***
Tiga bulan berlalu,
"Ayah, Ayah." Rega berlarian menyusuri lorong rumah sakit saaten mencari sosok ayah.
"Ada apa Ga? Kenapa kamu paniknseperti itu,napa terjadi sesuatu pada Naira?" Tanya Seno khawatir, jujur saja dia sudah putus asa dan tidak yakin akan kesembuhan Naira karena selama tiga bulan terakhir kondisinya pun sama seperti sebelumnya.
"D-dia, dia.."Ucap Rega sambil menunjuk arah kamar Naira.
"Apa yang kamu katakan, Ayah tidak mengerti." Seno jadi kesal sendiri dengan putranya yang suka sekali menggantungkan kata-katanya.
Rega menarik nafas dalam-dalam, "Nai-Naira sadar." Serunya setelah meraup okesigen dalam-dalam.
"Benarkah?" Seno tak percaya, ternyata masih ada mukjizat untuk Naira. "Segera panggilkan dokter." titah Seno yang diangguki oleh Rega. Seno segera berlari menuju ruang ICU yang di tempati Naira.
Beberapa menit kemudian Rega datang dengan seorang dokter, kemudian Seno mempersilahkan dokter untuk memeriksa kondisi Naira.
"Bagaimana dokter?" Tanya Seno
"Apa kamu ingat siapa namamu?" Bukan menjawab, dokter itu justru memberikan pertanyaan pada Naira dan Naira hanya menggelengkan kepala. "Kamu kenal dengan mereka?" Tanya dokter itu lagi dengan menunjuk Seno dan Rega, namun Naira tetap menggelengkan kepala. "Bisa bapak ikut saya?" Titah dokter itu sebelum berjalan ke arah pintu keluar dan Seno pun mengekorinya.
"Bagini Pak. Mengingat cedera yang dia alami pasien sangat parah, ini adalah suatu mukjizat jika dia bisa sadar kembali di waktu yang cukup dibilang sebentar. Tapi setelah saya periksa, sepertinya pasien mengalami retrograde amnesia karena benturan kepala yang dialaminya. Untuk saat ini pasien tidak bisa mengingat semua kejadian yang dialaminya sebelum kecelakaan." Terangnya pada Seno.
Deg, Seno terkejut dengan apa yang dijelaskan dokter. Baru saja dia bisa bernafas lega karena Naira kini bisa sadar kembali, namun di waktu yang bersamaan dia kembali merasa sesak saat mendengar kalau Naira mengalami amnesia. "Apa dia bisa sembuh dokter?" Hal itu yang pertama ia tanyakan karena dia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi keluarga Erick jika dia mendengar tentang kondisi Naira sekarang.
"Hilang ingatan akibat cedera kepala, umumnya akan pulih seiring berjalannya waktu dalam masa penyembuhan. Jadi bapak tidak perlu khawatir." Ucap dokter itu lagi sebelum meninggalkan ruang perawatan Naira.
Seno merogoh ponselnya hendak menghubungi seseorang yang tak lain adalah Hendri, Seno menjelaskan perihal apa yang dialami Naira pasca sadar dari komanya.
"Bagaimana caraku menjelaskan hal ini pada Erick, aku takut nanti Erick akan hilang kendali jika tahu kalau Naira melupakan kenangan mereka." ucap Hendri sendu. "Aku rasa, belum saatnya Erick tahu tentang kondisi Naira." Dengan berat hati, Hendri kembali meminta Seno untuk menjaga Naira. Maaf Er, Papa harus menyembunyikan Naira jauh darimu. Kalau kau tahu keadaan Naira seperti ini Papa yakin kau akan sangat terluka, Batinnya lagi.
"Bapak tidak perlu khawatir, saya akan menjaga Naira dan mencoba untuk membantu Naira mengingat semuanya." Ucap Seno lalu mematikan paggilannya.
***
Dua hari berlalu, hari ini adalah hari di mana dokter mengijinkan Naira untuk pulang dari rumah sakit. "Put, ayo cepat. Kalau tidak, nanti aku tinggal." Ya, Rega mengubah nama paggilan Naira menjadi Putri. Mengingat Nama panjangnya adalah Putri Naira Rachman, entah kenapa dia sangat ingin memanggilnya Putri. Hari ini hanya Rega yang menjemputnya karena Seno sedang ada jam mengajar di sekolah.
"Ih, kau ini cerewet sekali!" Cibik Naira mengerucutkan bibirnya.
"Aku yang cerewet, apa kau yang lamban." Seloroh Rega.
