Chereads / Contract As An (EVE) Butterfly (Versi Indonesia) / Chapter 25 - Part 25 : Mode Berdebat

Chapter 25 - Part 25 : Mode Berdebat

Saat asik berpelukan, suara ketukan di pintu kembali terdengar.

"Siapa itu?" tanya Arthur dengan ekspresi terkejut.

Eveline melepas pelukannya. "Aku rasa itu pengantar makanan, tadi aku memesan sesuatu karena perutku sangat lapar," jawabnya santai.

Pria itu terlihat lega dan ikut melepaskan pelukannya.

Saat Eve ingin membuka pintu, Arthur tampak menghalanginya, "biar aku saja," tuturnya diiringi dengan tangan menghalangi Eveline untuk menarik gagang pintu. Dia kemudian terlihat menerima pesanan dan membayar semua tagihannya.

Setelah itu tatapannya pada Eve berubah sedikit sinis. "Lain kali kalau ada yang mengetuk pintumu saat kamu baru selesai mandi, langsung ganti pakaianmu! Jangan biarkan mereka melihatmu telanjang seperti ini lagi!" ucapan pria itu terdengar tegas, pada Eveline yang hanya menggunakan bathrobe pendek sepaha.

"Apa pentingnya?" tanya Eve meremehkan.

"Orang yang melihatmu bisa saja punya pikiran yang jahat."

"Apa kamu lupa … aku bukan wanita baik-baik." Kata-kata wanita ini membuat keduanya terdiam dan saling melemparkan pandangan.

Laki-laki tinggi ini tampak membuang napas kasar, "ya sudahlah ... terserah, sekarang pergilah makan." Ia terlihat menghindari perdebatan.

Dia kemudian menaruh semua makanan di atas meja kecil yang ada di dekat jendela.

***

Eve telah berpakaian dan duduk berhadapan, berbatas meja dengan pria yang sedari tadi menurutnya sedikit berprilaku aneh dan sangat menyebalkan itu.

Mereka masih belum membuka kotak makanannya, keduanya hanya diam dan saling menatap saja.

Wanita itu terlihat melipat kedua tangannya di depan dada dengan wajah sedikit menunduk.

"Apa boleh aku tahu? Kenapa kamu tiba-tiba pergi?" tanya Arthur membuatnya mengangkat kepala, dan kembali menatap dalam pada pria ini.

Sebenarnya Laki-laki ini sudah tahu tapi ia sengaja kembali menanyakan hal itu, hanya untuk memastikannya sendiri, dan ingin mendengar penjelasan dari mulut Eve secara langsung.

"Aku rindu keluargaku," tuturnya terdengar sedih.

"Tapi kenapa kamu masih di sini dan belum pulang? Jika kamu pergi secara terburu karena ingin menemui mereka," tanya Arthur lagi.

"Aku belum sanggup menatap wajah mereka," ucapnya kembali lirih dan matanya mulai berkaca-kaca.

Laki-laki ini menghempas napas kasar. "Sudahlah … kita akan bahas ini nanti, sekarang ayo kita makan makanan yang tadi kamu pesan ini." Eve masih diam dan tidak memberikan jawaban apa pun.

"Apa saja yang kamu pesan?" tanyanya lagi mencoba memeperbaiki suasana.

"Tidak banyak, hanya nasi dan kentang goreng," jawab Eveline terdengar biasa saja.

Perut pria itu tiba-tiba terdengar berbunyi.

"Kamu lapar?" tanya Eveline sembari melirik padanya.

Laki-laki itu mengangguk.

"Baiklah ayo kita makan bersama." Kata Eve lagi.

Mereka membuka kotak makanan itu, lalu terlihat makan bersama di wadah yang sama.

Selama makan entah kenapa Arthur selalu menatap serius padanya, seolah pandangan itu adalah tatapan iba. Hal itu membuat Eve merasa kesal karena pria ini membuatnya merasa sedikit tak nyaman.

"Ada apa dengan wajahku? Kenapa kamu selalu menatap aku seperti itu?"

