Chereads / Queen Candy / Chapter 2 - Anak Ketiga, Beban Keluarga

Chapter 2 - Anak Ketiga, Beban Keluarga

Candy memasuki rumahnya dengan wajah masam.

"Kenapa lagi sih, Can? Tiap pulang sekolah cemberut mulu," tegur Gita, bundanya Candy yang sedang duduk di ruang tamu sambil menyusun kembang aneka warna ke dalam vas bunga.

Candy memutar tubuh menghadap sang bunda. "Anak temannya ayah itu, Bun. Ngeselin banget!" gerutu Candy.

Gita mengerutkan dahi. "Maksud kamu Azka?" tanyanya.

"Siapa lagi kalau bukan dia," jawab Candy dengan muka yang semakin masam, mendengar nama itu semakin membuat dadanya kian panas.

"Ngapain lagi sih kalian? Dari kecil sampai sekarang berantem mulu, nggak capek apa?" balas Gita.

"Dia yang cari gara-gara mulu, Bun," rengek Candy.

"Udah ah, jangan kayak anak kecil terus. Ganti baju sana, setelah itu langsung makan, ya!" ujar Gita sambil mengusap rambut putrinya.

"Uh! Bunda sama Ayah sama aja, ngebela dia terus," dengus Candy sembari menuju kamarnya.

"Kamu lupa pakai pembalut lagi, Can?!" seru sang bunda begitu melihat noda di bagian belakang rok sekolah putrinya itu.

Klek! Candy raib di balik pintu kamarnya.

***

Pukul sembilan malam lewat sepuluh menit, Azka mematikan mesin motornya sebelumnya memasuki halaman kemudian mengendap-ngendap saat memasuki rumahnya. Mamanya tampak sedang asik menonton acara sketsa komedi di televisi bersama Alexa, kakak perempuannya.

"Ma, Bang Azka udah pulang!" teriak Adisti, adik Azka, begitu melihat Azka memasuki kamar dengan hati-hati.

"Huh!" Azka pun menghembuskan napas jengah sambil membelalak mata pada sang adik, tapi gadis SMP itu langsung kembali ke kamarnya sambil cekikikan.

"Xeno!" panggil Bilqis, ibu dari empat bersaudara itu.

Xeno adalah panggilan kesayangan Azka dari sang mama. Azka pun memutar tubuhnya perlahan, menghadap sang mama yang sudah mendekat.

"Maaf, Ma, tadi aku belajar kelompok dulu di rumah teman," ujar Azka, ia buru-buru memberi alibi sebelum sang mama mengintrogasi.

"Alasan doang tuh, Ma! Palingan juga nongkrong lagi sama preman-preman depan gang!" celutuk Alexa sambil ngemil kripik kentang dengan pandangan tetap fokus ke layar televisi.

"Apaan sih, nyambar mulu!" dengus Azka sambil melirik tajam pada sang kakak.

Bilqis tampak menghela napas. "Xeno, berapa kali mama bilang ke kamu, kalau pulang sekolah itu langsung pulang. Kalaupun ada belajar kelompok atau hal lain, ganti baju dulu, atau minimal kabari mama. Apa gunanya kamu mama kasih handphone kalau nggak bisa dihubungi, hah?" ujar Bilqis.

"Maaf, Ma, tadi batrai hape aku lowbat," balas Azka yang masih berusaha berdalih.

"Lowbat apa emang sengaja dimatiin?" Alexa kembali menimpali dari depan televisi. Hal itu semakin membuat Azka melotot pada sang kakak.

"Mama tidak terima alasan apapun. Sekali lagi kamu mengulangi kesalahan yang sama, mama sita hape dan motor kamu!" tegas Bilqis dengan jurus andalannya: mengancam Azka.

"Ya, Ma," sahut Azka, kemudian memasuki kamarnya.

"Bikin ulah lagi?" tegur Alvaro yang sedang merapi-rapikan pakaian ke dalam koper.

"Lo mau kemana, Bang?" tanya Azka pada kakak tertuanya itu.

"Mau ke India, gua terpilih jadi delegasi kampus untuk jadi relawan kesehatan di sebuah desa terpencil di sana," jawab Alvaro, yang merupakan mahasiswa fakultas kedokteran di sebuah Universitas ternama di Jakarta.

"Yah… makin dibanding-bandingin deh gua sama lo. Mana Adisti bulan lalu juga menang olimpiade matematika," gumam Azka sembari menggantung seragamnya.

"Makanya belajar yang bener, jangan boongin mama terus bisanya!" Alvaro mengacak-ngacak rambut adik lelakinya itu.

Azka hanya diam sambil membaringkan tubuhnya ke tempat tidur. "Lo berapa lama di sana, Bang?" tanya Azka.

"Nggak lama, kok, cuma empat puluh hari," jawab Alvaro sembari menutup koper yang sudah dipenuhi oleh segala kebutuhan yang akan ia bawa ke India esok hari.

"Yes! Gua bisa bebas di kamar ini selama empat puluh hari!" Azka berseru girang ketika membayangkan ia bisa leluasa membunyikan musik keras-keras atau berteriak sekencang mungkin saat berhasil menang game online, tanpa harus takut menganggu Alvaro.

