Kekesalan Mecca sudah di atas ubun-ubun kepalanya. Ia putus asa mencari-cari hpnya berada di mana, sampai-sampai ia pun sudah mencarinya ke kamar Reval yang sangat tak ingin Mecca masuki.
"Awas aja kalau pulang, bakal gue omelin abis-abisan!" geram Mecca menunggu di depan pintu.
"Mana pesan gue dari tadi dilihat doang!" lanjutnya.
Tak lama pendengarannya menangkap suara mobil masuk ke pekarangan rumah, dengan cepat Mecca mengecek melalui jendela dan ternyata benar itu adalah mobil Reval.
Dilihat Reval keluar dari mobil, dengan menenteng tas di bahunya dan di tangan kirinya menenteng sebuah paper bag berwarna biru tua.
Mecca sudah bersiap untuk memaki-maki Reval. Saat pintu mulai di buka.
Ceklek!
Mecca sudah mau bersuara, tetapi mulutnya langsung dibekap oleh Reval.
"Gemes banget sih punya adik." Reval mengacak-acak rambut Mecca, sedangkan Mecca membulatkan matanya dengan perlakuan Reval.
"Kakanya baru pulang udah mau diomelin. Tahan dulu ngomelnya, Ca," lanjutnya.
Reval melepaskan bekapannya, Mecca pun menuruti ucapan Reval untuk tidak mengomel.
"Ya, udah. Mana hp gue lo sembunyiin?"
Reval pun memberikan paper bag berwarna biru tua itu kepada Mecca. Gadis itupun menerimanya, dengan alis tertaut kebingungan.
Saat Mecca melihat apa isi paper bag itu, ia langsung menatap Reval. "Hp baru? Untuk apa? Hp gue yang lama mana?" tanya Mecca.
"Maaf." Reval mengelus puncak kepala Mecca lembut.
"Hp lo udah rusak, hancur parah karena jatuh bersama tubuh lo di tangga. Tapi untuk semua data di hp lama, udah di pindahkan ke hp baru, Ca. Jadi, lo tenang aja," jelas Reval.
Mecca terdiam tanpa memberi respon, membuat Reval kebingungan.
"Kenapa, Ca? Gak suka, ya model hp ini?" tanya Reval sedikit panik melihat reaksi adiknya yang diam saja.
"Enggak. Suka kok gue dan makasih," jawab Mecca.
Mendengar Mecca berterimakasih sangat membuat Reval senang, sampai lelaki itu tanpa sadar mencubit pipi Mecca.
"Au!"
"Sakit tau, Val!" teriak Mecca sambil memegang pipinya.
"Siapa suruh gemes banget."
Mecca hanya menatap dengan sinis, sambil mengelus-elus pipinya yang sakit dan ternyata sudah merah akibat ulah Reval.
Gadis itu mengecek hp barunya, sedikitpun tak terbesit di pikiran Mecca, ia akan mengganti hp lama dengan yang baru.
Ia mulai mengecek data-data yang menurutnya penting apakah benar semuanya udah di pindahkan ke hp barunya. Sedangkan Reval menatap gerak-gerik yang dilakukan Mecca, mereka sekarang sudah duduk di ruang tamu.
Mata Reval menyipit saat melihat luka di bagian kelopak mata adiknya dan bibir bawahnya, rasa bersalah dan marah kembali memancing dirinya. Mengingatkannya satu hal yang harus Reval beritahu pada Mecca.
"Ca." Gadis itu mendongak, menatap Reval seperti biasa dengan tatapan tajam.
"Apa?" sahutnya judes.
"Ada yang mau gue bilang, berhubungan dengan lo jatuh di tangga," ucap Reval.
Terlihat sorot mata Mecca memerah. Ia teringat kembali apa yang dialaminya hari itu. Reval menyentuh bahu Mecca, hingga gadis itu membalas tatapan Reval yang menatap Mecca.
"Gue tau lo teringat kejadian itu, Ca," ucap Reval.
"Tapi asal lo tau, di hari itu gue yang nyelamatin lo, meskipun gue terlambat. Maafin gue, Ca." Reval mengalihkan pandangannya ke arah lain, menyembunyikan segumpalan air bening di kelopak matanya.
Mecca menghela napas sebentar. "Kenapa harus lo? Fathur ke mana? Kenapa bukan dia yang nyelamatin gue?"
