Dulu, Hasna juga tinggal di perumahan elite. Namun, hanya beberapa tahun saja. Ketika Hasna akan masuk ke perguruan tinggi Aksa mengalami kemunduran ekonomi yang menyebabkan dia harus menjual rumahnya dan tinggal di rumah lamanya. Hasna pernah tinggal di sana sejak lahir hingga akan masuk sekolah menengah pertama. Saat itu ibunya baru saja tiada. Kenangan di rumah itu terlampau banyak. Itu sebabnya Aksa pindah untuk memberikan suasana baru bagi putrinya. Tak lama, ayahnya mengenalkan seorang wanita paruh baya yang bernama Mimi untuk dijadikan pengganti ibunya. Hasna tidak berdaya untuk menolak dan tidak pula ingin menerima.
"Hasna!" panggilan yang menyambut membuat Hasna kembali dari kenangan masa lalunya.
Hana membuka gerbang. Dia memang sudah ada di sana setelah selesai sarapan demi menyambut Hasna.
"Hana nungguin aku sebegitunya. Di dalam aja kali nunggunya."
"Iya. Takutnya Hasna Lily kesasar. Kan yang repot Hana Sitarani. Soalnya kalo lapor orang hilang ke polisi, susah! Nunggu dua puluh empat jam! Belom lagi segala interogasi ini-itu. Astaghfirullah! Sulit pokoknya."
Hasna tertawa kecil. Hana pun menarik lengan Hasna dengan tergesa-gesa untuk segera masuk ke kediamannya.
"Wah! Bahkan udah ada minum sama makanannya. Hana memang yang terbaik." Hasna memuji Hana.
"Has, bukan cuma ini saja. Hatiku juga selalu tersedia untukmu. Eh, bukan cuma hati, jiwa dan raga pun sama."
Hasna tertawa. Bantal kursi yang ada di sekitarnya duduk, dilemparkan kepada Hana yang paling jago dalam urusan merayu dan berkata manis, seperti para kaum Adam terhadap kaum hawa yang disuka atau hanya iseng menggoda.
"Aku serius." Wajah Hana menunjukkan keseriusan yang semakin membuat Hasna tertawa. Bahkan kini tidak ada lagi pembatas antara Hasna yang bisa menahan diri dengan Hasna yang ceria dan tertawa lepas. Semua luruh jika Hana mengeluarkan rayuan mautnya.
"Oh, ada tamu?" Hanan yang muncul dari dapur segera bergabung.
Hasna salah tingkah. Ia malu karena perangainya agak terlihat oleh Hanan. Padahal, Hana pun sering membicarakan kebiasaan dan pribadi Hasna kepada Hanan.
"E-eh, iya, Bang. Maaf kalau Abang mer—"
"Enggak terganggu kok!" potong Hana.
"Kok Hana tau aku mau bilang gitu?" Hasna takjub.
"Ibarat buku. Hasna bisa aku baca. Eaakk …." Hana heboh sendiri, membuat Hanan mendengkus sambil tersenyum lebar.
"Oh." Hasna menunduk malu.
Hanan menjawab panggilan ponsel yang di genggamannya. Hana dan Hasna secara spontan mendengarkan percakapan. Hanan pun tidak menjauhkan diri dari kedua perempuan itu.
"Oh, iya. Nanti saya ke sana."
Hanan kembali diam, mendengarkan di pembicara di seberang telepon.
"Kamu mau bunga mawar yang warna apa? Hana punya banyak. Nanti saya bawakan setelah dapat izin dari Hana."
Hana pun sudah bisa menebak seseorang yang ada di seberang telepon. Gadis yang baru saja mereka bahas ketika sarapan tadi. Ide menggoda khasnya pun muncul.
"Siapa, Bang? Kak Navya?" tanya Hana ketika Hanan memutuskan sambungan telepon.
Hanan mengangguk. "Navya minta dibawakan bunga mawar merah."
"Bunga mawar merah, satu tanda cinta … yang berarti bahwa … kucinta padamu …." Hana menyanyikan lagu dangdut yang dulu sangat digandrungi.
Hasna tersenyum tertahan. Hana memang ada-ada saja tingkahnya. Kemudian, Hasna jadi bertanya-tanya siapakah Navya ini?
"Boleh abang minta koleksi mawarnya Hana?"
"Setangkai aja tapi ya?"
"Siap, Tuan Putri."
"Siapa Navya?" Hasna bertanya tiba-tiba di sela percakapan adik-beradik yang membahas mawar.
Hasna terkejut setelah menyadari kalau dia telah lancang bertanya seperti itu. Sebelum ia meralat dan meminta maaf atas kelancangan pertanyaannya, Hanan sudah menjawab.
"Calon kakak iparnya Hana, sahabatmu." Hanan tersenyum lembut, matanya menatap Hasna.
