Chereads / Wanita Superku / Chapter 19 - 19. Tuan gangster

Chapter 19 - 19. Tuan gangster

Di saat pria berhoodie putih itu sedang fokus dengan laporan yang diberikan salah satu anak buahnya, tiba-tiba saja suara teriakan seorang wanita mengalihkan perhatian mereka. 

"Aaaarrgh." 

Pria berhoodie putih itu pun menoleh ke arah sumber suara. "Sial." Umpatnya, lalu dia bergegas untuk menghampiri wanita itu. 

"Mau kemana Er?" Tanya sang asisten, yang tak lain adalah Joe. Tangan kanan Joe menahan lengan Erick yang akan berlari ke arah wanita itu. 

"Nai dalam bahaya Joe." Tukasnya, Erick mencoba melepas genggaman tangan Joe yang menahan lengannya. Ya, suara teriakan itu berasal dari Naira yang tengah dihadang oleh lima orang pria.

"Kau yakin?" Tanyanya untuk memastikan. Namun sebelum Erick menjawab, cengkraman tangannya sudah terlepas dan Erick sudah melesat pergi menghampiri Naira yang tak lain adalah Putri. 

Bugh. Erick melompat dan menendang kuat seorang preman yang sedang berusaha merampas tas Naira hingga dia jatuh terguling. 

Bugh. "Aargh." Bugh. "Aargh.." Suara pukulan dan teriakan kini terdengar beruntun, saat tangan Erick dengan membabi buta melayangkan pukulannya ke arah wajah dan juga perut si preman itu. 

"Hei!"

Teriakan salah satu komplotan itu menghentikan gerakan tangan Erick yang sedang menghajar temannya. 

Erick mengalihkan pandangannya dan membuka topi putihnya yang ia gunakan untuk menutupi wajahnya. Lalu ia memberikan tatapan tajamnya kepada pria yang berteriak itu.

"K-kau." Pekik pria itu. Dia terkejut saat melihat siapa pria yang berani menggagalkan aksinya dan menghajar temannya itu. Kemudian pria itu mengalihkan pandangannya lagi kepada Putri dan Rega yang masih mematung tak jauh dari tempat kejadian. 

"Siapa kalian? Beraninya berbuat onar di sini!" Sarkasnya dengan tatapan tajamnya, seolah akan membunuh mareka di tempat. 

"M-maaf tuan Vale. Kami tidak tahu kalau mereka..." Pria itu tidak dapat meneruskan kalimatnya. Siapa mareka? Apa hubungan mareka dengan tuan Vale Gaincarlo? Batinnya. Ya, Erick lebih dikenal dengan paggilan Vale Gaincarlo di dunia para gangster. Mereka yang tahu siapa Erick di dunia bawah, lebih memilih untuk menghindar dari pada harus berurusan dengan si ketua gangster yang terkenal berdarah dingin itu. "M-maaf tuan, kami tidak bermaksud untuk menggangu kenyamanan anda. Kami akan segera pergi sekarang juga." Ucap pria itu ketakutan. Dia bergegas menyeret temannya yang sudah babak belur untuk segera pergi dari tempat itu. "Kita pergi dari sini." Titahnya lagi kepada keempat orang anak buahnya yang juga tertunduk takut. Mereka buru-buru pergi dari hadapan Erick sebelum si gangster itu berubah pikiran dan menghukum mereka. 

Sepeninggal para preman itu, Erick memungut tas Naira yang hendak dirampas tadi lalu memberikannya kembali kepada Naira. Kemudian dia mengenakan topi putihnya lagi sebelum akhirnya dia berbalik untuk pergi.

"Terima kasih tuan." Seru Naira setelah menerima tasnya bahkan Naira membungkukkan tubuhnya untuk berterima kasih.

Apa setidak penting itukah aku dihatimu Nai, hingga kau bahkan pura-pura tidak mengenalku didepan kekasihmu, batin Erick menatap penuh Naira sebelum akhirnya dia memutuskan untuk pergi. 

