"Aaaah, akhirnya aku bisa menghirup udara lagi." Seru Rega dengan merentangkan tangannya, meregangkan semua otat-otot yang terasa kaku karena perjalanan selama tujuh belas jam di dalam pesawat.
"Ck, memang sedari tadi kamu tidak menghirup udara?" Decak Putri memutar bola matanya malas.
"Bukan itu maksudku Put, udara di pesawat dengan udara di sini kan berbeda." Kilah Rega.
"Terserah kau saja." Ucap Putri meninggalkan Rega.
"Hei, tunggu." Rega segera bergegas mengejar Putri, tangan kirinya terangkat merangkul bahu putri dari belakang.
Putri menghentikan langkahnya. "Lepaskan atau ku patahkan tanganmu sekarang juga." Sarkas Putri menatap tangan Rega yang bertengger di bahunya.
"Ah, kau ini galak sekali jadi wanita." Seru Rega mengankat kedua tangannya keatas. Meski hubungan mereka mulai dekat, tapi Rega tidak akan seberani itu untuk membuat wanita itu kesal. Lantas keduanya berjalan beriringan memenuju pintu keluar bandara. Mereka memberhentikan taxi untuk mengantar mereka ke tempat yang mereka tuju.
"Sial. Siapa dia Dav?" Umpat Erick dengan tangan menunjuk kearah laptop. Matanya memerah saat melihat wanita yang selama ini ia cari ternyata sedang bersama seorang pria, bahkan tangan pria itu sedang merangkul bahunya. Braakk. Belum sempat Dav menjawab. Tiba-tiba, braaakk. Erick melempar laptop Dav ke lantai, lalu kemudian ia beranjak kembali ke kamarnya.
David mematung, kedua matanya tak berkedip menatap laptop yang sudah hancur tergeletak di lantai. Tiba-tiba, air matanya lolos membasahi kedua pipinya. "Maafkan aku Honey, aku tidak bisa melindungimu." Lirihnya, dia menunduk memunguti serpihan laptopnya lalu memeluknya. Dia menangis meratapi Honey-nya yang telah gugur menjadi korban pelampiasan sang majikan, dia bahkan tidak menghiraukan beberapa pasang mata yang menatap aneh padanya.
"Astaga. Sepertinya otaknya memang sudah bermasalah." Seru Keil yang di angguki oleh Sam. "Lebih baik aku kembali ke kantor sebelum terkena imbasnya juga." Gumamnya kemudian.
"Aku ikut." Timpal Sam yang mengikuti langkah Keil keluar mansion.
"Hei, kenapa kau mengikutiku?" Ucap Keil sebelum dia masuk ke dalam mobilnya.
"Ck, siapa yang mengikutimu. Aku juga harus pergi karena pasien-pasienku sudah banyak yang menunggu." Kilahnya, Sam masuk kedalam mobilnya dan berlalu meninggalkan mansion, begitu pula dengan Keil.
"Berhenti menangis Dav. Aku akan mengganti dengan laptop baru untukmu." Ucap Joe, dia merasa iba saat melihat Dav masih terisak meratapi laptopnya.
"Benarkah bos?" Tanya Dav berbinar yang kemudian di angguki oleh Joe.
"Maaf Honey. Bukannya aku tidak setia, tapi aku sangat membutuhkannya. Kerjamu cukup bagus selama ini, terima kasih telah menemaniku sampai sisa akhir hidupmu dan semoga kau tenang dibalam sana." Dav mengucapkan salam perpisahan layaknya dia akan berpisah dengan pasangannya. Dia mengelus, memeluk bahkan mencium serpihan laptopnya yang hancur sebelum dia benar-benar membuangnya.
