Herman mendekatkan wajahnya ke arah Yanti, yang membuat gadis di hadapannya ketakutan.
"Jauhkan dirimu dari Aku," Yanti menolak wajah Herman dengan kedua tangannya dan langsung menjauh dari Herman.
"Kemarin Aku liat kamu di peluk oleh seorang lelaki, makanya Aku katakan jika Kamu nggak normal."ucap Yanti tertunduk. Hatinya khawatir jika Herman marah padanya.
Namun malah Herman tertawa lepas mendengar jawabannya.
"Ha..ha.ha. Yanti kamu ini bodoh kok di pelihara, itu teman Aku Rijal, dia supervisor program Manggrove. Aku masih normal, mau bukti?"
Dengan senyum jahil Herman mendekati Yanti, namun dengan sigap gadis itu memasang kuda-kuda untuk menerjang Herman.
"Berani maju jangan salahkan Aku, jika tangan Kamu patah."ancam Yanti.
Herman kembali mundur, karena dia tau jika Yanti memiliki ilmu beladiri yang cukup tinggi.
"Minta maaf sama Aku dan bersihkan nama Aku dari gossip murahan itu. Jika tidak Aku akan pindahkan Kamu ke Kantor pusat,"Herman mengancam Yanti.
Yanti yang merasa bersalah pada Herman langsung meminta maaf.
"Herman. Aku minta maaf, kemarin Aku syok melihat kamu di peluk dan Aku mendengar kata Sayang," ucap Yanti.
Herman tersenyum melihat keberanian Yanti meminta maaf padanya.
"Aku akan memaafkan Kamu, tapi nanti malam Kau jemput ya? kita jalan-jalan sekalian Aku buktikan jika Aku masih normal,"kata Herman lagi.
Yanti menganggukkan kepalanya tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi.
"Yuk kita pulang, Aku antar Kamu sekalian Aku tau rumahmu."
keduanya pun keluar dari kantor menuju ke area parkir
Herman membawa sepeda motornya dengan kecepatan sedang.
"Dimana rumah Kamu?"
"Desa Kuta baro, di simpang cot unoe dari sini lurus terus,"
Setelah mengetahui alamat rumah Yanti, Herman melajukan motornya dengan kecepatan tinggi agar tidak terlalu lama di jalan.
Sementara itu Faiza sudah tiba di rumahnya. Dia langsung masuk ke kamarnya lalu membuka pakaiannya dan masuk ke kamar mandi.
Terdengar suara ponselnya berdering namun dia tidak mendengarkannya.
"Kok nggak diangkat ya?"gumam Fida.
Ternyata dia yang menelpon Faiza untuk memastikan siapa yang di telpon oleh suaminya.
Raju yang asyik bermain menangkap gelagat aneh pada isterinya itu.
"Fida. kamu kenapa Aku liat dari tadi merenung terus? Sini cerita sama Abang,"ujar Raju.
Fida berjalan menuju ke tempat Raju bermain dengan Suffi.
"Aku nggak apa-apa Bang. mukin kelelahan saja,"
"Bagaimana jika kita pulang kampung saja, biar Kamu bisa mengenal keluarga Abang,"
Fida menimang-nimang usul Raju pulang kampung dengan nomor yang di hubungi suaminya itu.
"Kalau kita nggak pulang kampung Abang bisa? kita ke kampung Aku saja," usul Fida.
"Janganlah Fida, Abang sudah sangat rindu dengan keluaga Abang. mau ya?"bujuk Raju.
Akhirnya Fida pun mengalah dia mau pulang ke kampung halaman Raju.
Dia mulai membereskan baju-baju suaminya dan juga miliknya.
Raju sangat senang Fida mau pulang ke rumahnya.
"Di sana Aku akan menikahi Faiza dan membawanya kemari, Aku yakin Fida akan menerima Faiza menjadi adik madunya,"gumam Raju.
Dia memesan tiket pesawat untuk mereka bertiga , lalu merebahkan dirinya di sofa. Raju membuka galeri foto yang menyimpan file rahasianya. Disana foto Faiza sangat banyak, dia tersenyum-senyum sendiri memandangnya.
"Kamu sangat cantik Faiza, tunggu Abang pulang. kita akan merajut cinta bersama-sama."batin Raju
Fida yang sedang mengurus anaknya menoleh ke arah suaminya yang gelagatnya mencurigakan.