"Cih, kau saja yang memang selalu cerewet." Ucap Naira menenteng tasnya dan berlalu meninggalkan Rega. Selama dua hari ini mereka cepat sekali menjadi akrab, tapi di antara keakraban mereka, selalu saja ada hal yang membuat mereka berdebat seperti halnya hari ini.
Mereka pulang dengan mengendari motor Rega, namun di tengah perjalanan tiba-tiba saja Rega menjadi cemas karena dia melihat dari spion motornya ada mobil sedan berwarna hitam sedang mengikuti motor mereka. Rega yang menyadari dari pantulan kaca spion itu mencoba mengurangi kecepatan motornya, berharap apa yang dia khawatirkan itu salah dan mobil hitam itu menyalip mereka. Namun di luar dugaan, mobil sedan hitam itu justru juga memperlambat laju mobilnya.
"Apa mobil itu benar-benar sedang mengikutiku." Batinnya. Jika itu memang benar, berarti saat ini nyawa mereka sedang dalam bahaya, mengingat kejadian beberapa bulan lalu nyawa Naira sedang dalam incaran seseorang. "Siapa sebenarnya wanita ini, kenapa bayak sekali yang mengincar nyawanya." Gumam Rega melirik Putri (Naira) dengan ekor matanya.
"Put, pegangan yang kuat." Bisik Rega namun masih bisa didengar oleh Putri.
Tanpa aba-aba Rega langsung saja memutar gas motornya, ngeeeeennngg. Putri tersentak saat tiba-tiba Rega melajukan motornya dengan kecepatan tinggi.
"Ga, kamu mau mati yaa! Aku bahkan baru saja bangkit dari komaku dan kamu malah mengajakku uji nyali lagi." Hardik Putri kesal, tangan meremas ujung bahu Rega takut kalau-kalau dia terjatuh dari motor.
"Jangan cerewet. Saat ini aku sedang berusaha menyelamatkan nyawa kita." Tanpa mengurangi kecepatan Rega berteriak ke arah Putri. Ciiiiiitttt, bunyi rem yang ditarik mendadak memekikan telinga mereka, tiba-tiba saja mobil sedan hitam itu sudah berada di depan mereka dan menghadang laju motor yang dikendarai Rega dan Putri. "Jangan jauh-jauh dariku, aku akan melindungimu." Bisik Rega menuntun Putri agar berlindung di belakang tubuhnya. Perlahan mereka turun dari motor untuk menjauh. "Siapa kalian?" Tanya Rega, sesaat setelah dia melihat dua orang pria bertubuh besar turun dari mobil hitam tersebut.
"Heh bocah, jangan ikut campur. Serahkan saja gadis itu jika kau mau nyawamu selamat." Ucap dua orang pria bertubuh kekar dengan setelan serba hitam.
"Cih, bagaimana kalau aku menolak." Rega berdecak. Walau sebenarnya dia ragu bisa mengalahkan mereka atau tidak, mengingat postur tubuhnya saja jauh kalah besar dari mereka
"Tarnyata kau punya nyali yah." Salah satu pria yang memiliki tubuh lebih besar, menghampiri Rega. Dia mengeluarkan sebilah pisau kecil dari balik jaket hitamnya. Dengan cepat, salah satu pria itu melayangkan tangannya ke arah Rega.
Bugh, bugh. Rega menangkis tangan yang bersenjata itu lalu menghantamkannya dengan keras menggunakan lututnya hingga pisau itu menjadi menjadi terjatuh. Rega memutar badannya, meloncat dan melayangkan tendangan kuatnya ke arah perut pria bertubuh besar itu. Bak pemain film kungfu Jet Li, Rega melompat dan seolah terbang dengan sangat lincah. Braaaakk, pria itu tersungkur ketanah.
"Berani kau rupanya ya." Pria yang tadinya berdiam diri di samping mobilnya, kini mulai bertindak. Dia merogoh sesuatu di balik jaket yang ia kenakan.
Rega menyangka jika pria itu juga akan mengambil sebilah pisau seperti temannya yang sudah jatuh tersungkur, namun pikirannya salah. Matanya terbelalak saat melihat sebuah pistol jenis G2 COMBAT Kal. 9 mm. Jenis senjata api pistol yang dikembangkan oleh PT. Pindad yang berasal dari Indonesia. Pistol G2 Combat menggunakan amunisi 9 x 19 mm parabellum. Senjata laras panjang dengan ukuran 4.5 inch yang dapat memastikan akurasi yang baik dan bisa menjaga kemampuan untuk menghadapi situasi pertempuran dengan jarak yang sangat dekat sakalipun.
