"Gara-gara lo hidung gue merah gini, mata gue pun merah," gerutu Mecca membersihkan sisa air matanya dengan berkaca di layar hp.
"Jadi kek vampir, dong," sahut Reval.
Mecca langsung melayangkan tatapan tajam kepada Reval, sedangkan si pelaku biasa saja reaksinya. Seperti melihat sang adik marah, adalah hal yang sangat ia sukai.
Lalu tiba-tiba Mecca malah menarik lengan Reval, membawanya masuk ke dalam menuju kamar Reval. Setibanya di kamar, Reval di suruh duduk di kasur. Ekspresi wajah Reval seperti orang linglung karena ulah Mecca.
Sedangkan Mecca, membuka lemari pakaian Reval. Ternyata gadis itu tengah memilihkan baju, setelah ketemu yang cocok. Ia memberikannya kepada Reval yang masih terlihat kebingungan.
"Ganti baju lo dengan yang ini, gara-gara gue seragam sekolah lo jadi basah dan penuh dengan ingus gue," ucap Mecca mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Reval akhirnya mengerti, seulas senyum tipis terbit. Hatinya langsung di tumbuhi bunga-bunga hanya karena mendapat perhatian dari adiknya.
"Padahal gue gak jijik kok baju seragam gue penuh sama ingus lo, malahan gue suka," sahut Reval.
"Ih, apaan sih!" Mecca segera keluar dari kamar Reval, menunggu di luar.
Setelah selesai mengganti pakaian, Reval keluar, melihat sang adik tengah menunggu di depan pintu sambil memainkan hpnya.
"Ca." Panggilan itu menghentikan aktivitas gadis itu yang langsung mengalihkan pandangannya menatap Reval.
"Kenapa?" sahut Mecca.
"Mumpung gue bolos masuk sekolah, lo juga udah baikan. Kita jalan keluar gimana? Kalau di rumah teruskan bosan." Mecca berpikir sebentar menimbang tawaran dari Reval.
"Apa ada tempat yang ingin lo kunjungi?" tanya Reval lagi menunggu jawaban adiknya.
"Ada, tapi lo beneran mau nganterin gue ke manapun gue mau?"
Reval mengangguk antusias. "Gue siap mengantar tuan putri ke manapun dia mau."
Mecca mengabaikan ucapan, ia berjalan pergi lebih dahulu menuju garasi kendaraan. Begitupun Reval, segera menyusul sang adik.
"Mau naik mobil atau motor?" tanya Reval.
"Mobil aja ya, Ca?" Mecca menatap aneh Reval, tadi ia disuruh memilih, lalu malah lelaki itu yang memilih.
"Ya, udah. Mobil aja, biar gue juga tidur kalau ngantuk," jawab Mecca.
Mereka pun berangkat memecah jalanan kota. Untuk pertama kalinya, Mecca mau pergi keluar bersama Reval dan itu sebabnya lah, Reval sangat bersemangat.
Sambil menyetir, Reval sekilas menatap Mecca yang tatapannya hanya kosong menatap ke arah jendela kaca mobil.
Sentuhan lembut di tangan Mecca, mengejutkan gadis itu.
"Kenapa melamun, Ca?" tanya Reval dengan nada lembut.
Mecca beralih menatap Reval, perlakuan Reval benar-benar seperti seorang kaka yang sangat menyayangi adiknya dan Mecca baru kali ini merasakan bagaimana begitu di sayangi oleh seorang kaka walaupun tiri.
"Gak papa," sahut Mecca singkat.
"Jangan muram gitu dong mukanya, Ca. Kita mau jalan-jalan loh, lo mau ke mana? Tempat apa yang ingin lo kunjungi?" tanya Reval mencoba menghibur.
Mecca masih belum menjawab, Reval yang kembali melihat adiknya seperti memikirkan sesuatu, menggenggam kembali tangan Mecca.
"Apapun yang menggangu pikiran lo, Ca. Kasih tau gue," ucap Reval.
Wajah Mecca terangkat, membalas tatapan Reval yang menatapnya. "Tempat yang ingin gue kunjungi adalah makam papa."
Dua puluh menit memakan waktu di perjalanan, Reval berhenti di sebuah toko bunga sesuai yang di minta Mecca untuk berhenti.
