Ekspresi wajah Eve tampak begitu lelah. Saat ini ia telah berada di lobi yang ada di lantai dasar hotel, Alvin yang ternyata sedari tadi mengikuti Eveline, terlihat melangkah dengan sedikit terburu ke arahnya.
"Nona … tunggu!" panggilnya.
Dia memanggil dan mencoba menghentikan wanita itu, ketika Eveline tampak keluar dari pintu utama dan mencoba memberhentikan sebuah taksi di luar pintu lobi.
Wanita yang sudah di depan sebuah taksi itu pun berbalik, ketika mendengar suara Alvin yang sedari tadi terus memanggilnya hingga beberapa kali.
Saat pria itu telah di dekatnya, wanita yang tampak penasaran itu bertanya, "Kenapa?"
"Aku akan mengantarmu," ucapnya dengan tersenyum.
"Aku rasa tidak perlu, aku akan naik taksi saja." Eveline ingin membuka pintu taksi tapi Alvin menghentikannya.
"Aku tidak mengizinkanmu untuk pulang sendiri Nona, kami yang menjemputmu maka sekarang kami juga yang harus mengantarmu."
"Aku kira tidak usah."
"Ayolah, apa kamu mau jika aku kehilangan pekerjaanku."
Eveline menghempas napas panjang. "Kalau begitu, baiklah …." Wanita itu lantas meminta taksi yang di berhentikan tadi untuk pergi.
"Tunggu sebentar, mobilnya akan segera ke sini."
Sebuah mobil sedan yang tampak dikendarai seorang petugas hotel telah berhenti di hadapan mereka.
Alvin menarik pintu mobil bagian belakang dan mempersilahkan wanita itu masuk. Pria itu mengambil alih kemudi mobil dari seseorang yang telah keluar dari mobilnya itu.
Mereka telah di tengah perjalanan, susana terasa hening beberapa saat, hingga Alvin mencoba membuka sebuah topik pembicaraan.
"Bagaimana perasaanmu? Apa kamu baik-baik saja?"
"Biasa saja, kenapa?" jawab Eve singkat sembari matanya menatap jalanan aspal yang terbentang.
"Kenapa kamu tampak murung?"
"Tidak ada, aku hanya sedang bosan bicara …." Terdengar sedikit ketus.
"Lalu …." Belum sempat Alvin menyelesaikan ucapnya, telepon genggam Eveline terdengar bersuara dari dalam tas tangannya.
Wanita itu lantas merogoh isi tas dan meraih gawai yang layarnya terus hidup dan menyala itu. Dia tampak diam beberapa saat dan terlihat mengabaikan panggilan dari seseorang beberapa kali, dengan pandangan sesekali menilik nama yang ada di layar.
"Angkat saja! Aku tidak akan mendengar percakapanmu, walau pun aku mendengarnya, aku akan menjaga privasimu," ucapan Alvin membuat Eveline yang sedari tadi tampak ragu lantas mengangkat panggilan tersebut.
Saat ia menempelkan telepon genggam ketelinganya, terdengar suara yang begitu lembut menyapanya. "Halo Xa … apa kabar?"
Eveline yang sedari tadi hanya diam kini tampak tersenyum simpul. "Baik … kenapa Van?"
"Apa aku nggak boleh nelpon kamu?"
"Boleh kok …." Sembari matanya menatap pada kaca cermin spion yang ada di atas kepla Alvin, menilik pada Alvin yang tampak fokus pada stir kemudinya.
"Xa … sebenernya aku mau ngomong sama kamu, tapi nggak tau kamu bakal ikut seneng atau nggak?"
"Kenapa?" wajah Eve tampak begitu penasaran.
"Aku sekarang udah ada di bandara, mau berangkat ke Jakarta."
Wajah wanita yang bernama asli Alexa itu, seketika tampak cemas. "Ka-kamu ke Jakarta?" ia benar-benar tampak kaget. "Ngapain?" lanjutnya lagi.
"Aku ada kerjaan di Jakarta beberapa hari."
Eveline terdiam beberapa saat.
"Halo … halo Alexa …," panggil dari seberang memecah diamnya.
"Semoga lancar." Wanita itu lantas mematikan sambungan teleponnya tanpa permisi, sehingga membuat orang yang ada di seberang merasa heran karena pembicaraannya terputus secara tiba-tiba.
"Dia ke Jakarta? Gimana kalo dia mau ketemu dan harus melihat aku yang kayak gini," kecemasan mulai berkecamuk di dalam pikirnya.
Alvin hanya diam menatapnya dari kaca spion yang ada di atas kepalanya.
"Kamu kenapa nona? Apa terjadi sesuatu?"
Mendengar tanya Alvin, membuat Eveline hanya menggeleng. "Nggak ada apa-apa kok." Dia mencoba menutupi perasaan cemasnya pada Alvin yang sedari tadi memperhatikan gerak-gerik ekspresinya itu.
Mereka telah tiba di rumah, tempat tinggal Eveline dan wanita-wanita lainnya.
Siska yang sedari tadi duduk di teras tampak menyambut mereka, dan ia tersenyum ketika melihat Eveline yang keluar dari mobil sedan mewah itu.