Joe melotot melihat aksi Dav. Bukan terkejut, melainkan jijik atas perlakuan Dav pada barang kesayangannya. Dav memperlakukan barang layaknya dia sedang berhadapan dengan kekasihnya. Lebih baik aku pergi dari pada melihat adegan tak senonoh ini,batinnya. Joe akhirnya lebih memilih untuk pergi menemani Erick yang suasana hatinya sudah pasti sedang kacau. Dan benar saja, Joe mendapati Erick sedang mengamuk dan menghancurkan semua barang yang ada di kamarnya.
"Dia pengkhianat Joe! dia pengkhianat!" Teriaknya. Tangannya terua melempar semua barang yang ada di hadapannya. Braagk, bugh, suara keributan terdengar sangat menyeramkan di telinga para anak buah yang sedang bertugas siang ini. Pyarr, sebuah cermin yang terletak di dekat nakas hancur lebur bersamaan dengan muncratan darah yang berasal dari tangan Erick. Entah itu merupakan cermin yang keberapa, yang Erick hancurkan selama ini.
Meski semua orang yang berada di mansion takut untuk mendekati Erick, namun lain halnya dengan Joe, dia tetap setia berada di samping Erick yang tengah meluapkan kekecewaannya. "Tenanglah Er. Mungkin dia itu hanya temannya saja." Bujuknya.
Buugh. Erick melayangkan pukulannya kembali, namun bukan untuk menghancurkan barang melainkan ke arah wajah Joe. Bugh,bugh bugh, Erick kembali memukuli Joe hingga akhirnya Joe tumbang dengan wajah yang membiru serta sudut bibir yang sudah robek. "Kau jangan coba-coba untuk membelanya Joe." Erick mencengkram kuat krah baju Joe. Bugh, bugh, bugh pukulan Erick kini kembali mendarat di tubuh Joe, hingga kini wajahnya sudah terlihat babak belur. Beginilah Joe, dia selalu saja dengan suka rela memberikan tubuhnya untuk pelampiasan kekesalan Erick, tanpa ada niatan sedikitpun untuknya membalas semua pukulan pukulan dari Erick.
"Aaarrghh, apa yang harus aku lakukan Joe?" Erick mendorong kasar tubuh Joe. "Apa aku harus melepas dia?" Erick terisak memeluk kedua lututnya lalu ia menyembunyikan wajahnya di antra kedua lututnya itu.
Joe beranjak dan menghampiri Erick, lalu ia memeluk Erick untuk memberikan kekuatan padanya. " Tenanglah Er. Kita belum tahu pasti siapa wanita itu? Kita harus memastikan dia benar Naira atau hanya wajahnya saja yang mirip. Jika dia memang benar Naira, kita juga masih belum tahu apa hubungan pria itu dengannya." Serunya, tangannya terulur mengusap-usap punggung Erick untuk menenangkannya.
"Tapi mereka terlihat sangat dekat Joe." Sanggah Erick lagi.
"Dekat belum tentu sepasang kekasih Er. Tenanglah, aku akan selidiki pria itu." Tukasnya lagi menepuk pelan bahu Erick.
"Bagaimana kalau ternyata pria itu memang kekasihnya?" Erick mengangkat pandanganya ke depan, menatap Joe.
"Jangankan hanya kekasih, suaminya sekalipun kau bisa merampasnya dengan sangat mudah jika kau ingin." Ucap Joe kembali meyakinkan Erick. Biarlah kali ini dia memberi nasehat buruk pada Erick, asal dia bisa menenangkan sahabatnya untuk sesat pikirnya.
"Ck, kau benar Joe. Aku tidak boleh lemah sekarang." Erick menghapus kasar air matanya yang sejak tadi sudah menganak sungai di wajahnya. Entah apa yang ada di pikiran Erick saat ini.
***
"Cepatlah ga, kenapa kau lamban sekali." Oceh Putri saat mereka sudah sampai di mansion sederhana mereka.
