Jika ada yang Dino benci, hal itu adalah sekolah, baginya, sekolah hanya tempat paling penuh keluh kesah, mengeluh hari senin harus upacara. Kemudian ke jam matematika, tugas, ulangan dan ujung-ujungnya malah mencontek.
Satu-satunya hal yang membuat Dino betah ke sekolah karena makanan dari kantin mbah mugi langganannya. Selebihnya, dia lebih suka menghabiskan harinya di luar sekolah bersama sahabatnya, Chandra. Seperti sekarang ini. Dari pada mendengar celotehan berbau matematika yang rumusnya seperti cacing pita, boro-boro mengerti, untuk tak terjatuh di atas meja dan mendengkur itu sudah cukup, baginya.
"Bagi korek dong, Dino." Cowok yang di panggil Dino itu mendengus sebal, kemudian meraih korek yang tersimpan di sakunya.
"Modal, Chan!"
"Nih modal, modal minjem," jawabnya santai, sembari tertawa dan memamerkan deretan giginya.
Dino menghembuskan nafasnya beberapa kali, kemudian mengibaskan tangan.
"Terserah!"
Cowok itu melirik sekeliling.
"Btw, si Pak Karman, enggak bakal nemuin kita di sini, kan?" tanyanya sedikit ragu.
Pak Karman merupakan guru terkiller di SMAnya.
"Tenang aja. Ini tempat teraman. Dan sedikit orang yang tahu tempat ini," jawab Chandra penuh Keyakinan.
"Kalian tahu di mana SMA Wijaya Bangsa?" tanya seorang gadis tiba-tiba mengagetkan mereka.
Terutama Chandra, yang baru saja mengatakan tempat ini aman.
hampir saja ia terjungkal saking terkejutnya. Bagaimana mungkin seseorang bisa tahu tempat ini.
"Kau bilang, tempat ini aman?!" cerca Dino kesal.
Chandra hanya mengaruk-garuk kepalanya, ia juga bingung.
"Mana aku tahu, mungkin nih cewek mata-mata Pak Karman kali," ucapnya membela diri.
Hening.
Gadis itu masih menatap mereka tanpa bicara.
Dino kemudian berdiri, pandangannya menatap gadis itu lurus.
"Kamu barusan nanya kita?"
Gadis itu melirik sekitar "Apa aku terlihat seperti sedang bicara dengan tembok di belakang kalian? lihat, tidak ada orang lain di sekitar sini—kecuali kalian bukan orang," jawabnya datar.
Keduanya sukses melongo dengan kening berlipat-lipat mendengar ucapan atau hinaan? dari gadis di depan mereka. Gadis itu memakai jaket bewarna hitam, lalu poninya yang panjang hampir menutup sebagian wajah datarnya.
"Ucapannya kayak ngajak berantem ya?" kata Chandra kemudian.
"Kok bisa sampe sini?" sambar Dino yang sedari tadi penasaran tak terlalu terlihat peduli akan ucapan gadis itu sebelumnya.
"Menurutmu?" tanyanya enteng.
"Nyasar!" tukas Chandra dan dibalas dengan anggukan malas oleh si gadis.
Dino terkekeh kemudian, baginya cewek di hadapannya itu unik juga.
"Mau kemana?" tanya Chandra yang bingung melihat Dino mau pergi.
"Enggak liat nih anak orang nyasar!" ujarnya seraya memamerkan senyumnya yang membuat Chandra merinding. Bukan karena suka, sungguh bukan, ia masih normal, tapi senyuman itu, seperti ada udang di balik bakwan.
"Aku juga liat! Katanya mau bolos?!" tanya Chandra bingung.
"Gimana ya, berhubung aku orangnya baik hati, ganteng dan—"
"Terserah!" potongnya cepat, malas mendengarkan ocehan Dino.
"Tapi, aku ikut," tambahnya lagi, Chandra lalu membuang puntung rokoknya dengan sepatu ia menginjaknya. Kemudian berjalan mendekat ke arah Dino.
"Kau, gak punya niatan jahat, sama ini anak kan?" tanya Chandra setengah berbisik, ada sedikit nada kekhawatiran dipertayaannya.
Dia langsung dihadiahi jitakan di kepala.
"Emang aku cowok apaan?!" jawab Dino ketus.
Kemudian berjalan cepat meninggalkan Chandra yang masih mengusap kepalanya yang dijitak Dino.
"Buset, ganas banget, kayak cewek lagi pms," sindir Chandra yang dibalas tatapan mesra, eh, tajam dari Dino. Kini pandangan Dino kembali melirik gadis itu.
"Kita lewat sini ya?" tawar Dino menunjuk arah jalan lain.
"Kirain langsung ke KUA, Bang." sambung Chandra.
"Sekali lagi ngomong, aku sentil ginjalmu!"
"Abang Dino tega!"
Gadis itu hanya diam, dari diamnya Dino sudah tau jawabanya terlebih sepertinya situasi ini sedikit tidak menyenangkan. Karena terkadang kelakuan dua bocah yang baru besar ini aneh dan unik sekaligus.
"Tenang aja, berhubung kau minta tolong dianterin. Aku bakal anterin sampe tujuan kok.
"Kapan aku minta diantar?" jawab Xena cepat.
