"Tadi itu siapa?" tanya Azka ketika mereka sudah berada di atas motor.
Candy masih bengong. Ia terpikirkan tentang sikap Devano padanya tadi.
"Woi!" teriak Azka lagi ketika Candy tidak menyahut.
"Kenapa sih lo teriak-teriak sendiri? Aneh banget!" desis Candy.
"Lo tuh aneh! Daritadi bengong aja. Kesambet lu?" balas Azka.
"Suka-suka gua dong. Mau gua bengong kek, ngapain kek, kenapa lo yang sewot?"
Azka menelan ludah, berdebat dengan perempuan satu itu memang tidak akan pernah habisnya. Ia menutup kembali kaca helmnya dan menambah kecepatan sepeda motornya dua kali lipat.
"Azkaaa…! Gua belum mau mati muda!" jerit Candy di belakang sambil mendekap erat pinggang laki-laki itu.
Tidak lama berselang, motor itu pun berhenti di sebuah rumah yang tampak asri.
"Lho, kok malah jadi ke rumah elo?" ucap Candy.
"Mama gua selalu pesen, kalau pulang sekolah tuh pulang dulu, baru pergi ke tempat lain. Turun lo!" balas Azka ketus.
"Nganter gua dulu apa susahnya sih, cuman sepuluh menitan doang. Lagian, sejak kapan lo nurut sama bokap nyokap lo?" sungut Candy sambil turun dari motor.
Dzzzz…..!
Ponsel Candy bergetar, panggilan masuk dari sang bunda. "Ya, Bun? Bunda udah di sekolah? Hehe, sori, Bun, Candy pulangnya bareng Azka. Belum sih, si Azka malah mampir ke rumahnya dulu. Bunda mau jemput Candy ke sini? Oh, oke, Bun."
"Yes! Akhirnya gua nggak perlu capek-capek nganterin lo pulang!" Azka berseru girang setelah mendengar percakapan Candy dengan sang bunda via telepon. Candy mendelik tajam pada Azka.
"Eh, Candy! Hai… so long time no see you, Dear!" tegur Bilqis yang keluar karena mendengar suara di halaman.
Candy menoleh pada Bilqis. "Hai, Tante!" balasnya sembari mendekat dengan terpincang-pincang.
"Ya, ampun, ini karena kecelakaan kemarin, ya?" Bilqis meringis saat melihat goresan-goresan di tangan dan kaki Candy.
"Iya, Tan. Gara-gara si Azka, tuh," balas Candy sembari bersungut-sungut melirik Azka.
"Apaan sih, lo, nyalahin gua mulu. Orang elo yang bawa motornya nggak bener," dumel Azka.
"Azka udah tante marahin kok semalam. Papanya juga udah ngasih dia hukuman. Pokoknya kalau nanti-nanti Azka bikin ulah lagi, lapor aja ke tante, ya!" Bilqis menengahi.
"Dia mah bikin ulah mulu, Tan. Tadi aja di kelas-"
Azka menutup mulut Candy sebelum gadis itu semakin membeberkan kelakuannya pada sang mama.
"Azka! Kok kasar gitu sih sama perempuan?" lerai Bilqis.
"Dia tuh drama banget, Ma. Tukang ngadu juga!" ucap Azka.
"Kamu masuk sana! Ganti baju trus jemput Adis ke tempat les!" perintah Bilqis kemudian.
"Yah, kok Azka mulu sih yang jemput Adis, Ma?" keluh Azka.
"Abangmu, kan, lagi nggak ada di rumah, Azka! Alexa juga belum pulang!"
Azka memasuki rumahnya dengan menggerutu.
"Candy, yuk, masuk dulu!" ujar Bilqis pada Candy.
"Makasi, Tante," sahut Candy. "Emangnya Bang Alvaro lagi kemana, Tan?" tanyanya lagi begitu sudah tiba di dalam rumah tersebut.
"Lagi ke India, jadi relawan gitu, tapi cuman empat puluh hari, kok," jawab Bilqis sembari membuatkan minuman untuk Candy.
"Wah, Bang Alvaro hebat bisa jalan-jalan mulu," komentar Candy sambil berdecak kagum. Bulan lalu ia juga mendengar bahwa Alvaro ke Singapore sebagai delegasi kampusnya dalam sebuah International Conference.
Bilqis menyuguhkan segelas minuman dingin di hadapan Candy.
"Duh, Tante, pakai dibikinin segala, Candy kan bisa ambil sendiri," lirih Candy yang merasa sungkan.