"Tidak ada, aku hanya menyukai wajahmu yang cantik." Arthur hanya tersenyum dan terdengar sedang mengatakan pujian yang konyol.

Eveline terlihat kesal. "Aku rasa alasannya bukan itu, kamu sekarang sengaja mengalihkan topik pembicaraan bukan." Mata wanita itu menyipit, tapi dalam hati ia juga tak yakin karena takut malu karena terlalu ke-GR-an.

"Di mana Alvin?" tanya Eve tiba-tiba, karena merasa aneh saja tiba-tiba dia bertemu Arthur tapi belum bertemu Alvin yang biasanya selalu berkaitan.

"Dia di kamarnya," jawabnya sembari mata pria itu menelisik ke setiap sudut ruangan. "Aku rasa aku tidak bisa tidur di tempat sempit seperti ini," ujar Arthur lagi

Mata Eve terlihat tajam padanya. "Yang menyuruhmu tidur di sini siapa?"

"Tidak ada, tapi aku sangat ingin tidur bersamamu malam ini, apa kita pindah kamar saja," usulnya di barengi senyuman.

"Pergilah ke kamar lain, aku tetap di sini, lagi pula aku menyewa kamar ini bukan untukmu," usirnya dengan kata-kata sinisnya.

Wanita ini kembali bicara pelan tapi gumamannya itu seolah sengaja untuk diperdengarkan pada Arthur. "Untuk apa aku pindah, padahal kedatanganmu saja tidak aku undang."

"Hey … Aku bisa mendengarmu," tegur pria itu.

"Aku memang sengaja biar kamu mendengarnya," ucapnya lagi tanpa rasa bersalah.

"Keterlaluan, apa setiap tamumu kamu perlakukan seperti ini, bagaimana mungkin orang-orang bodoh itu mau menemui wanita galak sepertimu lagi."

Eve kembali melipat kedua tangannya di depan dada, kemudian berucap sinis, "lalu kamu ini apa? Jika kamu berkata seperti itu, sama saja kamu mengatakan kalau kamu sendiri itu bodoh."

"Kalau aku itu pengecualian. Hanya aku orang cerdas yang mampu menangani kegilaanmu."

"Heh sial. Aku benar-benar kesal."

Karena melihat Eve yang marah-marah, Laki-laki itu tertawa. "Jadi bagaimana? Apa kamu mau pindah kamar?" tanyanya lagi membuat wanita ini bertambah emosi.

"Tidak." Eveline mencebik.

"Baiklah, demi menurutimu aku akan bertahan di sini."

"Menyebalkan sekali. padahal kamu harusnya pergi dari sini." Ia bergumam tapi Arthur mampu mendengarnya dengan jelas.

"Sudahlah … bagaimana kalau aku menawarkan sesuatu padamu?" Pria itu tampak serius dengan mengubah topik pembicaraan.

"Apa?" wanita ini terdengar melembut karena mulai tertarik.

Tangannya terulur dan wajahnya sekilas terlihat meminta wanita itu untuk menjabatnya.

"Jadilah partnerku," ucapnya saat tangan Eve terpancing untuk terulur.

"Maksudmu?"

"Maaf jika terdengar sedikit kasar. Jadilah partner ranjangku."

Perempuan itu menepis dan menepuk tangannya dengan sedikit kencang.

"Aku serius, berada lah di sisiku dan aku akan menjamin semua sisi kehidupanmu," bujuknya lagi.

Eve terdiam lalu terdengar berucap, "Apa kamu mencintaiku?" tanyanya membuat pria itu terdiam dan terlihat memikirkan sesuatu.

"Aku tidak yakin," sahutnya.

"Jika itu jawabanmu, maka aku akan menjawab tidak untuk tawaranmu itu. Karena aku tidak ingin berada di sisi orang yang tidak mencintaiku, aku menginginkan cinta untuk bisa terus bertahan demi seseorang," jelasnya terdengar begitu serius dan dewasa, kekesalan dan amarah karena candaan sebelumnya seolah dialami oleh orang yang berbeda.