Keduanya masuk, baru di pintu awal. Wangi semerbak berbagai aroma bunga tercium. Seketika seulas senyum terbit di wajah cantik Mecca, Reval yang melihat itu terpukau. Untuk pertama kalinya melihat Mecca tersenyum tanpa beban yang ternyata sangat cantik.
Lalu datang seorang wanita paruh baya berjalan mendekat ke arah Mecca.
"Loh? Mecca, sudah lama sekali tidak ke sini. Ibu benar-benar rindu sama kamu, nak. Gimana kabar kamu?" Wanita paruh baya itu langsung memeluk Mecca dan dibalas olehnya.
Senyum di bibir Mecca semakin tertarik dan perubahan itu dilihat oleh Reval.
"Alhamdulillah. Aku baik, bu. Maaf aku baru mampir ke sini, setelah dari hari kematian papa," sahut Mecca.
Pelukan keduanya pun melerai. Lalu wanita paruh baya itu menatap seseorang di sebelah kanan Mecca.
"Ini siapa, nak?" tanyanya.
Reval ingin memperkenalkan dirinya, tetapi dengan cepat Mecca yang menyahut.
"Panggil aja Reval, bu. Dia kaka aku," jawab Mecca.
"Loh, kamu punya kaka. Baru tau ibu,"
"Kaka tiri, bu." Yang menjawabnya kali ini adalah Reval sambil menatap Mecca.
"Oh, berarti ibu kamu menikah lagi?"
"Iya, bu," jawab Mecca kembali tersenyum.
Mecca dan Reval pun diajak ke sebuah kebun taman bunga yang begitu luas. Mata Mecca berbinar melihat banyak ladang bunga yang mekar, ia beruntung datang di waktu saat bunga baru mekar.
"Wah! Cantik sekali." Mecca langsung berlari sendirian ke ladang bunga yang di buat seperti rumah dengan atapnya yang di penuhi bunga-bunga.
Melupakan Reval yang terpaku melihat sang adik terlihat sangat bahagia untuk pertama kalinya.
"Terimakasih, ya, Reval. Telah membawa Mecca ke sini," ucap wanita paruh baya yang berdiri di sebelah kiri Reval.
"Iya, sama-sama, bu. Apa Mecca sering datang ke sini, bu?" tanya Reval.
"Iya, Mecca sering datang ke sini karena ini adalah tempat kesukaannya. Namun, sejak ayahnya meninggal, Mecca sedikit jarang datang dan dia juga selalu membelikan bunga untuk di bawa ke makam ayahnya," jelas ibu itu.
"Mecca sebelumnya adalah anak yang sangat ceria, tapi sejak ayahnya meninggal akibat kecelakaan maut itu. Saya hanya melihat di wajahnya penuh dengan luka dan dari sebulan lalu, ia sudah tidak pernah ke sini," lanjut ibu itu.
Reval terdiam, menatap ke arah ladang Mecca yang terlihat sangat senang.
'Sebulan lalu? Itu adalah waktu papa menikahi bunda dan tinggal serumah dengan Mecca. Apa kehadiran gue dan papa adalah alasan menambah luka Mecca?' ucap batin Reval.
"Nak Reval." Panggilan kembali dari ibu itu membuyarkan lamunannya.
"I-iya, bu?"
"Jagain Mecca, selalu buat dia bahagia dan lindungi dia dari orang-orang yang menyakitinya. Ibu hanya memohon itu dari kamu yang dekat dengan Mecca,"
Reval tanpa ragu menjawab. "Pasti, bu. Saya akan menjadi yang terdepan melindungi Mecca."
Wanita paruh baya itu tersenyum, menepuk pelan bahu Reval. "Ya, sudah. Kita hampiri Mecca. Dia pasti tengah memilihkan bunga untuk di bawa ke makam ayahnya."
***
"Makan, Far." Falisha berusaha membujuk kembarannya untuk makan. "Kalau lo gak mau makan, lo bakal semakin lemah." lanjutnya.
Fathur tetap tak bergeming, wajahnya pun menatap ke arah lain, seperti tak sudi menatap wajah Falisha.
Helaan napas kasar terdengar dari Falisha. Gadis itu mulai kesal, melihat Fathur enggan menatapnya.
"Ini semua kesalahan Mecca!" ucap Falisha dan tatapan Fathur langsung tajam menatap Falisha.
"Lo terluka gara-gara dia! Wanita sialan itu!" lanjutnya berucap dengan penuh penekanan di kalimat akhir.
"LO YANG SIALAN!" teriak Fathur.