"Jangan main terus! Selama gua pergi, lo harus di rumah, jagain mama, Alexa, dan Adis. Apalagi papa sering pulang malam akhir-akhir ini," ujar Alvaro. "Kita sebagai laki-laki memiliki tanggung jawab lebih atas keluarga!" imbuhnya.

"Itu mah tanggung jawab elu sebagai anak tertua, gua sebagai anak ketiga mah nyantai aja. Lagian gua mau nikmatin masa muda gua, nggak mau jadi manusia boring kayak lo yang dari kecil kerjaannya belajar terus," balas Azka sambil menyalakan ponselnya, bersiap main game online sampai larut lagi.

"Masa muda itu dinikmatin saat tua…-"

Azka memilih menyumbat telinganya dengan earphone daripada mendengar ceramah panjang dari sang kakak.

Ya, Atharazka Xeno Arisadi yang biasa dipanggil Azka atau Xeno itu adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Sebagai anak tengah, Azka selalu merasa dirinya tidak terlalu penting dalam keluarga, mungkin paling tidak disayang oleh kedua orang tuanya. Selain, itu Azka juga merasa dirinya yang paling berbeda di antara saudara-saudaranya yang berprestasi dan berbakat semua.

Alvaro, abangnya, adalah langganan juara kelas selama sekolah, sering menoreh prestasi pun aktif berorganisasi. Tidak heran Alvaro berhasil memperebutkan salah satu kursi di Fakultas Kedokteran pada salah satu universitas ternama di Indonesia. Hal tersebut juga menular pada si bungsu, Adisti yang hampir setiap bulan membawa piala atau medali ke rumah, yang membuat robot-robotan milik Azka harus tersingkir dari lemari pajangan. Sementara Alexa, kakak yang terpaut usia tiga tahun dengannya, juga punya bakat membanggakan kendati tidak terlalu berprestasi di bidang akademik. Dari kecil, Alexa sudah menunjukkan bakat seninya. Ia senang tampil di depan umum, entah untuk bernyanyi, menari, atau bermain drama. Itu sebabnya ia memilih kuliah di salah satu Kampus Seni Terfavorit di Jakarta. Piala-pialanya pun tidak kalah banyak dengan milik Alvaro dan Adisti.

Hanya Azka yang tidak pernah menang kejuaraan apa-apa, kecuali lomba tujuh belas agustus-an, itu pun hanya untuk cabang lomba makan kerupuk.

***

Pagi itu, Candy sengaja menunggu Azka di parkiran. Begitu melihat laki-laki itu datang, ia pun menghampiri Azka dan mengembalikan jaket dongker milik Azka.

"Udah dicuci belum?" tanya Azka.

"Ngapain juga gua yang harus nyuci, jaket ini dan punya lo, bukan punya gua," balas Candy jutek.

"Dih, parah nih cewek! Ada bekas darah lo tau! Masa harus gua juga yang ngebersihin."

"Bodo amat!" Candy membalikkan badan dan meninggalkan Azka yang semakin kesal.

Candy pun melangkah menghampiri Gladys, Bianka, dan Yumna yang sudah menunggunya di teras sekolah untuk masuk kelas barengan.

"Can, kalau dipikir-pikir, Azka tuh sebenarnya baik lho sama lo. Dia mau minjamin jaketnya buat lo kemarin. Kurang baik apa coba?" ujar Gladys.

"Dia itu cuman pengen ngeledek gua. Dia pasti senang banget udah bikin gua malu kemarin. Lihat aja entar, pokoknya gua bakal balas dia." Sorotan mata Candy menyiratkan seolah-olah ia hendak menerkam Azka.

"Tapi menurut gua, Azka emang nggak salah, sih. Kalaupun bukan dia, teman-teman yang lain pasti juga bakal ngelakuin yang sama. Apalagi Kevin sama Boni, dia pasti juga bakal neriakin lo." Bianka yang sibuk melihat wajahnya di cermin sedari tadi turut menimpali.

"Kalian kok pada belain dia sih." Candy mulai kesal mendengar ucapan teman-temannya. Gadis itu kemudian berjalan lebih cepat menuju kelas.

"Gitu tuh kelakuannya. Dikit-dikit ngambek, kayak bocah aja!" sungut Gladys.

"Hufft…" Yumna menghembuskan napas jengah. "Kalian kayak nggak kenal si Candy aja," ucapnya.

"Kadang-kadang gua heran juga kenapa si Candy sewot mulu ke Azka. Padahal kan mereka udah saling kenal dari kecil, bokap mereka aja sahabatan," ujar Gladys lagi.

"Tanda-tanda jodoh kali," timpal Bianka.

Gladys tertawa kecil. "Kalau misalnya mereka berdua benar-benar jodoh, pasti lucu banget, ya!"

"Bakal perang tiap hari. Nggak kebayang deh tuh gimana ributnya rumah tangga mereka entar. Mungkin mereka juga bakal ganti furniture tiap bulan. Tahu sendiri kan si Candy tiap kesal suka ngelempar barang-barang," balas Bianka yang disambut dengan tawa oleh Gladys.

Sementara bagi Yumna, tidak ada yang lucu dari pembicaraan keduanya temannya itu. Sebaliknya, dadanya justru terasa panas mendengar obrolan Gladys dan Bianka. Sekilas ia melirik pada Azka yang berjalan di belakang mereka. Atharazka Xeno Arisadi… Yumna telah lama mengagumi laki-laki berkulit putih yang memiliki alis tebal itu.