Melihat punggung Eveline yang pergi meninggalkan pintu, Arthur tampak sedikit kesal karena telah salah bicara, ia juga menyesali ucapannya yang membuat wanita itu tersinggung dan pergi meninggalkannya.
Semua rencana kencan yang ia susun, ternyata harus gagal dan berantakan.
Arthur membanting diri di atas ranjang tempat tidurnya, hingga beberapa saat ia bangkit lagi dan meraih telepon genggam yang ada di atas nakas.
Panggilannya tersambung. "Alvin … cepat susul wanita itu dan jangan biarkan dia pulang sendirian dan aku ingin kamu menyelidiki semua hal tentang dia, apa pun itu jangan ada yang terlewat."
Ia langsung memutuskan sambungan telepon.
"Wanita ini harus menjadi milikku, apa pun yang terjadi … persetan dengan cinta, siapa yang percaya perasaan seperti itu nyata, itu hanya kesenangan sesaat. Yang ada hanya rasa kesakitan karena tidak mendapatkan sebuah kepuasan, sama halnya yang aku rasakan pada Vivian saat ini."
Arthur tampak menuju ruang ganti, mengganti pakaian santainya dengan setelan jas formal.
Saat ia menghadap cermin dan merapikan dasi, seseorang terdengar masuk dan lantas memberi hormat sebelum bicara.
"Apa kamu sudah mengantarnya?" tanya Arthur pada orang yang ia sadari telah berdiri di belakang punggungnya.
"Iya, aku sudah mengantarnya dan melihatnya masuk hingga ke dalam rumah."
"Bagus lah …."
Alvin terlihat heran pada Arthur yang tampak begitu rapi.
"Kamu ingin kemana? Bukankah kamu ingin libur hari ini?"
"Aku rasa aku harus ke kantor, hanya diam di sini akan membuatku bosan." Ia menyentuh bahu Alvin dan pergi berlalu dari ruang ganti.
Alvin tampak mengekori.
"Atur ulang semua jadwalku, aku rasa malam ini aku ingin lembur sampai pagi."
Alvin hanya mengangguk dan tampak menulis sesuatu di telepon pintarnya.
Laki-laki itu telah keluar dari hotel dan tampak memasuki sebuah mobil dengan seorang supir pribadi serta Alvin duduk di sebelah bangku supir.
"Alvin …." Tanyanya membuat Alvin menoleh ke arahnya, yang saat ini duduk di kursi penumpang.
Alvin tampak penasaran. "Kenapa?"
"Menurutmu kenapa seseorang merasa tersinggung jika mereka di bandingkan dengan uang? Padahal mereka sendiri sering menghargai dirinya sendiri dengan nilai uang? Dan apa salah jika aku memiliki sebuah mainan dan memainkannya hingga bosan, tapi aku berniat membuangnya saat aku sudah bosan memainkannya? Menurutmu kenapa orang akan tersinggung cuma karena hal kecil seperti itu."
Alvin tampak menggaruk ujung mata bagian luar yang ada di dekat bingkai kacamata yang ia gunakan.
"Apa terjadi sesuatu pada wanita itu?"
Arthur yang sedari tadi melihat pada jalanan seakan terkejut karena Alvin seolah tau apa yang sebenarnya ia bicarakan.
"Tidak …." Tapi kata itu di iringi dengan raut wajah yang ragu.
"Apa kamu berkata kasar lagi? Seperti pada wanita-wanita yang sebelumnya kamu temui?"
Arthur tidak menjawab dan hanya mengangguk-angguk saja.
"Semua orang akan terluka jika orang lain menginjak harga dirinya, apalagi dengan kata-kata yang sangat sensitif. Dan manusia tidak bisa di samakan dengan boneka, manusia itu punya perasaan walau pun kadang mereka terlihat bermuka tebal."
"Jadi maksudmu, kata-kataku salah? Atau hanya dia yang terlalu sensitive?"
"Bisa saja keduanya, di satu sisi memang ada yang menyakiti dengan ucapan, yang memang terdengar sangat kasar dan di satu sisi ada yang tersakiti karena hatinya memang terlalu sensitive."
"Jadi sekarang menurutmu, apa yang harus di lakukan jika tanpa sengaja berkata kasar?"
"Banyak hal yang bisa di lakukan," ucap Alvin sembari menatap jalanan yang ada di depan.
"Contohnya?"
"Minta Maaf …."
Arthur tertawa. "Apa itu perlu?"
