Siapa yang akan percaya, bahwa seorang putri kandung Count sendiri menjadi pelayan di kediaman ini? Yah, meski tidak terlalu berat seperti pekerjaan para dayang.
Membantu ketiga saudara tiri melakukan perawatan wajah dan kulit. Jika ini adalah Ilona yang asli, ia pasti akan tak peduli dengan hati besar dan baiknya. Tapi, ini adalah Ilona yang baru, orang yang bahkan tidak bisa sesabar Ilona asli.
Di ruang utama, semuanya bernuansa klasik meski sederhana. Lantai yang terbuat dari papan kayu, diselimuti oleh karpet motif di atasnya. Lalu di atas, tepat di tengah-tengah ruangan, terdapat lampu berukuran cukup besar, dengan cahayanya yang kekuningan.
Ilona berdiri tak jauh darinya. Menatap dua orang yang cukup memiliki wawasan mengenakan seragam bak prajurit datang. Keduanya sedang fokus pada; Jeanne, Shilla, dan Sherly --tiga saudari tiri itu.
"Mohon bantuannya, --"
"Maaf, tetapi tunggu sebentar. Bukankah beliau yang di sana adalah Nona Ilona? Kenapa Nona Ilona belum bersiap-siap?"
Shilla terlihat geram. Sementara Jeanne berusaha untuk bersikap sempurna. "Ilona, dia sepertinya sedikit tidak enak badan."
"Ya, Kak Jeanne? Ada apa?" Dengan segera tanpa adanya perintah, Ilona langsung berjalan mendekati ketiga saudari tirinya. Ini kesempatan, ini adalah hal langka. Salah satu alasan mengapa sedari tadi-- Ilona memilih untuk berdiri di ruang utama.
"Tidak ada. Hanya … -Ilona, kau sedang sedikit tidak enak badan, bukan?" Jeanne menatap ke arah Ilona. Dia cukup berwibawa dan memiliki aura elegan-- pas sekali dengan gaun merah yang dikenakannya. Tatapannya yang bahkan dapat menyerupai ancaman pun seolah mengatakan bahwa, 'Kenapa kau ke sini?'
Ilona menunjukkan senyum lugu, hingga kedua mata indahnya pun menyipit indah. "Ya, saya sangat senang sekali Kak Jeanne mengkhawatirkan saya." Terdapat senyum puas yang langsung Jeanne tampilkan. Kalimat yang baru saja Ilona ucapkan, sangat sesuai dengan keinginannya.
Ilona menyelesaikan senyumannya. Kini, kedua mata perempuan itu kembali lagi terbuka. Menatap ke arah Jeanne lembut. "Berada di gudang yang penuh debu selama beberapa hari, memang membuat saya sedikit tidak enak badan. Untungnya Kak Jeanne memiliki perhatian terhadap saya. Meski, sekarang ini saya sudah benar-benar pulih."
Kedua pengawal itu terlihat cukup terkejut. Tapi, mereka masih berusaha untuk tetap sopan dan tidak melampaui batas. Hanya berusaha untuk tetap diam.
Kini, Jeanne melunturkan senyum puas yang sejak tadi ditunjukkan. Ditambah dengan Shilla dan Sherly yang terlihat begitu geram. Sangat sayang bahwa tidak ada ibu kesayangan mereka saat ini yang selalu mendukung. Ibu tiri sedang pergi menemani Count Berenice untuk ke luar kota.
"Tapi, Kak Jeanne. Bolehkah saya ikut ke acaranya? Saya sudah sembuh, dan sebenarnya… sangat ingin pergi bersama Kakak-kakak," ucap Ilona. Meski di kehidupan sebelumnya ia bukanlah seorang artis, tetapi setidaknya dengan tampang cantik Ilona saat ini— dia cukup percaya diri untuk melakukannya.
"Kak ….–"
"Baiklah, jika kau sudah sembuh. Cepat ganti pakaian, Ilona. Di kamarku …." Jeanne mengatakannya setengah ragu, seolah dirinya tak rela.
Sementara Ilona sendiri tersenyum. "Terima kasih, Kak Jeanne. Mohon tunggu sebentar, saya akan segera kembali." Setelah menundukkan kepalanya pelan, dan kembali mengangkat— perempuan itu pergi ke belakang. Maksudnya, tepat masuk ke dalam kamar tidur Jeanne.
Tidak ada alasan bagi Jeanne merelakan seorang Ilona untuk masuk ke dalam kamar tidurnya yang sepi.
