Pernah suatu ketika, Hasna pergi ke sebuah bengkel bersama ayah dan ibu barunya. Dia bertemu Hana yang membawakan makan siang untuk salah satu karyawan di sana. Kala itu pandangan mata mereka bersirobok, tetapi sesaat kemudian Hasna mengalihkan edaran mata ketika Hana memberikan senyum dan berpura-pura tidak mengenalnya.
Di perjalanan ketika hendak pulang, rupanya sang ayah tak sengaja melihat gerak-gerik anaknya saat di bengkel tadi. Bukan hanya Hasna, tetapi juga Hana dan abangnya.
"Siapa tadi?" tanya Aksa.
"Siapa, Yah?" Hasna balik bertanya.
"Yang ngeliatin kamu. Siapa?"
Hasna yakin itu pasti Hana. Maka dia pun menjawab, "Han—"
"Bukan namanya!"
"Oh." Hasna di kursi belakang kemudi menunduk. "Temen satu kelas."
Aksa mendengkus, meremehkan, hingga Hasna cepat-cepat berujar, "Cuma temen sekelas, enggak deket kok, Yah."
"Baguslah. Keliatan anak nakal dan sedikit lebih tua dari usia seharusnya." Aksa mengomentari.
Kalau nakal, Hasna memang pernah menyaksikan kenakalan Hana yang mengerjai anak SMA sekolah mereka karena membalas dendam entah karena masalah apa. Namun kalau dikatakan tua, Hasna belum bisa sependapat pada ayahandanya. Hana adalah yang termuda di kelas. Dia juga sebenarnya memiliki wajah yang manis, hanya kurang terurus saja. Tanpa Hasna sadari bahwa yang Aksa maksud adalah Hanan. Sebagai laki-laki dan seorang ayah, dia bisa melihat Hanan menaruh minat yang kuat terhadap anak gadisnya.
"Hm …." Hanya gumaman itu saja yang ia suarakan untuk merespons sang ayah.
Aksa pernah bertemu dengan Hanan sebelumnya. Ketika itu Hanan tengah berteriak-teriak di rumah seseorang. Aksa menyimpulkan kalau pemuda itu tengah memalak seorang wanita yang sedang bermain dengan ceria dan bahagia bersama anak-anaknya. Dia tidak tahu bagaimana persisnya karena hanya sekadar lewat. Namun yang pasti wajah Hanan tertangkap jelas di ingatan dan seketika itu pula melabeli pemuda itu dengan sebutan penjahat berbahaya. Belum lagi penampilan Hanan yang memang mirip preman keji di tempat kumuh. Kemiskinan membuatnya lebih mementingkan cara mendapatkan uang secara halal daripada memikirkan penampilan.
"Coba nanti ayah mau bicara sama kepala sekolah." Aksa bersuara lagi.
"Hm?" Hasna menaikkan alis.
"Buat ngeluarin anak itu dari sekolah kamu."
"Hah?" Hasna tidak habis pikir dengan pemikiran ayahnya. Hana bukan orang yang membahayakan walau gadis itu memang sedikit nakal. Lagi pula, selain Hana, tak ada lagi saingan yang menarik dan berkompetensi di kelas. Dia tidak ingin kehilangan rival seperti Hana yang memacunya lebih giat belajar.
Aksa melirik sang istri yang duduk di sebelah. Paham maksud sang suami, wanita itu mengajak Hasna berbicara.
"Hasna mau dengar lagu?" Wanita itu memberikan sebuah benda yang berisikan lagu yang didengarkan melalui pelantang telinga. Warnanya biru seperti warna lautan. Hasna menerima benda itu dari ibu tirinya, lantas menggunakannya. Ia setel volumenya di angka maksimum, setelah itu memejamkan mata dan melemaskan tubuh. Setelah dirasa Hasna sudah santai, barulah Aksa menyuarakan pikirannya.
"Mi, anak itu kayaknya suka sama Hasna."
Mimi—nama wanita itu—tertawa kecil, menanggapi isi pikiran suaminya. Mana mungkin masih remaja sudah ada kisah semacam itu. Aksa berdecap kesal. Kata-katanya dianggap bagai lelucon.
"Alasan Mas Aksa enggak bisa dikemukakan sama kepala sekolah. Konyol!"
"Ya tapi tetap aja aku gak suka."
"Jangan kekanakan, Mas. Lagian Hasna juga belum tentu suka sama dia. Selera keluarga kita jelas tinggi."