"Tunggu." Langkah Erick terhenti saat Rega memanggilnya. "Terima kasih tuan atas bantuannya." Kali ini Rega yang membungkukkan tubuhnya untuk berterima kasih.

"Ck, bagaimana kau bisa melindungi wanitamu kalau kau selemah itu?" Tukas Erick tanpa menatap Rega, sebelum akhirnya dia benar-benar pergi. 

"Hah? wanita?" Seru Rega, bingung. Siapa yang pria itu maksud dengan wanitanya, pikirnya. Entahlah. Rega mengangkat kedua bahunya, masa bodo pikirnya. Untuk apa dia memikirkan hal yang tidak jelas dari orang yang tidak ia kenal batinnya. 

"Ga, kamu jadi makan tidak?" Teriak Putri dari kejauhan. Karena tadi dia melamun dan memikirkan perkataan pria misterius tadi, dia jadi tidak sadar kalau putri sudah pergi meninggalkan dia. 

"Pantau terus dan laporkan semuanya padaku." Titah Erick sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan tempat itu. 

Selama perjalan pulang ke arah mansion, suasana di dalam mobil Erick menjadi hening. Tidak ada kalimat percakapan apapun di antara kedua penghuni mobil itu. Pandangan Erick fokus menatap sepanjang jalan dari samping kaca mobilnya, sementara Joe lebih fokus dengan kemudi yang ada di hadapannya. 

"Kau tidak apa-apa Er?" Tanya Joe membuka keheningan. Namun Erick enggan untuk menjawab atau sekedar melirik Joe di sampingnya. Sepertinya akan ada gempa susulan sebentar lagi, batin Joe melirik ke arah Erick dengan ekor matanya. 

"Fokuskan saja matamu kedepan Joe!" Sarkas Erick tanpa melihat ataupun melirik ke arah Joe.

Joe terkesiap mendengar suara Erick. Bagaimana bisa temannya ini tahu apa yang ia lakukan, pikirnya. Kini dia tak lagi berani memandang ataupun sekedar melirik ke arah tuan sekaligus sahabatnya itu. Dia lebih memilih untuk kembali fokus mengendarai mobilnya dengan aman menuju mansion. 

Sesampainya di mansion, tanpa sepatah kata pun Erick langsung masuk kedalam mansion dan pergi ke kamarnya. Dia bahkan mengunci kamarnya dan mengurung diri di sana. Sampai keesokan harinya pun, dia tidak menampakkan diri untuk sekedar sarapan. "Apa bos belum keluar kamar?" Tanyanya pada Leny dan Leny hanya menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Haah, Joe menghembuskan nafasnya dengan kasar. Kenapa jadi begini pikirnya. Jika dulu Erick akan menghabiskan waktunya di ruang latihan untuk menghilangkan rasa sedihnya, tapi sekarang dia malah mengurung diri di kamar tanpa mau makan atau pun minum. "Aku bahkan tidak tahu apa yang sedang dia lakukan di kamar." Gumamnya. "Siapkam sarapan untuk bos dan aku yang akan mengantarnya." Titah joe yang kemudian diangguki oleh Leny. 

"Er, buka pintunya. Aku bawakan sarapan untukmu." Seru Joe ketika dia sudah sampai di depan kamar Erick, dia terlihat sedang membawa nampan berisi sarapan untuk Erick. Sekali, dua kali tidak ada jawaban dari Erick hingga membuat Joe jadi panik. "Er, apa kau baik-baik saja?" Teriaknya di sela-sela bunyi nyaring pintu yang ia gedor-gedor. 

"Pergilah Joe!! Tinggalkan aku sendiri." Teriak Erick dari dalam kamar. 

Apa dia menghabiskan waktunya semalaman dengan menangis? Batin Joe saat mendengar suara Erick yang sedikit parau. "Baiklah. Aku akan tinggalkan sarapanmu di depan pintu." Ucapnya sebelum meninggalkan kamar Erick. 