"Sudah cukup main-mainya bocah!" Pria bertubuh besar itu menodongkan pistolnya tepat ke arah kepala Rega. "Berani sekali kau membuang waktu kami." Sarkasnya lagi.
Dor, Rega sudah pasrah saat pria besar itu memuntahkan peluru dari pistol yang mengarah kepalanya. Rega memejamkan kedua matanya, siap menerima timah panas yang akan menembus kapalanya. "Ayah maaf. Rega harus pergi seperti ini, Rega sudah menjalankan tugas ayah dengan baik untuk menjaga gadis ini." Batinnya. Beberapa saat kemudian Rega terheran karena dia sama sekali tidak merasakan apapun dibtubuhnya, tangan Rega bergerak meraba-tubuhnya. Apa aku sudah mati? kenapa ditembak tidak terasa sakit sedikitpun? Bukankah tadi terdengar suara tembakan. Jangan-jangan.. Rega tak mampu meneruskan pikirannya, dia jadi khawatir dengan suara tembakan tadi malah mengenai tubuh Naira. Sampai akhirnya, dia tersadar dari pikirannya sediri karena kehebohan seseorang.
"Hah? Apa yang terjadi? Bagaimana mungkin..Tidak, pasti ini mimpi." Kedua pria bertubuh besar itu membulatkan kedua matanya. Mereka tak peraya apa yang sedang terjadi di hadapannya saat ini.
Rega memberanikan diri untuk membuka kedua matanya secara perlahan. "What? Apa yang terjadi?" Rega terperanjat kaget, bahkan tubuhnya sampai terjungkal ke tanah saat melihat hal yang sangat mustahil. "Tidak mungkin, bagaiman bisa peluru itu melayang di udara?" Serunya lagi, dia meliat peluru yang tadinya akan menembus kepalanya, kini hanya melayang dan berputar-putar di udara.
"Hei, A-apa yang terjadi pada pe-peluru itu?" Tanya pria bertubuh besar yang tadi memegang pisau. Tubuhnya bergetar karena ketakutan melihat apa yang sedang terjadi di hadapannya, bahkan dia tidak sadar kalau celananya sudah basah karena air kencingnya.
Rega masih mematung di tempatnya. Lalu dia menoleh ke arah Putri, berharap gadis itu tidak ketakutan seperti dirinya. Namun apa yang dia khawatirkan itu salah, justru Putri kini sedang menatap tajam peluru yang sedang melayang itu, bahkan matanya seakan tidak berkedip sedikitpun. Rega bergantian menatap Putri, lalu menatap peluru itu. "A-apa gadis itu yang melakukannya?"Rega bermonolog dalam pikirannya, kedua matanya masih fokus memandang Putri. Beberapa saat kemudian, Putri menggerakkan matanya seolah memerintahkan sesuatu untuk bergerak dengan tatapannya. Dan benar saja, peluru yang tadi hanya melayang-layang, kini berputar dan berbalik arah. Sszzzzzztt, peluru itu melesat dengan sangat cepat.
"Aaaaarrrggh." Salah satu pria yang bertubuh besar itu meraung kesakitan, saat peluru itu menancap tepat di lengan kanannya hingga pistol yang tadi dia genggam menjadi terjatuh ke tanah.
"A-apa yang terjadi padamu?" Pria bertubuh besar yang tadi terkencing, menghampiri temannya yang sudah berlumuran darah di lengan kanannya.
"Aaarrgh. Aku tidak tahu, pelurunya tiba-tiba saja berbalik arah ke arahku." Ucapnya di tengah-tengah jeritannya menahan rasa sakit.
"Sebaiknya kita segera pergi dari sini. Ada yang tidak beres di sini." Pria itu segera memapah temannya yang terluka, lalu berjalan menuju mobil. Belum juga sampai di mobilnya, kini mereka malah diserang oleh sekumpulan batu kerikil yang berukuran lumayan besar. Batu-batu itu terbang dan menghantam mereka secara bertubi-tubi layaknya sedang turun hujan batu.
"Aargh, aargh, aargh." Jeritan-jeritan itu kini terlontar dari mulut mereka. "Ayo cepat, kita pergi dari sini." Kedua pria besar itu berlarian, bahkan sampai terjatuh karena tergesa-gesa masuk kedalam mobil. Mereka segera malajukan mobil mereka dengan kecepatan penuh meninggalkan tempat itu.
"Kamu tidak apa-apa Ga?"
Rega tersentak mendengar suara Putri. "A-apa itu tadi ulahmu?" Tanyanya dengan wajah yang kebingungan.