"Eveline sayang … udah pulang … Alvin terimakasih banyak, salam sama Maxime." Laki-laki tambun itu tampak menyapa pada Eveline yang baru saja datang dan sementara Alvin yang terlihat langsung saja pergi.
"Eveline … Gimana? Hubungan kamu sama Maxime?" Siska tampak bersemangat mengekori Eveline yang tampak tak acuh dan lantas melangkah menuju kamarnya itu.
"Kamu kenapa? Kok kusut?" tanyanya lagi.
"Nggak kenapa-kenapa kok Mam, nggak ada yang spesial, biasa aja," jawabnya sembari duduk di pinggiran ranjang dan mencopoti sepatu hak tinggi yang sedari tadi ia gunakan.
"Gimana pun caranya … kamu harus mempertahankan Maxime, oke cantik … dan juga bonus kamu udah aku kirim ke rekening, nanti kamu bebas mau kemana aja dan belanja apa aja sama anak-anak lain."
Pria itu tampak mendekat dan berbisik di dekat telinga Eveline. "Jangan cerita sama anak-anak lain, nanti mereka iri, kalo pada iri ntar rempong."
Eveline hanya mengangguk.
"Kamu ganti baju terus istirahat gih, aku tinggal dulu ya …."
Siska keluar dari kamarnya. Eve lantas mengganti gaunnya dengan baju kaos dan celana pendek santainya.
Dia tampak berbaring sembari memandang photo profile pada nomor seseorang, ia melihat lama hingga memutuskan untuk kembali menelponnya.
Balasan dari seberang begitu cepat. "Kamu nggak apa-apa? Teleponnya tadi kok mendadak mati?"
"Aku tadi lagi ada kerjaan Van," tuturnya berbohong.
"Oh iya … Aku lupa, kamu kan kerja. Aku sekarang udah mau berangkat ke Jakarta, apa nanti sore kita bisa ketemu?"
Eveline hanya diam tak menjawab apa-apa.
"Kamu nggak bisa?" tanya pria itu lagi dengan terdengar sedikit nada kecewa.
"Aku mau, tapi … apa kamu nggak capek? Kalo langsung ketemuan?"
"Nggak kok, aku nggak akan capek. Aku kangen banget loh sama kamu … semenjak kamu di Jakarta kita udah jarang banget ketemu, bukan jarang lagi … tapi hampir nggak pernah."
"Maaf ya Van." Terdengar nada penyesalan.
"Kok kamu minta maaf? Aku ngerti kok kamu pasti sibuk. Mangkanya kamu nggak punya waktu untuk bisa pulang."
Eveline hanya diam dengan mata yang terlihat mulai berkaca-kaca.
"Nanti kalo aku udah di Jakarta dan udah mau ketemu … aku chat kamu ya. Sampai jumpa."
Wanita itu tempak memutuskan sambungan teleponnya. Menaruh gawai di dada sembari mata menerawang jauh ke arah langit-langit kamarnya.
Dia terlihat melamun, mencari cara untuk bisa bertemu seseorang itu tanpa Siska tau, jika ketahuan mungkin saja Siska akan memarahinya.
Eve melamun sudah cukup lama, hingga lupa kalau dia telah tertidur pulas di ranjangnya.
***
Beberapa jam telah berlalu, Eveline terlihat telah mandi dan berdandan, ia tampak cantik dengan celana Jeans berwarna biru dan baju kemeja santai dengan motif kotak-kotaknya.
Seorang teman perempuannya terlihat menghampiri Eve di kamarnya. "Gimana? Jadi?" tanya Nia sembari mendekat ke pinggiran ranjang tempat Eve duduk yang sedari tadi fokus pada gawainya.
"Jadi kok …," jawabnya sembari menatap pada orang yang sudah sama rapinya berdiri di dekatnya.
"Kalo gitu … aku izin dulu ya sama Mami, ntar dia marah lagi."
"Makashi ya Nia." Eveline menyentuh lengan temannya itu sebelum Nia melangkah keluar dari pintu.
Eveline terlihat fokus menatap pada sebuah room chatnya, pesan singkatnya beberapa saat yang lalu dengan Evano Aksa, pria asal Surabaya yang dengannya sudah lama saling suka, tapi karena jarak mereka hampir tidak mempermasalahkan status hubungan mereka.
Nia yang tadi keluar sekarang tampak kembali menghampirinya. "Ayo …," panggilnya dari pintu.
Eveline lantas bangkit. "Gimana? Dapet izin?"
"Dapet dong … cepetan mangkanya!"
"Emang kamu ngomong apa?" tanyanya sembari mendekati temannya itu.
Nia tampak berbisik di telinganya. "Aku bilang, kita mau nongkrong di mall sambil cuci mata dan belanja."
Eveline tersenyum. "Dia nggak maksa kita pulang cepet kan?"
Nia menggeleng, membuatnya terlihat bertambah bahagia.
Mereka pun terlihat pergi menaiki taksi online yang sudah menunggu mereka di luar pagar sedari tadi.