Hasna terbangun dari tidur. Keringat membasahi tubuh. Ia arahkan matanya ke dinding. Sudah hampir pukul tiga pagi. Rumah kontrakannya terasa sepi. Hasan juga pasti sedang tidur pulas. Mencoba memejamkan mata, tetapi tak bisa. Entah apa yang dipikirkannya. Sejak diantar oleh Hanan sepekan lalu, tiba-tiba saja lelaki yang ditolaknya beberapa tahun lalu itu mengisi pikirannya. Dia bertanya-tanya, kenapa Hanan bisa sebaik itu. Kemudian dia berpikir lagi, mungkin itu karena Hana, adiknya.
Hana adalah adik kesayangan Hanan. Meski pemuda itu terluka, sakit hati karena perlakuannya dulu, tetapi rasa cinta dan sayangnya kepada Hana, membuat tidak bisa menolak kehadiran Hasna. Terkadang, Hasna iri sekali dengan Hana yang dicinta oleh Hanan sebegitu besarnya. Namun, jika dipikir lagi, Hanan juga pernah mencintainya dan berkeinginan menjadikan Hasna sebagai istri, tapi ditolak. Bahkan ayahnya, Aksa beserta Dion yang saat itu adalah kekasihnya, menyewa orang untuk memukuli kakak lelaki Hana. Memikirkan hal itu membuat Hasna semakin tidak bisa memejamkan mata.
"Saya berniat menjadikan Hasna sebagai istri saya setelah Hasna lulus nanti."
Suara-suara itu muncul kembali. Suara yang kemungkinan besar tidak akan Hanan ucapkan lagi. Memikirkan itu, tiba-tiba saja wanita itu ingin sekali menangis. Merasa bodoh dengan keputusannya saat itu. Seharusnya, dia mendengarkan Hana dan tidak menyakiti gadis itu dengan mengingkari janji. Belum Hasna lupakan, betapa terlukanya hati Hana. Itu tergambar jelas dari raut wajah dan nada suaranya yang menyayat hati.
"Mau berapa kali lagi Hasna menyakitiku? Bukannya Hasna udah janji mau jadi kakak iparku?"
Saat itu, Hasna hanya bisa mengucap kata maaf yang disertai dengan air mata mengalir deras. Undangan yang hendak diberikannya menggantung di udara. Hana terlampau kecewa. Hasna menyembunyikan fakta bahwa dia telah menjalin hubungan lagi dengan Dion. Bukan apa-apa, Hasna cuma khawatir nanti Hana akan melarang hubungan mereka yang balikan.
"Dia berkhianat kepadamu, Hasna. Mestinya kau tau, pengkhianat tidak punya tempat yang berisi kesempatan. Kenapa? Karena dia akan mengulanginya."
"Hana mengutukku?"
"Bukan mengutuk. Tapi memperingatkan."
Air mata Hasna semakin deras kala mengingat kejadian itu. Penyesalannya semakin dalam. Dion, berulah lagi. Bahkan ironisnya dengan perempuan yang sama. Yakni, sahabat Hasna sendiri. Rumia.
Hasna kembali teringat pada hari pengkhianatan itu. Pertama kali Dion dan Rumia melakukannya ketika di masa perkuliahan. Berawal dari Rumia agak menjaga jarak dari Hasna dan berubah menjadi sedikit sinis. Hasna berpikir, Rumia demikian karena dirinya mulai akrab dengan Hana. Meski demikian, Hasna tidak berniat untuk menjauhi Hana. Semakin gadis itu mengetahui Hana, berteman dan dekat, semakin ia tahu kalau Hana sangat menyenangkan dan menentramkan hati. Tentu saja dia tidak mau rugi melepas teman seperti itu.
Hari itu, Hana mengirim sebuah foto. Pada foto itu terdapat Dion dan Rumia yang sedang berpelukan erat. Darah Hasna mendidih. Hatinya hancur dan seketika itu pula ia menangis sambil membanting barang-barang yang ada di kamarnya, termasuk ponselnya. Tentu saja gawai itu menjari rusak. Hasna melemparkan benda itu ke dinding dengan penuh amarah. Bunga-bunga lili yang menghiasi meja belajar dia buang dengan emosi. Ketika itu, dia benar-benar hancur. Dikhianati orang yang dia percayai dan erat di hatinya. Kekasih dan sahabatnya.
"Kenapa kalian tega? Apa salahku?" isak Hasna kala itu di depan cermin besar pada lemari pakaiannya dengan ekspresi mengiba.