Laki-laki itu menyentuh dan mengelus kulit punggung tangan Eveline dengan telunjuk kirinya. "Klasik … sangat klasik. Aku yakin aku tidak salah orang."

Dia menarik tangannya lalu terlihat duduk dengan menegakkan punggung. Saat ia mulai bicara ia terdengar seperti seseorang yang jauh berbeda. "Jika aku boleh bicara jujur … kamu bukan perempuan malam, yang pertama aku temui. Tapi anehnya … kamu sedikit berbeda, biasanya wanita-wanita itu akan mendekat jika aku menawarinya banyak uang dan bayaran yang besar tapi kamu malah menghindariku. Kamu menunjukkan wajah aslimu padaku, tidak ada kata dan rayuan yang manis seperti perempuan liar kebanyakan."

Eveline menahan rasa tersinggung dan amarahnya di saat yang bersamaan. Dia mencoba bicara dengan tenang. "Aku melakukan pekerjaan hina ini bukan karena aku mau, tapi karena keadaan yang memaksaku, dan uang yang aku terima saat ini sudah lebih cukup."

"Apa itu artinya jika kamu menemukan seseorang yang tepat kamu akan berhenti dari pekerjaan ini?" obrolan mereka terdengar begitu serius.

Eveline menatap kosong ke meja sembari tergambar anggukan. "Benar … dan aku juga sudah memutuskannya."

"Apa artinya kamu kabur kemari karena laki-laki itu?" Arthur bertanya seolah sudah tau semuanya.

Sementara Eve terdiam dan tak bicara apa-apa.

"Bagaimana kalau aku menawarkan sesuatu lagi." Dia kembali melanjutkan kata-katanya dengan begitu serius.

Wanita itu kembali menatap sinis padanya. "Apa?"

"Jadi simpananku!"

"Kamu tau? inti pembicaraan kita sedari tadi itu sama, apa bedanya?"

"Tidak ada, tidak ada yang berbeda. Aku hanya sangat terobsesi untuk mendengar kata-kata iya darimu." Tatapan Arthur dengan ucapan jujur. "Kapan kamu pulang ke Jakarta?" lanjutnya Arthur bertanya lagi.

"Aku tidak tau." jawabnya singkat sembari terlihat ragu untuk melanjutkan ucapannya atau tidak. Tapi nyatanya ia kembali melanjutkannya.

"Aku sudah memutuskan, aku akan berhenti dan aku akan menikah. Jadi tolong jangan pernah ganggu aku lagi. Untuk uang yang kamu habiskan demi menyewaku dari Siska, aku akan membayarnya."

Dahi pria itu mengerut. "Menikah? Apa kamu yakin?"

"Tentu saja." Wanita itu tampak gugup dan meminum sisa air yang ada di gelasnya.

"Apa dia tau masalah ini?"

Mendengar pertanyaan itu membuat Eve menatap tajam pada pria yang ada di hadapannya. "Kamu sudah berjalan terlalu jauh, ini privasiku, tidak seharusnya kamu melanjutkan kata-katamu."

"Baiklah. Ayo kita lupakan itu dan berhenti membahas privasimu."

Mereka terlihat setuju dan berdamai dari perdebatan.

"Bagaimana jika kita membahas masalah hak sewaku, aku sudah menghabiskan banyak uang untuk itu."

Eve terlihat ingin memotong ucapannya tapi pria ini menghentikannya dengan menempelkan salah satu telunjuknya di bibir wanita itu.

"Tapi aku akan menganggap semuanya impas jika kamu mau melakukan sesuatu untukku!" usul pria ini lagi dan membuat wanita di hadapannya terdiam dan menatap penasaran.

"Apa itu?"

"Cukup mudah … Lakukan dan berperan lah seperti seorang istri untukku dalam satu minggu ini."

"Kamu gila … Aku tidak mau dan aku sudah tidak mau." Wanita ini terlihat ingin mengumpat.