Chereads / TRIO HA / Chapter 8 - Kejutan

Chapter 8 - Kejutan

Hanan menarik tangan Hana. Memberikan khimar yang tergeletak di kursi untuk dipakai. Lalu mengajaknya keluar rumah untuk sekadar jalan-jalan. Hana baru menyadari kalau dalam sepekan ini, Hanan sering pulang cepat. Pukul empat sore sudah ada di rumah kecil dan agak kumuh peninggalan nenek mereka. Hanan nantinya akan mengubah rumah tersebut menjadi rumah makan atau tempat kost-kostan. Kebetulan rumah mereka itu dekat dengan kampus negeri. Sudah barang tentu jika dibuatkan bisnis rumah sewa akan bermanfaat.

"Abang kok sekarang sering pulang cepat?" Hana menyuarakan isi hatinya.

"Hana lebih suka kalau abangnya pulang tengah malam?"

"Ya bukan kayak gitu juga. Nanya aja loh, Bang."

"Hmm …." Hanan tampak berpikir keras. "Kenapa ya?"

"Ih, malah balik nanya." Hana bersunggut.

Hanan tertawa kecil. Tidak berniat merespons adiknya. Biar saja nanti menjadi kejutan untuk gadis itu. Mereka berhenti di salah satu tempat yang bertuliskan "Gulzar Optik" milik—katanya—orang Pakistan. Hanan pun mengajak Hana masuk, dan langsung disambut hangat oleh seorang perempuan berkerudung hijau dan pakaian putih.

"Ada yang bisa kami bantu, Pak?"

Hanan mengangguk dan senyum tak memudar dari wajahnya. "Tolong periksa mata adik saya. Dia sering ngeluh enggak bisa liat tulisan jauh. Matanya sering gatal dan merah."

Perempuan itu mengangguk. Lalu dia mempersilakan Hana untuk berpindah. Dari yang hanya berdiri di samping Hanan, menjadi duduk di balik tirai. Hanan pula tak lupa dipersilakan duduk untuk melihat proses pemeriksaan pada Hana.

Saudari kesayangan Hanan itu pun mulai diperiksa. Matanya diberi lensa berbeda, kemudian dia ditanyai mengenai huruf-huruf yang berada pada dinding yang jauh. Pada lensa pertama, Hana hanya bisa melihat tulisan yang besar. Letaknya pada baris teratas. Pada lensa kedua, Hana mulai bisa melihat huruf di barisan kedua, tulisannya sedang. Pada lensa ketiga, barulah Hana bisa melihat seluruh tulisan yang ada di sana.

"Sebelumnya, Adek pernah pakai kacamata, enggak?" tanya perempuan itu.

Hana menggeleng. Dalam hati menertawai saudara sulungnya. Padahal kalau dilihat, Hanan tidak terlalu tua, tetapi disapa 'pak' oleh kakak penjaga optik. Berbanding dengannya yang disapa 'adek'.

"Nah, karena belum pernah pakai kacamata, dan ini perdana. Dosis pada lensa kami kurangi dulu. Nanti kalau sudah agak terbiasa, kita ganti lagi lensanya."

Hanan dan Hana mengangguk saja. Hanan sepenuhnya paham, tetapi tidak pada Hana. Dia cuma mengikuti saja. Perempuan tadi menuliskan sesuatu sebelum meminta Hana memilih gagang kacamata yang dia inginkan. Setelah Hana menunjukkan gagang yang cocok di hatinya, maka perempuan itu mengambilnya untuk diberikan kepada laki-laki berhidung mancung di dalam sana, hanya berbatas dengan kaca, jadi mereka bisa melihat dengan jelas. Kemudian meminta kedua saudara itu untuk menunggu. Sambil menunggu, si perempuan menanyakan warna apa yang diinginkan Hana sebagai tempat kacamatanya.

"Warna ungu." Hanan menikung Hana dalam merespons perempuan cantik itu.

Hana mengangguk senang. Ibarat perumpamaan, kecintaannya pada ungu memang sulit diobati.

"Oke," jawab perempuan itu tanpa melepaskan senyuman.

Tak lama kemudian, laki-laki berjanggut dan berhidung mancung menghampiri. Sama seperti si perempuan, laki-laki itu juga ramah dan sulit melepaskan senyuman. Wibawa pria itu terpancar jelas.

"Hana Sitarani, ya?" Pria itu berbasa-basi.

"Iya, Pak." Hana menjawab sesuai alur.

Pria itu memasukkan kacamata pilihan Hana tadi ke dalam wadah berwarna ungu tadi. Hanan kemudian mengeluarkan uang dan membayar biayanya.

"Terima kasih," ucap perempuan dan pria itu bersamaan.

"Terima kasih kembali." Hanan dan Hana pun serempak pula.

Hana menanyai mengenai uang yang Hanan keluarkan untuk membeli kacamatanya yang dua kali lipat lebih besar daripada uang untuk wisatanya setelah mereka keluar dari optik tersebut.

"Hana, kesehatan mata dan wisata, mana lebih penting?"

Lagi-lagi Hana hanya bisa merengut. Melihat itu, Hanan menawarkan es krim yang akan mereka beli di swalayan. Hana yang payah menerima sogokan pun menerima tawaran dengan senang hati.

"Hana mau beli dua. Rasa cokelat sama rasa vanila."

"Hana juga boleh beli yang lain kok. Gak cuma es krim."

Kalimat abangnya membuat Hana tertegun. Dia benar-benar yakin kalau abangnya pasti benar-benar memenangkan lotre.

Keesokan paginya, Hana dibuat semakin heran dengan pertanyaan tiba-tiba Hanan. Pagi-pagi setelah selesai ibadah salat subuh, abangnya menanyakan perihal warna apa yang Hana sukai untuk disandangkan kepada mobil. Gadis itu menjawab asal, menyebutkan warna perak atau hitam. Kemudian, Hanan mengetikkan sebuah pesan dengan senyum manisnya menatap layar ponselnya. Sementara Hana ke dapur, gadis itu berniat membuat sarapan sebelum mandi dan berangkat sekolah, seperti rutinitas biasanya.

"Dek! Enggak usah masak. Kita kan udah beli roti kemarin malam."

Kalimat dari Hanan menghentikan pergerakan Hana. Dia hampir saja lupa kalau semalam mereka gila-gilaan berbelanja sampai lupa pulang. Jadi, kemarin, setelah dari optik, kedua kakak-adik itu memutuskan untuk pulang dahulu. Setelah salat isya baru akan ke swalayan. Kira-kira pukul delapan lewat lima belas menit, mereka berangkat. Awalnya memang hanya akan ke swalayan. Namun, Hanan malah menghentikan sebuah taksi yang lewat di depan jalan raya depan gang mereka. Lantas mengatakan kepada sang supir taksi untuk mengantar ke pusat perbelanjaan paling diminati tahun ini. Pantas saja sebelum pergi, Hanan menyuruh Hana mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian lebaran dua tahun lalu. Gadis itu sempat merasa kakak lelakinya terlalu berlebihan menyalin pakaian padahal hanya ke swalayan depan gang rumah mereka. Ternyata ada rencana lain darinya.