"Bener juga sih, tadi kan dia cuma nanya di mana SMA Wijaya Bangsa," Sambar Chandra sambil memegang dagunya.
"Terserah, Aku yang berbaik hati mau nganterin. Kamu nggak mau dianter?" tanya Dino dengan nada setengah sebal.
"Ikhlas?" tanya gadis itu.
"Ikhlas lahir batin!" Jawab Dino cepat kemudian menghembuskan nafasnya kesal.
"Tenang aja, kita punya jalan rahasia loh. Jadi nggak akan nyasar kayak kamu!" ucap Dino menekankan dua kata terakhir.
***
Di lapangan sekolah SMA Wijaya Bangsa.
Sedang ada kegiatan MPLS, tepatnya ini hari terakhir, berbeda dengan biasanya, tidak ada atribut aneh lagi sekarang, mereka hanya disuruh memakai name tag seukuran buku tulis dengan topi biru dan merah.
"Kenapa, datang terlambat?!" Tanya Rifqi, salah satu anggota mos dengan suara sedikit meninggi.
"Maaf, Kak."
Junior yang dibentak itu hanya bisa menunduk pasrah, dimarahi Rifqi. Ia tidak berani membantah. Gadis itu menggigit bibirnya, sedangkan tangannya sibuk meremas ujung baju yang dia kenakan.
Kalau boleh jujur, awalnya dia tidak takut pada kakak ini, wajahnya yang tampan, dengan postur tinggi. Membuat dia tambah menawan.
Tapi, melihat amarahnya seketika membuat dia ciut.
"Ini hari terakhir, tapi masih buat kesalahan?"
"Woi Qi, jangan ganas-ganas, bisa pingsan entar anak orang gara-gara kamu bentak," bisik Arif- temannya mengingatkan.
Dino melihat hal itu dari kejauhan, mereka sudah tiba dari beberapa saat yang lalu, niatnya hanya mau mengantar
Sampai gerbang, eh malah kebablasan sampai lapangan.
"Udah, kau gabung sana!" perintah Dino.
Gadis itu menatap Dino datar.
"Aku kelas dua."
"Ya, nggak apa-apa kali, biar kau dapat wawasan seputar sekolah ini. Kan tujuan acara gitu buat ngenalin sekolah, bukan cuma buat ngacangin apalagi sampe babuin anak orang," jelas Dino dengan nada sedikit menyindir.
Dengan lugunya, Gadis itu pun berjalan perlahan memasuki lapangan, diiringi tatapan heran para murid yang ada di sana. Aslinya ia ingin menanyakan di mana ruang guru.
"Aku—"
Ucapan Rifqi terpotong ketika melihat seorang gadis masuk ke lapangan dengan santainya. Rifqi menaikan sebelah alisnya.
Siapa gadis yang dengan songongnya main masuk saja.
"Kamu boleh kembali ke barisan," ujar Rifqi pada gadis yang tadi dia marahi.
Tentu saja hal itu membuat gadis yang baru saja dimarahi bisa bernafas lega.
Lain hal nya dengan Rifqi, kini dia punya mangsa baru untuk di marahi.
"Sini kamu!"
Gadis itu dengan patuh mendekati Rifqi.
"Siapa namamu?!" tanyanya dengan tatapan mengintimidasi.
"Xena Putri Wijaya," jawab gadis itu dingin.
"Kenapa baru datang?"
Xena menatap Rifqi bingung, apakah ia perlu menjawabnya.
"Kenapa diam?!"
"Pertayaannya, kenapa baru datang atau kenapa diam?"
celetuk gadis itu bingung.
Sontak, celetukan itu membuat para peserta MPLS tertawa.
"Diam!" bentak Rifqi kesal, alhasil mereka diam seketika, Rifqi menghirup nafas dalam-dalam.
"Kenapa baru datang?!" tanyanya lagi.
"Karena baru sampai," jawab Xena polos tanpa beban.
"Apa?" Rifqi melongo sedangkan beberapa orang tertawa mendengar jawaban dari gadis itu."
"Nyasar," ucap si gadis kembali.
"Lain kali, kalau ke sekolah bawa kompas, biar nggak nyasar," celetuk seseorang dari barisan paling belakang.
Seketika Rifqi mendelik ke arahnya.
"Kamu tahu saya paling tidak suka sama yang jamnya ngaret!"
"Tidak tahu," jawab Xena.
Rifqi mengelus dadanya. Ingin rasanya Rifqi menjedotkan kepala anak baru ini ke dalam tong sampah. Jawabannya ceplas-ceplos, ekspresi menyebalkan seakan tak merasa bersalah. Dan berani membantah senior seperti diri nya.
"Lalu kenapa pakai jaket? jaketnya lepas!" perintah Rifqi. Namun gadis itu nampak tak bergeming.
Rifqi yang sudah kesal, berniat untuk melepas tudung yang di kepalanya, tapi tangannya langsung ditahan gadis itu.
Deg
Rifqi merasa pipinya memanas, meski tertutup poni, ia tahu, wajah sang gadis sangat memesona.
"Steven Wright pernah bilang, cahaya bergerak lebih cepat dari suara. Inilah sebabnya beberapa orang tampak cerdas sampai mereka berbicara," ungkap Xena.
***
Mending baca novel, jangan baca chatnya yang telah pergi._.)//