Chapter 11 - Cemas

Perjalanan pulang setelah dari pemakaman. Mecca dan Reval memutuskan berhenti di sebuah warung bakso untuk mengisi perut mereka.

Reval menatap sekilas adiknya yang wajahnya sudah tak seceria sebelumnya. Ia jadi berpikir bagaimana mengembalikan keceriaan Mecca yang dulu.

"Jangan kembali murung lagi, Ca," ucap Reval.

Aktivitas makan Mecca terhenti, menatap Reval yang tengah menatapnya.

"Kan gue udah bilang tadi itu hanya topeng yang harus gue tunjukkin ke papa jika gue baik-baik aja," sahut Mecca melanjutkan makannya.

"Tapi nyatanya malah sebaliknyakan?" tanya Reval.

Mecca menghela napas kasar, menatap sinis Reval. "Lo peduli sama gue apapun yang gue rasain?" tanyanya.

Reval bergerak menggenggam tangan dengan tatapan serius. "Iya. Apapun semua tentang lo gue peduli karena gue ini kaka lo, Ca."

Mecca menarik tangannya dengan cepat, melanjutkan makannya. Sampai hpnya tiba-tiba berbunyi dari nomor yang tidak di kenal.

"Siapa?" gumam Mecca, Reval pun ikut melihat.

'Halo? Siapa, ya?'

'Loh? Mecca, lo gak tau. Ini gue, Megan,'

'Oh, sorry. Gue baru ganti hp soalnya, jadi gak ke simpan nomor lo,'

'Oh, gitu. Ya, udah gak papa. Gue cuma bilang ada sesuatu yang gawat, Ca,'

'Gawat? Gawat kenapa?'

'Fathur, Ca. Dia masuk rumah sakit dan kondisinya kritis,'

Napas Mecca langsung sesak, jantungnya berpacu cepat. Telpon langsung dimatikan Mecca, gadis itu pun bangkit.

"Reval! Cepat anterin gue ke Rumah Sakit Santosa!" pinta Mecca.

Perjalanan menuju rumah tempat Fathur dirawat, awalnya lancar-lancar saja. Tetapi saat sudah dekat lokasinya, mobil yang di kendarai Reval terjebak macet.

Langit yang tiba-tiba menggelap, lalu perlahan berjatuhan air dari langit, yang awalnya sedikit menjadi begitu sangat deras.

"Hujan." Perasaan Mecca sudah sangat cemas dan ingin segera bertemu dengan Fathur.

"Tenang, Ca. Macetnya mungkin sebentar lagi berkurang," ucap Reval berusaha menenangkan adiknya yang terlihat sangat cemas.

Mecca pun berusaha menenangkan dirinya yang bereaksi cukup berlebihan saat mendengar Fathur kondisinya kritis. Padahal ia sudah berniat untuk mendiamkan Fathur selama beberapa hari untuk memberi pelajaran pada lelaki itu.

Marahnya kalah dengan rasa cemasnya. Mecca tak bisa menyembunyikan perasaan cemasnya, walaupun ia berusaha untuk menepisnya pada dirinya. Ini yang mungkin bisa di bilang, cinta akan tetap peduli walau berulangkali pun di sakiti.

"Gue gak bisa tenang, gue jalan kaki aja ke rumah sakit." Mecca sudah berniat membuka pintu mobil, tetapi lengannya ditahan oleh Reval.

"Jangan, Ca! Nanti lo kehujanan, tunggu sebentar lagi, Ca. Macetnya pasti akan segera berkurang," tegur Reval.

Namun, Mecca malah memberikan perlawanan. Gadis itu menepis kasar, lalu keluar membiarkan tubuhnya di terjang air hujan.

Reval berdecak kesal, memukul stir mobil kasar. "Ckk! Lagi-lagi lo lebih peduliin Fathur di bandingkan gue dan bahkan gak mikirin diri lo yang masih belum pulih!" gerutu Reval menatap sang adik sudah jauh dan perlahan hilang di pandangannya.

Napas Mecca terengah-engah akibat berlari. Ia menatap gedung rumah sakit yang menjulang tinggi, gadis itu segera masuk menuju ruangan Fathur.

Melupakan dirinya yang basah kuyup dan kedinginan. Wajahnya sudah berubah pucat. Setibanya di depan ruangan Fathur, Mecca pun perlahan membuka pintu, hingga pandangannya menatap seorang laki-laki yang sangat ia kenal terbaring lemah dengan oksigen yang terpasang di wajahnya.

"Far," lirih Mecca dengan suara lemah.

