Chereads / Mecca (Luka yang Tiada Akhir) / Chapter 10 - Topeng Bahagia

Chapter 10 - Topeng Bahagia

Senyum bahagia tak sedikitpun luntur dari wajah gadis cantik yang duduk di kursi kemudi sebelah Reval.

Yang melihatnya pun tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya, melihat sang adik di hari ini untuk pertama kalinya terlihat sangat bahagia.

"Gue seneng ngeliat lo bahagia seperti ini, Ca."

Mendengar ucapan itu, Mecca hanya berdehem sebentar seraya menatap keranjang yang berada di pangkuannya berisi bunga mawar putih.

"Hanya hari ini lo melihat gue seperti ini karena gue harus terlihat bahagia untuk menemui papa." Reval beralih menatap Mecca dengan tatapan sendu.

"Papa gak boleh liat kesedihan di wajah gue, biar papa tenang di sana," lanjutnya dan Reval memilih diam saja.

Bunga yang segar, dipetik oleh tangannya sendiri. Mecca berpikir sebentar, sudah cukup lama ia tak mengunjungi ayahnya karena terlalu banyak masalah yang menimpa hidupnya.

Masalah yang datang silih berganti, mulai dari bundanya yang menikah lagi dan bertepatan dengan hari di mana Mecca berpacaran dengan Fathur. Lelaki yang ia kira akan memberinya begitu banyak kebahagiaan, ternyata juga sama yaitu membawa luka. Namun, karena rasa cintanya pada lelaki itu, membuatnya tetap bisa bertahan hingga sekarang.

"Bunganya cantik, kenapa lo milih bunga mawar putih, Ca?" tanya Reval.

Mecca terdengar tertawa pelan. "Aneh ya, gue. Bilangnya benci sama elo, tapi di lain sisi gue selalu membutuhkan lo. Apa lo gak marah dengan sikap gue seperti ini?"

Reval belum menjawab, ia memberhentikan mobil ke sisi jalan karena sudah tiba di tempat pemakaman.

Lalu ia mengalihkan pandangannya menatap Mecca, tangannya tergerak mengelus puncak kepala Mecca.

"Bagaimanapun sikap lo ke gue, lo bilang benci pun ke gue. Gue akan tetap selalu ada untuk lo, Ca. Karena gue adalah kaka lo," sahut Reval menatap bola mata coklat pekat yang tersirat begitu banyak luka.

Mecca membalas tatapan Reval seraya tersenyum. "Hari ini adalah hari keberuntungan lo, karena bisa ngeliat topeng gue saat bertemu dengan papa ke sini." ucapnya.

"Dan lo nanya kenapa gue milih bunga mawar putih?" Reval mengangguk antusias, ia sangat ingin tahu kenapa Mecca memilih bunga itu.

"Karena bunga mawar putih memiliki arti cinta yang murni, kesetiaan abadi dan simbol dari cinta sejati. Papa adalah cinta pertama gue, hingga pada akhirnya kematian adalah jalan Tuhan biar papa gak merasakan kesakitan lagi," lanjutnya.

Mecca dan Reval pun turun memasuki area pemakaman. Cuaca sedang mendung, tidak ada cahaya sinar matahari. Seperti cuaca pun tengah bersedih.

Untuk pertama kalinya, Reval akhirnya datang ke sini, tempat pemakaman ayahnya Mecca. Reval sempat berpikir ingin bertanya kepada bunda untuk berkunjung ke makam ayahnya Mecca, tetapi Reval tak ingin membuat bunda kembali sedih.

"Reval." Panggilan itu membuyarkan lamunan Reval, ternyata ia berhenti berjalan.

"Ayo sini!" Mecca menghampiri Reval, menarik lengan lelaki itu agar mengikutinya menuju sebuah makam yang dari kejauhan sudah terlihat nama di batu nisannya yaitu Arsya Kurniawan.

Setibanya di makam itu, Mecca menarik senyum di bibirnya selebar mungkin. Makam ayahnya benar-benar terawat, seperti yang Mecca harapkan.

Penuh dengan bunga-bunga mawar putih yang mekar. Mecca beralih menatap Reval yang terpaku menatap makam ayahnya.

"Kenapa? Lo takut ke pemakaman?" Pertanyaan Mecca, membuat Reval langsung menatap gadis itu.

"Enggak," jawabnya.

"Gue hanya senang akhirnya bisa datang ke makam papa lo," lanjut Reval.