Aksa mengangguk. Lagi pula sebentar lagi kelulusan. Kecil kemungkinan mereka bisa satu sekolah lagi.
Aksa sepenuhnya salah paham dengan yang dilihatnya tempo hari. Hanan bukan memalak apalagi berbuat kejahatan terhadap wanita itu. Dia memang berbicara keras, tetapi bukan bermaksud tidak baik kepada ibundanya. Hanan agak kesal ketika dia meminta bantuan sedikit untuk biaya sekolah Hana yang dalam beberapa waktu lagi akan lulus dan memerlukan banyak biaya. Hanya sedikit yang dia butuhkan, tetapi ibunya malah mengusir dan mengatakan tak bisa membantu dan mereka bukan lagi tanggungan dirinya. Hanan pun tak sengaja membentak ibundanya. Namun, ia tersadar dan meminta maaf setelahnya.
Kisahnya terjadi pada hari sabtu sore di salah satu taman kompleks perumahan yang terbilang elite. Rumah-rumah orang berkecukupan berada di sana. Salah satunya rumah Hasna dan Rina, selaku ibunya Hana. Saat itu, Hanan memang akan ke rumah Rina untuk membicarakan kelangsungan masa depan Hana. Hanan tak mau kalau Hana tidak bisa menamatkan sekolah menengah pertamanya karena kendala keuangan. Hanan akhirnya memutuskan untuk meminta sedikit bantuan ibu kandung mereka. Keputusan itu diambil karena sudah tidak ada lagi jalan yang bisa diambil. Hanan hanya seorang tamatan SMK yang tak punya relasi kaya dan berpengaruh. Hendak meminjam uang pada rekan kerjanya, dia tak sampai hati. Mereka juga butuh untuk membeli susu anak dan keperluan rumah tangga lainnya. Gaji Hanan sudah terpakai untuk uang sewa bulanan, keperluan rumah tangga, uang saku dan uang sekolah Hana. Belum lagi uang beli buku dan yang tak terduga lainnya. Hanan sampai tidak bisa menabung karena banyaknya yang harus ia cukupi. Ditambah lagi, Hana meminta uang les yang diwajibkan pihak sekolah dan uang untuk lainnya—yang katanya memang harus mengeluarkan dana lumayan banyak karena mau tamat.
"Kalian bukan tanggunganku lagi, Hanan. Minta sama bapaknya Hana aja." Rina berkata acuh tak acuh. Dia malah sibuk memperhatikan dengan tatapan kagum dan bangga anak-anaknya dari suami barunya yang sedang bermain ayunan.
Hanan tertawa getir. Rina tahu benar perangai ayah kandung Hana. Belum lagi ayah adik perempuannya itu tidak mengakui Hana sebagai anak. Apa yang bisa diharapkan dari orang seperti itu?
"Kalau memang begitu. Hanan minjam aja sama Ibuk. Bulan depan, Hanan ganti, insyaa Allah." Hanan akhirnya membuat kesepakatan lain, berharap ibunya menyetujui.
"Mau bayar pakai apa? Kalian juga kekurangan, kan?" Sayang sekali, wanita yang sering digadang-gadang terdapat surga di bawah kakinya itu, malah terkesan meremehkan, nadanya juga tidak enak, kentara menghina.
"Astaghfirullah, Ibuk! Kami anak-anak Ibuk! Lahir dari rahim Ibuk juga. Nasib jelek kami yang tak memiliki ayah seperti ayahnya anak-anak Ibuk yang lain." Hanan emosi. Harga dirinya dijatuhkan ibundanya sendiri. Nah, saat dia membentak inilah Aksa lewat dan melihatnya. Tak mendengar percakapan mereka, tetapi ia melihat ekspresi Hanan yang bengis.
"Bukannya apa-apa. Kalian gak ngerti! Kalian pikir mudah mempertahankan rumah tangga? Kalau aku kasih kalian uang, apa kata suamiku?"
"Saya ganti, Buk Rina. Saya janji cuma satu bulan." Suara Hanan merendah. Hatinya bergemuruh menahan gejolak jiwa.
"Maaf ya, Hanan. Saya enggak bisa. Minta tolong sama yang lain aja." Rina beranjak, tanpa pamit meninggalkan Hanan yang terbengong karena reaksi ibundanya. Matanya nanar dan berkaca-kaca.