"Aku akan mencari apa yang membuat kamu tersenyum sendiri Bang, jika kamu ada main dengan wanita lain siap-siaplah Aku hancurkan hidup wanita itu."
Sementara itu di rumah Faiza gadis itu sudah tiba, Dia masuk ke kamarnya dan langsung membersihkan dirinya.
Selesai mandi Faiza mengambil ponselnya dan dia terkejut melihat banyak panggilan dari nomor malaysia.
"Siapa yang menelpon Aku ya? Apa Bang Raju? Masih rindu mungkin dia,"
Faiza tersenyum memandang foto Raju di wallpaper ponselnya.
Dia mengambil barang yang di kirim oleh Raju untuknya. Tas dan sepatu yang bermerk sudah Faiza buka dari bungkusannya. Ada juga beberapa buah jelbab yang sangat bagus.
"Ya Allah. bagus-bagus banget tas dan sepatunya, ini pasti mahal Bang Raju belinya. Besok Aku telpon aja dia, nggak usah kirim banyak-banyak kayak gini,"
Setelah melihat kiriman barang dari Raju, Dia menyimpannya dengan baik didalam lemari.
Faiza keluar dari kamarnya menuju ke dapur dan bertemu dengan Ibunya.
"Umi .Tadi siapa yang antar barang dari Malaysia?"
"Tukang ojek Nak. Bagaimana hubungan Kamu dan Raju? kapan dia akan melamar Kamu?"
"Aku belum tau Umi.Tapi katanya dia akan pulang dalam minggu ini."
Faiza mengambil gelas dan menuangkan air putih lalu meminumnya hingga habis. Dia duduk di meja makan dan mengambil tempe goreng yang tersedia di atas meja.
"Faiza. jika Raju tidak melamar Kamu waktu pulang kali ini. maka Kamu harus menikah dengan pilihan Abi Kamu ya?" kata Uminya Faiza.
"Ya Umi. Aku akan bicarakan dengan Bang Raju besok,"balas Faiza.
"Kenapa nggak sekarang aja Kamu bicaranya? biar Ibu bisa dengar,"
"Kalau sekarang nggak bisa Umi. Kata Bang Raju dia yang akan hubungi Aku. Karena dia kerja malam-malam."
Umi Faiza yang bernama Isma merasa heran dan timbul rasa curiga dengan apa yang dikatakan oleh Faiza.
"Nak. apa jangan-jangan Raju sudah menikah disana?"
Pertanyaan yang dilontarkan oleh Isma membuat Faiza terkejut dan bangun mendekati Uminya yang sedang menggoreng tempe.
"Apa sih Umi ini, sudah kayak Yanti aja. Jika Bang Raju udah nikah, ngapain dia merepot kirim barang tiap bulan ke Aku? kan buang-buang uang aja,"
"Kan Umi cuma bilang, ihh Kamu ini cepat kali naik darah. ya sudah sana pergi siram bunga dulu ke depan." titah Isma.
Tanpa banyak bicara lagi Faiza pergi ke halaman rumahnya untuk menyiram bunga, banyak sekali bunga yang di tanam oleh Umiya.
Sementara di tempat lain Herman dan Yanti sudah sampai di rumah Yanti.
"Yan. Aku masuk ya?"pinta Herman.
"Jangan Her. Ayah Aku ngeri orangnya kalau liat lelaki yang asing," Yanti menahan Herman agar tidak masuk ke dalam rumahnya.
Namun Herman tetap ingin masuk ke rumah Yanti, Dia ingin mengenal lebih jauh keluarga Yanti.
Tanpa mendengar perkataan Yanti dia langsung masuk. Herman duduk di ruang tamu, Dia memperhatikan foto-foto keluarga Yanti dengan seksama.
"Herman. Aku minta Kamu segera pulang, Ayah itu suka marah-marah jika ada lelaki yang datang ke rumah temuin Aku,"
Perkataan Yanti dianggap angin lalu oleh Herman, tanpa mereka sadari seorang lelaki paruh baya sedang memperhatikan tingkah laku Herman.
"Siapa Kamu berani kali masuk ke rumah Saya?"
suara Ayah Yanti menggema di dalam ruangan itu.