Reval kembali menatap Mecca, memegang kedua bahu adiknya. "Tanpa gue bilang pun, lo udah tau ke mana Fathur dan kenapa bukan dia yang nyelamatin lo." jawabnya.
"Falisha. Seperti biasa dia berakting, seakan-akan dia yang terluka, padahal dia yang ngelukain lo, Ca," lanjut Reval.
Tetesan air mata seketika jatuh di pelupuk mata Mecca, hatinya kembali sakit. Meskipun ia sudah sadar jika memang Fathur akan tetap mendahulukan Falisha di bandingkan dirinya.
Reval menyeka air mata Mecca, lalu mendekapnya ke dalam pelukannya. Ia bisa merasakan bagaimana terlukanya adiknya, ketika sang pacar lebih mendahulukan orang lain yang jelas-jelas tahu sebagai pelaku, ketimbang Mecca.
"Gue benci liat lo menangisi cowok bejat itu, Ca," ucap Reval. Tetapi malah membuat Mecca semakin menangis.
"Gue harus gimana, Val? Sakit,"
Terkadang Reval dilanda kebingungan, sebenarnya Mecca masih membencinya ataupun sudah tidak lagi? Karena kadang sikapnya yang butuh sandaran saat sedih, tetapi juga bisa berubah begitu membencinya.
"Hanya ada satu cara agar lo gak terluka lagi dan ngerasain sakit lagi, Ca." Mecca mendongak menatap Reval.
"Putusin Fathur!" lanjutnya.
****
Gelapnya ruangan tanpa ada cahaya yang dinyalakan, menemani seorang lelaki yang tengah meringkuk di bawah kasur sambil menangis.
Setiap kali ia merasa lelah dengan masalah yang menguji kehidupannya, Fathur hanya bisa melampiaskannya lewat tangisan dalam sendirinya.
Hidupnya yang sudah berantakan, ditambah dengan ulah kembarannya yang ikut campur hubungannya dengan Mecca, membuat Fathur serba salah harus bertindak seperti apa.
Fathur ingin menjaga Mecca layaknya seorang pacar, membahagiakannya, tetapi sejak ia resmi berpacaran. Hubungannya dengan Mecca tak ada satu pun berjalan lancar. Sedangkan di lain sisi, ia harus menepati sebuah janji yang tak bisa Fathur ingkari. Apa yang harus dilakukan Fathur?
Keadaan seperti tak berpihak padanya, masalah silih berganti datang menguji hubungannya dengan Mecca. Apalagi saat Mecca terluka dan Fathur tahu itu adalah ulah Falisha, sebenarnya Fathur ingin marah, tetapi ia tak bisa dan malah terlihat jika dirinya lebih membela Falisha yang bersalah dibandingkan Mecca--pacarnya.
"Gue gak berguna!" Fathur melempar gelas ke dinding sampai pecah berkeping-keping.
Tangisnya semakin menjadi, Fathur seperti lelaki lemah. Iya, memang Fathur merasa dirinya sangat lemah karena hanya sebuah janji dari mendiang almarhumah ibunya. Ia tak bisa melawan Falisha.
"Gue menyesal mengiyakan janji itu, jika ternyata malah dijadikan keuntungan oleh Falisha agar gue menjadi bonekanya!" teriak Fathur.
"Ca. Maafin gue, lo terluka itu semua karena gue, tapi gue gak bisa lepasin lo." Fathur menatap foto Mecca yang ia ambil diam-diam dan ia pasang di wallpaper depan hpnya.
Fathur bangun, keluar ke balkon. Lalu menatap langit yang berhiaskan bintang-bintang, air matanya kembali mengalir. Seketika ia merindukan Mecca dan ingin gadis itu selalu berada di sampingnya.
"Mecca Agustinar." Fathur menatap ke bawah dari lantai kamarnya yang berada di lantai dua.
"Gue cinta sama lo! Rasa ini udah terlalu dalam sampai gue gak bisa lepasin lo. Gue egois, Ca!" teriak Fathur sekencang mungkin.
Ia tak peduli lagi siapapun yang mendengarnya. Lalu Fathur kembali ke kamar mengambil pecahan gelas dan setelahnya darah segar mengalir di pergelangan tangannya.
'Lo terluka, Ca karena gue. Maka gue pun harus merasakan rasanya dilukai, tapi oleh diri sendiri,'