Rina mengajak anaknya pergi dari tempat itu. Samar-samar, Hanan mendengar percakapan ibu dan dua anaknya.
"Siapa tadi, Ma? Mama kenal?" suara perempuan kecil—sekitar usia tiga tahun—menanyakan.
"Enggak tau. Mama enggak kenal." Rina menjawab tanpa beban, bahkan terdengar ceria.
"Mau minta duit mama kali ya?" Sulung dari pernikahan baru Rina menimpali.
Setelah itu, Hanan tidak mendengar lagi percakapan dua anak dan ibunya tersebut. Dadanya bagai dihantam gada tak kasatmata. Sakit, tak terperi. Langkahnya gontai meninggalkan kompleks perumahan. Salah satu Satuan Pengaman memandang iba ketika Hanan melintasi gerbang keluar-masuk kompleks tersebut. Satpam itu masih ada hubungan kekerabatan dengan Hanan dari pihak ayah tirinya. Bisa dikatakan, satpam tersebut adalah sepupu jauh Hanan dan Hana karena anak dari kakak sepupu tertua ayahnya Hana. Lelaki itu sedikitnya mengetahui keadaan kehidupan dan keluarga Hanan dan Hana.
"Nan! Hanan!" Satpam itu memanggil Hanan yang hampir menyebrang.
Hanan menoleh dan menaikkan tangan kanannya, gestur membalas sapaan.
"Kenapa, Bang Zul?" tanya Hanan kemudian.
"Kamu mau ketemu Bu Rina, buat apa?"
"Engak ada. Enggak jadi kok." Hanan tersenyum simpul.
"Ya kali aja aku bisa bantu, Nan."
Hanan tertawa kecil sambil menepuk pundak sepupu jauhnya. "Aku butuh pinjaman uang. Buat biaya sekolah Hana. Dia kan udah mau tamat, perlu banyak biaya."
Zul manggut-manggut. "Mau pinjam berapa?"
Hanan menyebutkan jumlahnya. Lalu, Zul mengeluarkan dompet dari saku celananya, menyerahkan beberapa lembar uang yang nominalnya paling tinggi.
"Loh, Bang? Gak apa-apa ini? Buat orang rumah Abang nanti gimana?"
"Alah, santai aja. Gimana kabarnya Hana? Sehat?"
"Alhamdulillah, Bang. Makasih banyak, Bang. Insyaa Allah pekan depan aku kembalikan."
"Pakai aja, Nan. Anggap aja aku kasih ini buat Hana, sesekali aja kok."
"Aku gak enak, Bang. Kapan-kapan, insyaa Allah kubalas dan semoga Allah membalas lebih baik dari ini."
"Aamiin, aamiin. Ya udah, aku balek lah ya. Hati-hati di jalan, Nan." Zul berjalan menjauhi Hanan, kembali ke pos jaga.
"Iya, Bang. Makasih banyak, Bang." Hanan agak menjerit membalasnya.
Di perjalanan menuju ke rumahnya yang ditempuh dengan berjalan kaki karena ingin berhemat dan berpikir lebih baik ongkosnya untuk dialihkan ke keperluan lain, Hanan tak henti-hentinya memuji kebesaran dan kuasa Yang Maha Esa. Dia semakin yakin bahwa Maha benarlah Allah yang Maha Agung.
"Fa inna ma'al-usri yusra. Maka sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan. Inna ma'al-usri yusra. Sesungguhnya beserta kesulitan ada kemudahan."
•***•
Hasna dan Hana bertemu kembali ketika masuk ke sekolah menengah atas. Namun, seperti ketika masa SMP, Hasna masih tidak memedulikan keberadaan sang gadis yang berada di sekitarnya. Dia tahu benar kalau ayahandanya tidak begitu menyukai Hana. Sebab itu dia semakin menjaga jarak.
Meski selalu dihindari oleh Hasna, Hana tidak pernah putus asa untuk mendekati gadis itu dengan segala cara. Namun, usaha pendekatan itu selalu dirusak oleh Rumia. Seperti Hana, Rumia pun tampak berjodoh dengan Hasna dalam pertemuan. Atau bisa jadi Rumia memang sengaja mengikuti Hasna. Sebuah praduga yang Rumia lemparkan kepada Hana saat pertama kali. Dia menuding Hana mengikuti Hasna untuk menyaingi gadis itu. Tentu saja Hana membantah dan mengatakan bahwa pertemuan mereka adalah takdir dan dia tak pernah mengikuti Hasna. Jika memang bertemu kembali namanya adalah jodoh.
