Chereads / Us! / Chapter 6 - Bayaran

Chapter 6 - Bayaran

"Bakso saya, dia yang bayar."  Xena menunjuk  ke arah Dino.

"Aku pergi duluan." Pamit Xena melirik Sasa, Nia dan Echa.

"Makasih," ucap Xena sambil berlalu meninggalkan Dino yang hanya bisa melongo, tanpa berani berkata-kata. Ia juga tak perduli pada tatapan tak percaya dari orang-orang.

"Gila! Tuh cewek berani banget Din," celetuk Chandra sambil mengeleng-gelengkan kepala.

Rifqi yang sedari tadi melihat kejadian itu langsung bangkit dari tempat duduknya.

"Aku nitip." Rifqi meletakkan uang 50 ribuan pada meja di dekat Arif.

''Mau kemana kau?"

"Ada urusan."

Rifqi berjalan ke arah berlawanan. Ia sepertinya tahu kemana arah Xena pergi.

"Ehh, sorry... sorry," lirih Rifqi ketika menabrak Xena dengan sengaja. Melihat Xena yang diam saja membuatnya bicara lagi.

"Kamu inget aku?"

"Tidak."

"Ha, becanda kan?"

"Aku sebenarnya tidak bercanda, aku hanya bermaksud sungguh-sungguh kasar, dan kau mengira aku bercanda?"

"A... ha... ha, kayaknya hobi kamu bikin orang kesel, ya?" sindir Rifqi setengah kesal dan malu.

"Memang siapa yang aku bikin kesal?"

"Itu tadi di kantin?"

Meski tak terlihat. Sebenarnya kening Xena berkerut.

"Kamu mengikuti aku dari kantin?"

"Idih geer," jawab Rifqi mengelak terlalu cepat.

"..."

"Eh, tunggu!' seru Rifqi sambil memegang lengan Xena yang mau pergi. Dan dibalas dengan pelototan.

"Iya, maaf," ucap Rifqi melepaskan pegangan tangannya, ia kemudian mendekatkan wajahnya pelan ke Xena. Membuat jaraknya hanya tersisa beberapa senti saja.

"Aku cuma mau bilang, kayaknya kita akan sering ketemu mulai sekarang."

Setelah mengatakan itu Rifqi menjauhkan wajahnya, dan tersenyum semanis mungkin.

Wajah Xena masih datar,

Aneh, biasanya para wanita akan menjerit di perlakukan seperti itu, tapi tidak dengannya.

"Nih cewek gak maho kan?'" tanyanya dalam hati.

Sedetik kemudian ia baru sadar, gadis itu sudah tidak ada di sampingnya.

"Lah, Aku ditinggal," gumamnya menatap pungung Xena yang perlahan menjauh.

"Jadi yang sebenernya naksir, aku atau kamu?" Rifqi menoleh dengan gaya slow motion, sejak kapan temannya itu berdiri di sana.

"Jangan mikir macem-macem."

"Wah, aku tarik deh kata-kata tadi. Selamat berjuang!"

"He Amoba! Gak gitu!" jerit Rifqi tak terima, sambil mengejar sang sahabat yang berlari terbirit-birit.

***

Anehnya, pemuda itu terus kepikiran. ia malah tidak bisa diam begitu saja rasanya, ada sedikit rasa penasaran yang meletup di dadanya. Hingga akhirnya memilih untuk mencari tahu sendiri, dengan memanggil orang lain.

"Jadi... namanya Xena Putri Wijaya?"

"I–iya."

Seorang cowok berkacamata nampak menunduk ketika ditanyai Dino. Bulir-bulir keringat nampak memenuhi keningnya, sesekali ia membenarkan letak kacamata yang  merosot di batang hidungnya, jujur saja, berhadapan dengan Dino, lebih mirip seperti sedang diintrogasi calon mertua.

Meski ia sendiri masih jomblo.

Melihat gelagat aneh cowok di depannya, Dino tersenyum miring. Sepertinya ia sedikit paham dengan kenapa cowok itu agak aneh.

"Oi, aku bukan lagi malak kamu, kenapa takut begitu?"

"Ma, maaf," ucap cowok itu dengan nada bergetar. malah makin terlihat ketakutan jika diajak bicara. membuat mereka jadi serba salah.

"Takut dia Din, mukamu kayak mau makan orang," cibir Chandra mengingatkan.

"Hadeh, ya sudah, makasih Galih, kamu boleh pergi."

Bukannya langsung pergi, Cowok yang dipanggil Galih itu malah memandangi Dino bingung, hanya itu? padahal ia kira, dirinya akan menjadi bulan-bulanan Chandra dan Dino. Tunggu, ada yang aneh, sejak kapan Dino tahu kalau namanya adalah Galih, kalau dari nametag kan dia sedang tidak pakai pikirnya.

"Boleh pergi?" tanyanya sekali lagi untuk memastikan kalau-kalau hanya tipu muslihat saja, yang ada ia malah dihajar nanti kalau salah bergerak. ia malas jika harus berbohong.

"Gini nih, mentang-mentang kita preman sekolah. Kita enggak mungkin nyakitin orang yang salah," bukan Dino yang bicara melainkan Chandra, ketika melihat ekspresi tak percaya Galih.

"Ma... makasih."

Sebuah senyuman tulus terpatri di wajahnya. Cowok itu segera berlari dari rooftop, meninggalkan Dino dan Chandra.

Chandra yang melihat Dino senyum senyum sendiri, mulai merasa aneh, kemudian iseng melemparnya dengan kulit kacang. Alhasil Tersedak.

Dino mengupat pada Chandra sambil memuntahkan kulit kacang. Chandra sendiri malah tertawa terpingkal-pingkal, umpatan macam apa itu.

"Din, aku heran deh sama kamu, kok kau tertarik banget sama itu cewek?"

Dino berbaring sambil menutupi wajahnya dengan buku, karena sinar mentari yang begitu menyilaukan.

"Dia beda dari yang lain."

Kacang yang dipengang Chandra pun terjatuh berserakan, mulutnya setengah mengganga, tak percaya. Seorang Geraldino suka pada cewek.

"Kau suka cewek itu?! Aku kira kau hom—adaw."

Sebelum ucapan itu selesai, Sebuah sepatu sneakers putih melayang mengenai bagian kepala Chandra, membuatnya mengaduh kesakitan. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Dino yang nyegir lebar.

"Kok kau lemparin aku?!" tanya Chandra tak terima sambil mengusap kepalanya.

"Aku tahu kamu mau ngomong apa."

Cowok bertubuh tinggi itu mengambil kembali sebelah sepatunya dan memasangnya kembali, ia kini berjalan meninggalkan Chandra yang masih sibuk mengusap kepalanya.

"Oi, mau kemana?!"

"Kelas." jawabnya santai.

Chandra hanya bisa melongo, mendengar Dino ingin masuk kelas.

Karena biasanya tempat yang paling mereka hindari adalah kelas.

"Otakmu geser, ya? Sejak kapan lo mau masuk kelas?!"

Dino menghela nafas panjang, jika Chandra bukan temannya, mungkin sudah dia dorong dari rooftop ini. Terserahlah, kalaupun Chandra jadi hantu dan menghantuinya ia tidak perduli.

"Bukan kelas kita."

"Eh?"

"Lemot amat sih!"

Sedetik dua detik, butuh waktu beberapa saat untuk Chandra memahami maksud dari temannya.  sebuah senyum melengkung nampak jelas di wajah Chandra, sepertinya ia tahu kelas mana yang dimaksud.

"Kuy, lah," jawabnya kemudian.