu saat nanti, entah sepuluh tahun lagi, mungkin Hasna bisa benar-benar memaafkan dan melupakan itu. Asal Hasna enggak balikan aja sama Dion."
Hasna tertegun. Hana malah tertawa dengan tujuh kata terakhir yang diucapkannya.
"Maaf, maaf … bukan maksud ngungkit luka lama." Hana berkata santai.
Hasna tersenyum kecut. Andai saja ia bisa mengatakan pada Hana hal yang sebenarnya. Dia tidak perlu bersembunyi. Backstreet bukan takut pada ayah, tetapi pada sahabat. Selucu itu mereka. Belum lagi Dion yang kerap menyuruh Hasna menjauhi Hana. Laki-laki itu tidak menyukai kedekatan dua perempuan itu. Baginya, Hana lebih berbahaya dari laki-laki. Firasatnya mengatakan, Hana memberi pengaruh buruk untuk hubungannya dengan Hasna. Namun, bagaimana pun, Hasna tidak akan melakukan kesalahan seperti dahulu. Mana dia mau menjauhi Hana. Kalau bisa, dia akan mengancam Dion, kalau masih saja menyuruhnya tidak usah berteman dengan Hana, maka mereka lebih baik mengakhiri hubungan saja.
"Eh! Aku enggak pernah lagi liat si Rumia lagi yak. Udah tiga hari." Hana tiba-tiba menjadi perhatian padanya, atau lebih tepatnya penasaran.
"Aku enggak tau. Dan enggak mau tau." Hasna menjawab dingin.
Hana mendengkus, susah payah menahan senyum. "Yang katanya udah maafin."
"Aku enggak bisa pura-pura di depan Hana. Aku memang udah maafin dia. Tapi, bukan berarti aku bisa kembali bersama dia kayak dulu."
Hana bertepuk tangan. "Artinya kamu mau nikah sama abangku, kan?"
"Hah? Ya enggak gitu juga."
"Ya daripada cari lagi, mending sama abangku aja. Mapan kok."
"Hana, enggak dulu ya."
"Tapi, kemarin katanya mau kal—"
"Iya. Tapi enggak buru-buru juga." Hasna berusaha tidak terpancing.
"Karena abang cuma tamatan SMK?"
"Bukan itu. Masalahnya, memang belum mau aja. Enggak tau kapan maunya. Aku tuh masih harus nyelesaikan kuliahku dulu, kerja dulu. Keadaan ekonomi ayah udah merosot sejak dua tahun lalu. Belum lagi kemarin kata ayah mau ke luar kota lagi, perjalanan bisnis. Padahal udah ditipu sekali, ini masih aja enggak kapok."
"Ditipu? Astaghfirullah."
"Hm."
"Oh, nanti aku coba ngomong ke abang. Siapa tahu abang bisa bantu."
"Eh! Gak usah, Na."
"Eh, kenapa? Halal kok. Lagian bukan abang kasih uang atau gimana, cuma nanyain aja, siapa tau ada temennya yang bidangnya sama kayak ayahnya Hasna. Gitu."
Hasna semakin tidak enak hati. Hana benar-benar selalu menolongnya. Semester kemarin, dia juga meminta abangnya untuk membayarkan biaya kuliah Hasna. Tentu saja Hanan benar-benar membayarkan uang semesteran Hasna tanpa pamrih.
"Tapi, kalian udah banyak banget bantuin aku."
"Kan Hasna calon kakak iparku. Wajarlah aku bantu. Selain itu, bukankah kita pun saudara dalam lindungan tauhid? Tidak hanya seiman, tapi sebangsa juga."
Hasna hampir tidak tahan dengan beban ini. Dia benar-benar dilema. Namun, dia memutuskan akan berbicara saja kepada Hanan di lain hari. Karena hanya lelaki itu yang bisa menjinakkan Hana.
"Oh, iya. Abang juga bakal kuliah di Universitas Terbuka kok. Belajarnya di hari sabtu dan ahad. Kata abang sih mulai tahun depan."
Lagi-lagi Hasna tersenyum sendu melihat Hana yang semangat dalam mempromosikan kakak lelakinya.
Ingatan Hasna buyar kala suara manja Hana terdengar sedang menggoda kakak lelakinya dengan semangat. Langkah kaki mereka yang menuruni tangga dengan ceria membuat Hasna menyunggingkan senyum.
"Maaf ya, Kakak Ipar. Jadi nunggu lama." Hana dan sapaannya terhadap Hasna susah dihilangkan.
"Tidak selama penantian kalian terhadapku, ini bukan apa-apa." Hasna menatap mata Hanan dengan raut penuh cinta.
Mata Hana berkaca-kaca dan langsung saja memeluk calon kakak iparnya tersebut.