"Tergantung pada orang yang saat ini meminta nasihat, jika ia merasa perlu, ya … maka dia akan meminta maaf."
"Hah … tidak … aku tidak mau, aku tidak salah, kenapa aku harus minta maaf."
Alvin yang telah menatap jendela hanya tersenyum setengah tertawa.
"Aku rasa mengirimkan sejumlah uang ke rekeningnya akan memperbaiki masalah ketimbang minta maaf."
Alvin kembali melirik pada orang yang ada di belakangnya itu. "Bagaimana kalau dia bertambah marah? Bukan kah tadi yang jadi masalah adalah harga diri yang di bandingkan dengan uang?"
Mendengar kata-kata Alvin membuat Arthur bergeming.
"Tidak ada salahnya meminta maaf. Minta maaf tidak akan merusak harga dirimu, mungkin saja dia akan tersentuh jika kamu minta maaf."
"Selain uang apa yang di sukai wanita?"
"Bunga, atau coklat. Setauku rata-rata perempuan menyukai itu, kecuali wanita yang memiliki alergi."
Arthur tampak mengangguk mengerti.
"Tapi jangan belikan dia satu kardus coklat, karena terlalu banyak mungkin saja memiliki makna yang berbeda untuk mereka."
Alvin seolah bisa menebak pikiran Arthur yang ingin memberikan seseorang coklat lengkap dengan gudangnya, dan bisa saja dia membeli bunga sekaligus tamannya.
Menurut Alvin terkadang Arthur bisa saja berpikir di luar nalar seorang manusia normal.
***
Mereka telah berada di gedung kantor yang begitu tinggi serta bertingkat. Semua karyawan tampak memberikan hormat ketika Arthur berjalan melewati mereka.
Kali ini pria itu telah berada di kantornya dan mulai berkutat pada beberapa pekerjaan yang harus ia kerjakan.
Setelah waktu telah menjelang sore, Arthur masih berada di dalam ruangannya. Tampak mencoret-coret sesuatu di dalam layar tab yang menyala.
Suara ketukan terdengar dari luar ruangan.
"Masuk …," ucapnya dengan mata masih begitu fokus pada layar.
Seseorang dengan langkah yang pelan berjalan mendekati mejanya. Seseorang itu terlihat menaruh seseuatu di atas meja.
Arthur yang sedari tadi fokus pada layar, kini menatap kotak bekal yang ada di atas meja kerjanya. Ia menatap pada orang yang sedari tadi hanya berdiri tanpa menyapa itu.
"Vivian …," tuturnya ketika matanya menatap wajah sayu yang sedari tadi tidak bicara.
"Kenapa kamu ada di sini?"
"Aku hanya khawatir … semalam kamu pergi tanpa pamit dan belum pulang hingga sore begini."
Arthur tampak kembali menatap pada layar tabnya. "Aku sibuk … banyak hal yang harus aku kerjakan."
Vivian tampak mendekati kursi dan memeluk leher pria itu dari belakang.
"Apa kamu masih kecewa?"
Arthur bergeming sementara. Wanita itu mengecup ceruk lehernya.
"Tidak," ucap Arthur singkat.
"Apa kamu tidak ingin pulang?"
"Belum, pekerjaanku masih belum selesai."
Wanita itu perlahan melepaskan pelukannya.
"Masih terasa dingin, walaupun pada kenyataannya kita sedang berada di bawah terik matahari." Arthur seakan sadar kalau ucapan wanita yang berdiri di sampingnya itu sedang menyindir dan tertuju padanya.
"Pada kenyataannya musim dingin tidak pernah usai Vivian. Semua akan hangat jika semua gundukan es itu bisa mencair." Arthur bicara tanpa menatap pada orang yang ia balas ucapnya.
"Lalu? Apa yang harus aku lakukan, agar gundukan es itu mencair?" wanita itu menutup matanya seolah kata-kata itu bukan hanya sebatas kiasan yang menggambarkan seluruh isi hatinya.
"Tidak ada cara lain selain dengan hangatnya mentari."
"Tapi aku hanya bulan, bukan bintang yang bisa memancarkan cahayanya sendiri. Aku tidak utuh dan mungkin tidak akan pernah utuh." Vivian telah berkaca-kaca.
Arthur menghela napas panjang. Ia tampak berdiri dan merangkul istrinya itu. Pria itu memeluknya dengan erat.
"Izinkan aku mencari sebuah bintang, agar kamu bisa memantulkan sinarnya," ucapnya di iringi kecupan di pucuk kepala.