Selama dua hari, dia tidak masuk ke kampus. Hana nekat mencari gadis itu ke rumahnya, berbekal alamat yang pernah diberitahu Hasna tempo hari. Ketika datang, ia disambut ibu tiri Hasna yang sedikit sinis. Dia tidak peduli hal itu. Hanya ingin tahu keadaan Hasna saja.
Hasna keluar dari kamarnya dengan mata sembab. Ayahnya tidak ada di rumah, karena melakukan perjalanan bisnis selama lima hari di luar kota. Saat melihat Hana yang datang, langsung saja ia memeluk gadis itu erat, dan mulai menangis lagi. Takut akan dicurigai sang ibu, Hasna pun mengajak Hana ke dalam kamarnya.
"Aku mau mastikan dulu," ujar Hasna. Dia duduk di tepi ranjang sebelah kiri, menghadap jendela.
"Untuk apa?" Hana bertanya kesal. Gadis itu berada di seberang Hasna, memandang punggung temannya dengan tatapan prihatin.
"Siapa tau cuma salah paham. Dan kegalauan ini sia-sia." Hasna menjawab lagi, suaranya serak. Kali ini ia menghadap kepada Hana.
"Betul kalau kegalauanmu sia-sia, tapi kata salah paham itu mengganggu. Salah paham apanya? Jelas begitu." Hana mencibir. Ia bersedekap dengan dagu terangkat.
Hasna memandang Hana dengan mata berkaca-kaca. Ia ingin Hana mendukungnya melakukan inspeksi ulang. Akan tetapi, malah Hana terlihat sebaliknya.
.Hasna merintih, rasa nyeri yang menyerang hati membuat diri berantakan. Dia membenci pengkhianatan Dion dan Rumia. Akan tetapi di satu sisi, dia masih mencintai Dion. Anehnya, dia langsung begitu saja memusuhi dan membenci Rumia.
"Hana, aku harus gimana?" rengeknya.
"Yeee … masih nanya. Ya udah, lupakan! Cari ganti baru. Gitu aja repot. Lagian engkau bukan jelek rupa. Kenapa mesti mikirin laki-laki itu?" Hana berkata santai. Tadinya dia ingin membawa nama Hanan dalam perbincangan, tetapi setelah ditelaah kembali, sepertinya Hasna tidak akan membaik, malah semakin menambah beban pikiran.
"Apa dikira segampang itu?" Hasna dan dramanya kini bersatu untuk mengekspresikan diri.
"Ya enggak gampang, tapi coba pikir!" Hana menatap dalam-dalam netra putri Aksa.
"Kita di sini meratapi, mereka di sana lagi senang-senang. Harusnya bukan dirimu yang menangis, tapi mereka."
"Easy to say, hard to do."
"But, you will!"
Hasna merengek lagi. Hana menatap malas. Dia memang belum pernah patah hati, tetapi jika kasusnya seperti Hasna, dia meyakinkan diri takkan menangis, meratap atau apa pun namanya. Sebaliknya, dialah yang akan membuat si pengkhianat merasakan kepahitan luar biasa.
"Mending kita jalan-jalan, yok! Daripada begini, mana kamarmu berantakan. Nanti kubantu ngerapikan deh."
Hasna memeluk Hana, erat sekali. Pelukan itu seakan menggambarkan kalau Hasna sangat membutuhkan Hana saat ini.
"Mandi, sana!" usir Hana.
Secepat kilat Hasna menyambar handuk dan pergi ke kamar mandi, sementara Hana mulai mengambil barang-barang yang berceceran di lantai kamar temannya, merapikan kasur, kemudian membuka jendela lebar-lebar agar udara bisa masuk dengan maksimal. Gadis itu benar-benar menepati perkataan.
Setelah setengah jam, Hasna selesai mandi, selesai pula Hana membereskan kamar Hasna.
"Hana, makasih untuk semuanya. Aku sayang Hana." Hasna kembali memeluk Hana. Handuk dan rambutnya yang basah ikut pula membasahi sedikit pakaian Hana.
"Has, inikah cara berterima kasih? Buat baju aku basah, gitu?" Hana pura-pura marah.
Hasna pun tak tahan untuk menyembunyikan tawa. Bukannya dilepas, Hasna malah semakin erat memeluk gadis itu. Hana senang, setidaknya Hasna bisa tertawa hari ini. Tidak terpuruk karena pengkhianatan kekasih dan sahabatnya.