Ia melangkahkan kakinya perlahan menuju Fathur, tetapi tiba-tiba melemah sampai kepalanya di serang rasa sakit.

"Au!" Mecca memegang kepalanya yang terasa sangat sakit.

Pandangannya mulai kabur, hingga akhirnya kakinya tak bisa kuat lagi menopang tubuhnya. Yah, Mecca kehilangan kesadarannya.

"Mecca!"

Fathur yang sebelumnya matanya terpejam, sontak terbuka saat pendengarannya samar-samar mendengar suara Mecca.

Awalnya ia kira hanya mimpi, ternyata nyata. Tetapi yang ia lihat sekarang Mecca malah pingsan.

"Tolong!"

Fathur memaksakan tubuhnya yang lemah untuk bangun, ia bahkan terjatuh saat ingin mendekati Mecca. Rasa sakit ia lupakan karena melihat Mecca yang datang ke ruangan sudah tak sadarkan diri.

"Basah?" Fathur menatap tubuhnya Mecca yang basah dan juga rambutnya.

Matanya langsung membulat, ia akhirnya tahu penyebab Mecca pingsan. Karena hujan, sebab Mecca alergi suhu dingin apalagi jika kehujanan dan tubuhnya sudah kedinginan. Maka dirinya akan tak sadarkan diri.

Teriakkan minta tolong sebelumnya, ternyata terdengar sampai mendatangkan dokter dan suster.

Hening menjadi teman di antara dua orang yang seperti tengah perang dunia, tetapi hanya lewat tatapan.

"Ini semua salah lo!" Reval melempar kulit buah mangga yang ia kupas untuk adiknya yang masih belum sadar.

"Heh! Kalau gue tau bakal seperti ini, gue gak bakal suruh Megan bilang gue kritis. Karena gue kira Mecca gak akan mau datang menemui gue!" sahut Fathur dengan posisi sudah duduk.

Reval berdecak kesal sambil menatap Fathur, lalu berganti menatap lengan Fathur.

"Lo ngelukai diri lo sendiri?" tanya Reval dengan nada menjengkelkan.

Fathur memutar bola matanya malas, membalas menatap jengkel Reval.

"Iya. Mecca terluka karena gue, jadi gue pun harus terluka walaupun dilukai oleh diri sendiri," jawab Fathur.

Gelak tawa langsung terdengar dari Reval, sedangkan Fathur semakin kesal.

"Bocah!" Satu kata itu keluar dari mulut Reval, terdengar menusuk dan serius.

"Kalau pemikiran lo dewasa, lo bukan malah melukai diri lo sendiri. Tapi seharusnya merubah diri lo yang selalu membela adik sialan lo itu di bandingkan Mecca yang selalu jadi korban!" lanjutnya dengan marah.

Fathur menggenggam kuat tangannya, dirinya kembali dilanda rasa serba salah. Ingatan tentang dirinya yang mengiyakan berjanji muncul di pikirannya.

Sebenarnya tak salah jika membuat sebuah janji, tetapi bagaimana cara memenuhi janji itu yang seharusnya dipertimbangkan. Apakah bisa memenuhinya atau tidak?

Janjinya pada almarhumah ibunya, membuat Fathur seperti terbelenggu rantai yang kuncinya hanya di pegang oleh Falisha. Ingin mencoba melawan, apakah dirinya tak disebut mengingkari janji?

"Reval." Panggilan dari Mecca yang sudah sadar, langsung membuat Reval mendekat.

"Apa? Lo butuh sesuatu?"

Mecca di tempatkan di ruangan yang sama seperti Fathur dan bersebelahan tempat tidur pasiennya.

Sedangkan Fathur pun langsung bangun, matanya bertemu dengan Mecca dengan tatapan sendunya. Melihat itu, rasa bersalah kembali melanda hati Fathur.

Apalagi melihat kondisi wajah Mecca yang lebam dan kepalanya yang masih di perban. Lalu malah di tambah oleh dirinya yang membuat Mecca khawatir sampai kehujanan, hingga pingsan.

"Mau minum," jawab Mecca.

Reval dengan cepat memberikan minum dan membantu adiknya. Sedangkan Fathur hanya diam menatap setiap gerak-gerik Mecca, perempuan yang sangat ia cintai.

Setelah selesai, Mecca masih tak mau membalas tatapan Fathur yang sejak dari tadi menatapnya. Seberusaha mungkin Mecca tak ingin membalas tatapan Fathur.

"Reval," panggil Mecca.

"Iya?"

"Bisa lo keluar? Gue mau bicara berdua dengan Fathur!"