Setelahnya, tidak ada lagi pembicaraan. Mecca dan Reval sama-sama berdoa untuk Arsya--ayahnya Mecca. Lima menit berlalu, Mecca membersihkan rumput kecil yang tumbuh. Lalu meletakkan bunga mawar putih yang ia bawa tadi.

"Pah." Mecca mengusap batu nisan bertulis nama ayahnya.

Senyum yang Mecca tampilkan terlihat sangat bahagia, tetapi Reval tahu. Mecca memaksakan itu agar terlihat dirinya kuat di hadapan ayahnya.

"Maaf Mecca baru mengunjungi papa, sebulan ini Mecca banyak urusan. Papa baik-baik di sana, karena Mecca hanya ingin papa mendapat yang tempat terbaik dan tidak lagi kesakitan." Mecca tak lupa menyiram dengan air mawar.

Lalu ia beralih menatap Reval, memberi kode lelaki itu untuk berucap. Sedangkan Reval kebingungan apa yang harus ia katakan.

"Ngomong, Val," ucap Mecca.

"Ngomong apaan?" sahut Reval.

"Terserah lo," balas Mecca.

"Lo bilang terserah, ya."

Reval menghela napas sebentar sebelum berucap. Ia menatap makam ayahnya Mecca yang sudah ditaburi bunga.

"Perkenalkan saya Reval Ravindra, kaka tirinya Mecca. Doakan saya om, semoga Mecca tidak lagi membenci saya,"

Mecca membelalakkan matanya mendengar ucapan terakhir Reval, memukul lengan lelaki itu.

"Lo kok ngomong gitu sih!" Mecca berdiri dengan keranjang di tangan kanannya.

"Aku pulang ya, pah. Nanti Mecca akan sering-sering berkunjung ke sini lagi."

Setelah mengatakan itu, Mecca pergi begitu saja, meninggalkan Reval yang menatap sendu kepergian Mecca. Hari ini ia cukup bahagia, Mecca sedikit terbuka padanya. Namun, kebenciannya pun belum bisa hilang pada Reval.

Reval kembali menatap makam ayahnya Mecca seraya tersenyum. "Saya juga mau meminta restu om. Izinkan saya untuk menjaga Mecca selama apapun itu, karena saya ingin jujur pada om jika saya menyukai Mecca."

***

Eza kehabisan cara bagaimana membujuk Fathur untuk makan, dari pagi tadi hingga sudah menjelang siang. Fathur masih tidak mau makan.

"Far, papa mohon kamu makan. Nanti kamu sakit lagi," mohon Eza.

Fathur menatap ayahnya yang memegang piring dengan sendok di sodorkan padanya.

"Aku hanya akan makan kecuali papa mempertemukanku dengan seseorang," sahut Fathur.

"Siapa? Papa akan pertemukan dengan dia,"

"Pacar aku, tapi aku ingin papa jangan izinkan Falisha datang ke rumah sakit," ucap Fathur.

"Falisha? Ada apa dengan dia?" tanya Eza tak mengerti.

"Karena Falisha alasan hubungan aku sama Mecca gak pernah baik-baik saja," jawab Fathur.

Eza berpikir sebentar sambil menatap sang putra.

"Baiklah. Papa akan turuti keinginan kamu, tapi untuk menghalangi Falisha tidak datang ke mari, papa akan mengajaknya keluar kota selama beberapa hari. Apa kamu tidak apa-apa papa tinggalkan?"

Fathur dengan cepat mengangguk. "Itu yang aku inginkan. Bawa Falisha pergi, meskipun hanya sebentar. Setidaknya aku punya waktu bersama dengan Mecca dan aku bisa mengurus diri aku sendiri, pah." jawabnya dengan nada senang.

Eza mengangguk, mengelus puncak kepala Fathur. Sejak mendiang istrinya meninggal, kasih sayang yang seharusnya didapatkan oleh Fathur dan Falisha sedikit berkurang karena Eza harus bekerja di kota yang berbeda.

Namun, satu hal yang menjadi beban untuk Eza dan Fathur yaitu sebuah janji yang tak bisa mereka ingkari.

"Huh! Sejak mama kamu meninggal, kamu benar-benar di perlakukan seperti boneka oleh Falisha. Begitupun papa, meskipun dia tidak terlalu pada papa, tapi kamu yang jadi korban Falisha, Fathur," ucap Eza.

Fathur menghela napas kasar, menatap langit-langit ruangan. "Andai saja janji bisa diingkari, aku udah dari dulu membela Mecca di bandingkan Falisha. Dan jika aku bisa sedikit berani melawan, Mecca tidak akan terluka."