***
"Gimana sekolah baru kamu?" Seorang pria paruh baya melempar sebuah apel pada Devano begitu Devano memasuki rumah.
Untung saja Devano dapat menyambut apel itu dengan tepat. "Tumben jam segini udah di rumah aja," balasnya sambil mendekat.
"Saya mau ke Tokyo sore ini," jawab pria itu sembari menggigit apel yang ada di tangannya.
"Cieee… yang ke Tokyo mulu. Massage di sana bikin nagih, ya?" goda Devano.
Pria di hadapannya langsung menoyor kepala Devano. "Cuci tuh otak, biar bersih dikit," ujarnya.
Devano justru tertawa. "Lagian ngapain ke Tokyo mulu sih, Pa? Produk Jepang juga udah banyak di sini, kok, bisa delivery order lagi," cetus Devano lagi.
"Saya ke sana untuk urusan kerjaan," bantah pria bernama Walker yang tidak lain adalah ayah dari Alvaro.
Devano mencibir.
"Satu hari ngurusin kerjaan, dua hari lagi massage," ralat Walker.
Devano terbelalak. "Tuh, tuh, kan…" Devano menggeleng-geleng. "Wah, parah nih bokap."
Walker hanya senyum-senyum sendiri. "Gimana sekolah baru kamu?" Walker mengulang pertanyaannya yang belum dijawab Devano.
"Not bad," jawab Devano.
"Udah dapat cewek belum?" Giliran Walker yang menggoda anaknya itu.
"Hmmm…" Dalam kepala Devano terlintas sebuah wajah. "Ada sih…," lirihnya.
"Jago massage nggak?" Walker menaikkan alis.
Devano kembali geleng-geleng sendiri. "Kayaknya Papa deh yang harus nyuci otak, udah nggak ada yang bener isinya," cetus Devano.
Walker justru terbahak-bahak. "Barusan saya bikin spaghetti. Nggak enak-enak banget, sih, tapi lumayanlah, masih bisa dimakan," ujar Walker kemudian.
Dua laki-laki itu pun duduk di depan televisi sambil menyantap makanan hasil racikan tangan sang papa. Nyaris lima belas tahun mereka hidup berdua tanpa sentuhan tangan seorang wanita. Walker tahu ia tidak akan pernah mampu memainkan peran ganda, menjadi ayah sekaligus ibu bagi Devano, putra satu-satunya. Itulah sebabnya ia lebih memilih untuk memainkan peran jamak, menjadi apapun yang dibutuhkan Devano, entah sebagai orangtua, teman, atau peran lainnya.
"Kenapa nggak nyari orang yang bisa masak enak aja sih, Pa?" cetus Devano sambil mengunyah makanan dalam mulutnya.
"Kamu kan tahu dari dulu saya tidak suka serumah dengan orang lain yang bukan keluarga," balas Walker sambil mengganti siaran televisi.
"Saya juga nggak nyuruh papa buat nyari orang lain." Devano menatap papanya. "Mungkin udah saatnya kita nambah anggota keluarga, Pa," ucap Devano.
"Kamu mau kawin?" balas Walker santai.
Devano menelan ludah. "Bukan saya yang harus kawin, tapi papa. Eh, ralat, nikah maksud saya," ucapnya.
Walker hanya tertawa kecil. Usai meneguk habis air di gelas, ia pun menatap putranya itu. "Pernikahan saya dan mamamu adalah pernikahan paling indah… dan belum usai."
Devano terdiam beberapa detik lamanya. Selalu ada jeda setiap kali ia sudah membicarakan sosok yang satu itu. "Tapi, mama sudah nggak ada, Pa," ujar Devano.
"Dia ada," tandas Walker. "Di sini." Pria itu meletakkan tangan di dadanya sendiri lantas memindahkan tangan itu ke dada Devano. "Dan di sini," imbuhnya.
Hening lagi. Devano kehilangan kata. Kemudian, Devano tersenyum sambil melanjutkan suapannya.
"Kamu tidak perlu merisaukan saya. Kalaupun suatu saat kamu dewasa, menikah, dan punya kehidupan sendiri… saya juga akan tetap hidup jika belum waktunya mati," ucap Walker.
Devano kembali menoleh pada papanya. "Papa akan abadi," ucapnya. "Di sini." Devano meletakkan tangan di depan dadanya sendiri.
Walker tersenyum lantas mengacak sekilas rambut putranya itu.