Perempuan yang ditatap mengalihkan pandangan, tak kuasa menatap si penatap—Hanan—lama-lama. Dalam sudut pandang Hana, Hasna kawannya ini merasa cemburu. Putri Rina-Yudi pun bersorak dalam hati. Belum lagi kakak lelakinya yang pintar membaca situasi. Kombinasi yang mengguncang.
Setelah Hanan pamit untuk mengunjungi Navya, Hasna tampak lebih murung. Dia bahkan tidak begitu jelas dalam menanggapi ocehan Hana tentang Navya yang akan menjadi kakak iparnya di masa depan. Hasna benar-benar terlambat. Padahal, hari ini dia ingin mengutarakan maksud untuk menjadikan Hanan sebagai suaminya melalui Hana. Pupus sudah karena ternyata Hanan sudah memiliki calon sendiri. Dalam hati, Hasna bertanya-tanya. Mengapa beberapa hari yang lewat, Hanan begitu berbeda, seperti masih mengharapkan dirinya, bahkan baru-baru ini pun Hana dengan jelas menunjukkan kalau Hanan masih sendiri. Kenapa dalam sepekan bisa berubah menjadi calon suami perempuan lain?
'Setelah ditimbang, sah-sah aja kayaknya. Beberapa pekan lalu memang single. Tapi mungkin aku terlalu lama menyadari, akhirnya lagi-lagi kehilangan Bang Hanan dan melepas kesempatan untuk bisa jadi kakak ipar si bunga mawar Hana. Sungguh nasib yang kurang beruntung.' Hasna berkata dalam hati. Lantas dia mengembuskan napas kasar seraya berujar, "Ya Allah!"
"Hasna? What's wrong? Jangan-jangan lagi cemburu ya?" tembak Hana.
Wajah Hasna memerah. Tentu saja dia tidak akan pernah mengakui hal itu. "Apaan sih?"
"Aku perhatikan, Hasna jadi gelisah sejak Abang pergi keluar mau nemuin Kak Navya."
"Perasaanmu aja itu. Mana ada aku gelisah."
"Iya, deh." Hana tersenyum jail.
Navya adalah saudara perempuan dari orang yang membantu Hanan dalam usaha bengkel dan kafenya di masa lalu. Kebetulan, Navya pun ada memiliki rasa pada Hanan. Namun, wanita itu juga tahu kalau di dalam hati Hanan hanya tersimpan satu nama. Memiliki rasa bukan bermakna Navya pun harus memaksakan Hanan juga harus dimiliki secara jiwa. Sesungguhnya, dia menyukai Hanan karena nama pemuda itu sama dengan nama mantan kekasih Navya di masa lalu. Hanan Arsalansyah adalah nama kakak lelaki Hana, sementara Hanansyah adalah nama mantan kekasih Navya.
"Ngomong, ngomong … kapan Mas Dharma sama Hana menikah?"
"Enggak tau." Hana mengendikkan bahu.
"Loh? Kok enggak tau?" Hasna menatap Hana takjub. Benar-benar cocok Hasna memberi predikat sebagai orang paling santai di dunia kepada Hana.
"Abangku belom nikah. Jadi aku kayaknya nunda dulu deh. Mas Dharma mau-mau aja sih nikah. Apalagi kan udah boleh pulang juga Mas Dharma. Tapi ya itu … belom bisa ninggalin Abang. Siapa nanti yang ngurusin kalau aku ikut Mas Dharma? Makanya nunggu Bang Hanan nikah dulu. Baru aku nikah. Mas Dharma enggak keberatan kok." Hana menjelaskan panjang lebar.
"Terus, kapan Bang Hanan nikah?" tanya Hasna penasaran. Dia benar-benar remuk ketika menanyakan hal ini. Bahkan lebih sakit daripada dikhianati Dion dahulu.
"Hasna tanya aja sama Bang Hanan. Kan yang mau nikah kalian, eh … mereka."
Hasna memukul lengan Hasna. "Serius, ih!"
Hana mengusap-usap lengan bekas cap tangan Hasna seraya berkata, "Mau diseriusin nih, beneran? Entar nolak lagi kayakk dulu-dulu."
"Hana apaan sih?" Wajah seputih bunga lili milik Hasna kembali memerah.
"Sebelum abangku nikah sama Kak Navya loh." Hana terus menggoda.
Hasna berdecap. "Jadi, Hana mau aku gimana?"
"Harusnya aku yang nanya sama Hasna kayak begitu. Hasna mau apa? Dilamar, nolak. Pas mau ngelamar orang lain, malah uring-uringan."
"Siapa juga yang uring-uringan?"
"Oh, jadi enggak?"
Hasna terdiam. Menjawab jujur ia malu, tak dijawab dengan jujur pun, takut.