" Menurutmu?" Bukan menjawab, Putri malah menggantung rasa penasaran Rega. Dia beranjak dari tempatnya menuju motor Rega. "Ayo kita pulang sebelum mereka datang lagi." Serunya dengan tangan yang sudah mengambil helm dan bersiap mengenakannya kembali.
"eh, i-iya iya. Kamu tidak apa-apa Put?" Rega khawatir, saat melihat wajah Putri tiba-tiba saja menjadi sangat pucat. Namun yang ditanya hanya penggelengkan kepala.
"Mm Ga. Bisa tidak, kita mampir sebentar ke warung nasi?" Tanya Putri lirih.
"Hah? kamu lapar lagi?" Rega tercengang saat Putri menganggukan kepala. Bagaimana bisa tubuh sekecil ini bisa makan banyak, padahal baru 1 jam yang lalu dia makan, sebelum pulang dari rumah sakit. "Baiklah. Ayoo, aku yang teraktir." Mereka kembali melajukan motor mereka menuju warung nasi terdekat.
"Put, kamu yakin bisa menghabiskan itu semua?" Tanya Rega, kedua matanya membulat saat melihat isi piring yang dibawa putri sampai berjibun hampir tidak muat.
Putri menganggukkan kepala. "Menurutmu, siapa yang membuatku seperti ini? Karena menyelamatkanmu, aku jadi kehabisan tenaga." Serunya kemudian.
"Benarkah? Apa benar kamu yang melakukannya?" Tanya Rega antusias.
"Hmmm.." Putri hanya berdehem sebagai jawaban.
"Wah, apa kamu manusia super? Apa kamu bisa terbang? Atau kamu juga bisa berpindah tempat dengan hanya mengedipkan mata?" Cerca Rega yang penasaran.
"Berhenti bicara atau kau akan aku lempar ke atas pohon." Hardik Putri, dia melayangkan tatapan tajamnya ke arah Rega yang membuat Rega tertegun dan menelan air liurnya secara kasar.
Kenapa tatapannya membuat bulu kudukku merinding, batin Rega. "Aku kan hanya penasaran, kenapa dia malah marah." gumamnya.
"Aku mendengarmu Ga." Tukas Putri tanpa menoleh ke arah Rega, dia hanya fokus melahap makanannya sampai tandas.
"Jangan sekali-sekali kamu memberitahu kejadian tadi kepada siapapun, tak terkecuali kepada Ayahmu. Kalau tidak, aku pastikan aku akan melemparmu jauh ke antaraiksa!" Titah Putri menatap tajam Rega.
"Hahaha, kau bercanda mana bissa.. "
"Kemarilah, akan aku buktikan sekarang.." Sanggah Putri sebelum Rega menyelesaikan kalimatnya, dia bahkan menjentikkan jarinya pada Rega.
"Hei, hei, hei, mana bisa begitu." Ucap Rega yang berlari ke arah motornya. "Lihat saja nanti, saat aku sudah dapat sabuk hitam. Aku pasti akan mengalahkanmu." Tantang Rega.
"Coba saja kalau bisa." Putri tergelak mendengar penuturan Rega.
Sesampainya di rumah, mereka disambut oleh Seno yang memang sedari tadi sedang menunggu mereka. "Putri, bapak harap kamu betah tinggal di sini karena rumah ini tidak sebanding dengan rumah besarmu." Ucap Seno yang kini duduk saling berhadapan di ruang tamu.
"Tidak apa-apa Pak. Setidaknya aku tidak sendiri, bukankah bapak mengatakan kalau aku hidup sebatang kara? Meski saat ini aku masih belum mengingat apa pun, tapi aku yakin tinggal di rumah besar seorang diri pasti sangat membosankan." Serunya.
"Jangan sungkan, anggap saja ini rumahmu sendiri."
Putri menganggukan kepala. "Pak. Biasakah aku juga nemanggilmu Ayah? Rasanya aku rindu sekali dengan Ayahku." Ucap Putri ragu-ragu.
Seno yang mendengar hal itu langsung berbinar bahagia. Pasalnya memang sejak lama Seno sangat menginginkan untuk memiliki seorang anak perempuan, namun karena istrinya sakit dan telah berpulang terlebih dahulu, keinginannya belum bisa terpenuhi. "Tentu saja jika kau mau, aku bahkan sangat bahagia memiliki seorang putri." Seno mengusap pucuk kepala Putri. Dia merasa senang karena merasa punya anak lagi, tapi di sisi lain hatinya juga sedih melihat keadaan Naira yang kini berubah nama menjadi Putri. "Sekarang istirahatlah di kamarmu, Rega sudah menyiapkannya." Titahnya lagi yang kemudian diangguki oleh Putri.