"Rumia, kita tidak perlu mementingkan orang atau hal yang enggak penting."
Rumia menyeringai, menatap Hana dengan tatapan sinis sekaligus mengejek. Seakan-akan dia mengatakan kepada Hana bahwa gadis itu cuma sampah yang ada di sekitar mereka.
Hana tidak ambil pusing. Baginya, tidak melakukan dosa adalah hal yang utama. Tak mengapa tidak dianggap, karena sudah biasa baginya mendapatkan perlakuan seperti itu. Jika pengabaian ayah dan ibunya saja bisa ia tahan, apalagi orang lain. Di dunia ini, manusia yang paling ia pedulikan hanya Hanan seorang. Pahlawannya, gurunya, sekaligus orangtuanya, yang menjelma sebagai pemuda yang disebut kakak lelakinya.
Hana menatap punggung dua gadis yang tak mengacuhkan sapaannya. Ia pun berjaga-jaga jika suatu hari akan dijauhi banyak siswi karena provokasi dari Rumia. Jika tak bisa berteman dengan siswi, dia masih bisa berteman dengan para siswa saja.
Hingga tahun ketiga, yang menjadi tahun terakhir mereka di sekolah, Hasna pun masih seperti menghindari Hana. Di tahun ini pula, Hasna mendapatkan cinta pertamanya. Hana menyayangkan keputusan Hasna yang langsung menerima cinta si remaja putra. Bahkan di semester awal kelas tiga, peringkat Hasna turun drastis.
Hana pernah menasehati secara tak acuh bahwa kini Hasna berubah menjadi seorang perempuan yang agak bodoh dan malas karena cintanya. Mendengar itu, Hasna murung dan Rumia melabrak adik perempuan Hanan. Dia mendorong Hana agar membuat gadis itu jatuh tersungkur, tetapi gagal. Rumia tidak akan pernah bisa berdaya jika beradu fisik dengan Hana yang tahan banting. Masa sekolah menengah pertama dulu saja, Hana pernah berani menantang kakak kelas dari SMA. Baru-baru ini juga dia menang berseteru dengan anak SMK sebelah.
"Bilang aja iri karena enggak bisa lebih cantik dari Hasna." Rumia mengangkat dagu. "Hasna lebih berpunya segalanya. Kaya, populer, pintar, punya pacar yang juga kaya dan ganteng, temen-temen yang banyak, pokoknya paket komplit. Kebalikan dari situ. Makanya situ iri."
"Untuk apa aku iri sama Hasna?" Hana tertawa kecil. "Apalagi punya temen macem situ. Harusnya dia yang iri. Aku enggak hidup dalam kepalsuan."
Hasna agak terusik dengan kalimat Hana. Padahal selama ini Hasna tidak ikut-ikutan menghina Hana. Bahkan ketika itu dia membela putri Yudi–Rina dari tuduhan pencurian. Namun, sekarang Hana malah membalasnya dengan berkata-kata yang menusuk hati.
"Apa ini balasanmu untuk penyelamatanmu dari tudingan pencurian, hah?"
Pikiran Hana melayang kepada sepuluh hari lalu. Ketika itu semua murid ke ruang komputer. Tak satu pun ada di kelas. Sekembalinya dari laboratorium komputer, Hasna kehilangan uangnya. Karena laboratorium menggunakan sistem duduk menurut absen, maka Hana dan Hasna duduk berdampingan. Serta merta Rumia yang mengetahui uang Hasna hilang, langsung menuduh gadis itu. Terlebih dia pun anti sekali kepada Hana.
"Siapa lagi kalau bukan dia? Di sini yang paling mungkin nyuri ya dia."
Hana hampir menjambak rambut Rumia, jika saja Hasna tidak berkata, "Jangan asal nuduh kalau nggak ada bukti. Belum tentu juga Hana. Siapa tau aku yang salah naruhnya."
Saat itu Hana merasa Hasna telah membela dan menjaga nama baiknya. Namun kini, ketika Hasna mengungkit, dia sadar kalau itu dilakukannya untuk menyelamatkan Rumia dari amukan dirinya.
"Orang kayak dia mah enggak tau terima kasih, Has.Rumia mencibir.
Hana mendengkus dalam senyuman sinisnya.