"Rupanya dia cukup cerdik." Ilona bergumam begitu dirinya masuk ke dalam kamar tidur Jeanne. Kamar mewah, yang dulu juga sempat ia masuki.
Yah, Jeanne memiliki pertimbangan yang kuat. Ia tahu, bahwa— Ilona sama sekali tidak memiliki gaun mewah yang layak. Daripada akan menjadi bahan pembicaraan, Jeanne merelakan gaun-gaunnya untuk Ilona pakai.
Banyak gaun indah berjejer di dalam lemari Jeanne. Ilona melihatnya satu per satu, hingga gaun yang ia inginkan benar-benar ketemu.
Seorang dayang yang baru saja masuk, dia pastilah dayang Jeanne. Terlihat bagaimana tatapan matanya yang terlihat tidak suka.
"Kenapa hanya terus berdiam diri? Anda bisa membantuku." Ilona tersenyum seraya memegang gaun yang ia pilih ke dalam pelukannya.
Dayang tersebut menganggukkan kepala— secara terpaksa. "Ya …."
Kemudian, berkat bantuan terpaksa dayang itulah; Ilona saat ini dapat tersenyum lugu di depan Jeanne, Shilla, juga Sherly.
Memakai gaun indah penuh rajutan yang sederhana. Gaun yang sangat pas bila dikenakan oleh tubuh ramping. Warnanya tidak begitu mencolok, biru langit. Tapi, berkat wajah Ilona yang benar-benar mempesona-- gaunnya jadi lebih bernyawa. Dia sangat cantik, sampai-sampai membuat tiga saudari tiri tak bisa menunjukkan wajah geramnya.
[Wajah orang cantik memang tidak diragukan lagi impact- nya.]
Ilona tersenyum dalam hati. Ternyata di novel ini pun, wajah masih menjadi penentu suatu tingkatan.
"Kak Jeanne, gaun Anda cantik-cantik sekali. Terima kasih telah sangat berbaik hati meminjamkan salah satunya pada saya. Saya senang. Bukankah gaun ini indah, Kak?" Ilona menarik kecil dua sisi gaun. Kemudian berputar layaknya sebuah wahana di malam perayaan. Menunjukkan bagaimana gaunnya yang mekar dan berputar indah bagai bunga di langit biru.
Jeanne mengangguk kaku. "Ya."
Lalu setelah semua siap, Ilona naik ke sebuah kereta kuda bersama dengan ketiga saudari tirinya. Itu wajar, karena meski Ilona tokoh utama di cerita ini, dia tetap hanya seorang putri dari Count Berenice. Memiliki gelar bangsawan, yang cukup rendah. Sehingga kereta kuda pun tidak semewah seperti ekspektasi Ilona sebelumnya.
Melewati sebuah hutan yang tidak begitu lebat, sepanjang perjalanan— beberapa kali kereta kuda sedikit terangkat kecil. Sebab beberapa batu ataupun kerikil yang diinjak oleh roda ataupun kuda sendiri.
"Apakah ini ibu kota, Kak Jeanne?" Ilona bertanya secara tiba-tiba.
Wanita dengan gaun merah itu menatap ke arah Ilona. Masih ada rasa tidak suka melihat bahwa seseorang menggunakan gaunnya, dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa.
"Bukan. Kita bahkan tidak akan ke ibu kota. Kita akan ke Kediaman Duke Iloka."
Ilona menganggukkan kepalanya mengerti. Iloka? Tepat seperti yang dirinya pikirkan, di Kediaman Duke Iloka nanti … sudah pasti ada Ramos Frederick sebagai tokoh utama pria di novel ini.
Perasaan senang yang terus disembunyikan. Bahkan sampai kereta kuda ini benar-benar telah berhenti dan berada di tempat yang pas.
Satu per satu, dengan anggun dan bantuan seorang kusir; akhirnya Ilona dapat menapakkan kakinya di tanah subur ini. Menghirup udara sejuk, yang masih tak dipercayai, bahwa ia saat ini berada di dalam sebuah novel.
Ilona menatap ke depan.
Sebuah bangunan dan tanah luas langsung menjadi pemandangannya. Bahkan, kediaman Barenice sendiri pun— tak akan sebanding.
Ilona mengaguminya, jujur saja. Dia tidak pernah melihat bangunan indah era Victoria. Ini adalah kediaman Iloka.
[Aku tinggal mencari mangsanya saja. Ramos.]