"Kami ini kenapa jadi cerewet sekali sih. Kalau mau aku lebih cepat, setidaknya kamu harus membantuku untuk membawa barang-barang ini." Rutuk Rega, dia terlihat kesusahan membawa semua barang yang mereka bawa. Satu tas ransel, satu tas jinjing serta dua koper terlihat sedang ia tarik dengan kedua tangannya. "Kamu tidak lihat kalau kedua tanganku penuh?" Hardik Rega dengan menunjukan barang-barang yang berada di tangannya.
"Cih. Kau ini badan saja pria, tapi baru bawa barang segitu saja sudah mengeluh." Seru Putri lalu meninggalkan Rega yang masih bergelut dengan barang-barang yang dia bawa.
Tanpa mereka sadari, dari kejauhan terlihat seorang pria berpakaian serba hitam tengah mengintai mereka sejak mereka keluar dari bandara. Pria itu kini mengamati Putri dan Rega dari dalam mobil hitamnya, tangan terlihat sedang menghubungi seseorang. "Halo bos, wanita itu saat ini tinggal di sebuah mansion sederhana di kawasan Colmar." Ucapnya pada seseorang di seberang telepon sana. Colmar adalah ibukota kebun anggur Alsatian. Kota Colmar ini adalah kota yang meriah dan dianggap juga sebagai salah satu "Venisia Mini" di Perancis. Colmar dipenuhi dengan rumah-rumah yang kaya warna, kanal-kanal yang penuh dengan bunga yang berwarna-warni, dan atmosfir dari negeri dongeng.
".... "
"Baik bos, saya akan selalu mengawasinya." Ucapnya lagi sebelum akhirnya panggilannya terputus.
Disisi lain, seorang pria dengan hoodie hitam serta topi hitamnya juga tengah mengawasi Mansion Rega dan putri.
"Bos, dia sudah dampai di mansionnya dan sepertinya ada seseorang yang juga sedang mengikutinya." Ucap pria berhoodie itu pada panggilan telepon yang sedang ia terima.
"Jangan bertindak gegabah selama itu tidak membahayakan, kau hanya cukup memantaunya saja dari kejauhan. Laporkan padaku segera jika terjadi sesuatu padanya." Titah si penelpon di seberang sana.
"Baik bos." Lalu pria itu mengakhiri panggilannya dan kembali mengamati rumah serta pria yang serba berpakaian hitam dari dalam mobil. "Sepertinya pekerjaanku akan sedikit terganggu." Gumamnya. Namun beberapa saat kemudian mobil hitam itu ternyata pergi meninggalkan tempatnya dan membuat pria yang berhoodie hitam bisa bernafas lega. Dia bahkan mengira mobil hitam tadi tidak bermaksud untuk mengikuti targetnya tapi hanya tujuannya saja yang mungkin satu arah.
***
Semburat jingga sudah mulai menyirami seluruh pemukaan bumi. Kini sepasang pria dan wanita terlihat tengah berjalan kaki menyusuri desa kecil dengan bangunan-bangunan yang dipenuhi dengan berbagai macam warna bak negeri dongeng ini. "Wah di sni indah sekali." Gumam seorang wanita yang tak lain adalah Putri. Kedua matanya sedang menatap kagum dengan bangunan-bangunan yang tampak sangat indah dengan berbagai warna.
"Put, makan yuk. Lapar nih." Rengek Rega menggandeng lengan Putri.
"Iya sebentar lagi. kamu ini, perut saja yang di urus." Cibiknya.
"Ck, biasanya juga kamu yang habisnya paling banyak." Sanggah Rega tak terima.
"Dimana mereka? Tanya seorang pria dengan hoodie putih dan tak lupa topi putih juga bertengger rapi di atas kepalanya.
"Disana bos." Tunjuk seorang pria yang mengenakan hoodie hitam yang sejak tadi tengah mengikuti Putri dan Rega.
"Lalu pria itu?" Tanyanya lagi.
"Dia sudah pergi beberapa saat setelah bos mengakhiri pagghilan telepon saya." Ucapnya dengan pandangan yang menunduk.
"Aaaarrgh.."