"Apa bos masih mengurung diri di kamar?" Tanya David saat berpapasan dengan Joe di ruang tamu. 

"Hmm, bahkan dia belum makan apapun sejak semalam." Joe mendudukkan bokongnya di sofa empuk ruang tamu. "Entah, aku merasa lebih cemas jika dia hanya mengurung diri di kamar. Aku rasa, lebih baik jika dia menghabiskan waktunya di ruang latihan saja, jadi aku bisa memantaunya secara langsung." Serunya pada David.

"Apa nona bos benar-benar menduakan bos besar?" Tanya David. Joe hanya mengedikkan bahunya, entah kenapa dia merasa iba melihat bosnya patah hati seperti ini. 

***

Satu minggu berlalu, 

Erick masih saja setia menunggui bar mininya, seolah enggan untuknya beranjak atau sekedar untuk istirahat. Dia hanya duduk di kursinya dan sesekali menyesap wine yang menggenang di dalam gelasnya. Selama satu minggu ini dia hanya menghabiskan waktunya di dalam kamar dan di mini barnya saja untuk minum. 

"Bos." Seorang anak buah menghampirinya dan memberikan sebuah ponsel padanya. 

Dengan malas, Erick menerima ponsel itu dan mendekatkannya pada telinganya. 

"Bos, kami butuh bantuan. Anak buah kita kalah jumlah dan nona bos dalam bahaya." Ucap salah satu anak buah Erick yang ditugaskan untuk menjaga Naira. 

"Sial." Umpat Erick, dia membuang asal ponsel itu lalu kemudian beranjak dari duduknya. "Joe, keil." Teriaknya pada kedua anak buah kesayangannya itu.

"Ada apa bos?" Bukan Joe atau pun Keil yang menyahuti panggilan Erick, melainkan David. Sebenarnya dia sedang makan di ruang makan. Namun ketika bos besarnya itu berteriak memanggil kedua bosnya yang lain, dia reflek berlari ke arah sumber suara dengan membawa serta makanan beserta piringnya juga. 

"Siapa yang memanggilmu Dav!" Kesal Erick, dia melayangkan sorot mata elangnya yang siap menerkamnya saat ini juga. 

Glek, Dav menelan kasar salivanya saat melihat sorot mata tersebut. Namun nahas, karena tadi dia sedang makan dan makanannya belum terkunyah sempurna, hingga makanan itu kini tersangkut di tenggorokannya. Khuk, khuk, khuk, Dav tersedak makanannya sendiri, dia bahkan merasakan sakit di bagian tenggorokannya. Dia berlari ke arah ruang dapur, meletakkan asal makanan yang sedari tadi ia pegang kemudian dia menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya hingga tandas. "Astaga, dia benar-benar bisa membunuh orang dengan hanya sekali tatap saja." Keluhnya mengusap-usap lehernya berharap rasa sakitnya akan segera hilang. 

Di tengah perjalanan dia mengumpat kesal pada kedua kaki tangannya itu. "Awas saja kalian, jika terjadi sesuatu pada Naira." Hardiknya menatap kedua orang kepercayaannya itu. 

"M-maaf bos. Tadi aku sedang di dalam kamar mandi jadi tanggung kalau di tunda." Kilah Keil untuk menghindari hukuman dari Erick. Meski tidak sungguh-sungguh, tapi dia tetap merasa ngeri jika bosnya sudah mengeluarkan ultimatum seperti itu. 

"Aku juga sedang menerima panggilan dari tuan Ben. " Tentu saja Joe juga tidak mau kalah dan menerima hukuman begitubsaja dari Erick, jadi dia mengatakan alasan kenapa mereka telat merespon paggilan masternya itu. Meski alasannya tidak semuanya benar, karena dia membumbui alasannya itu agar telihat sangat meyakinkan di hadapan Erick. Kenyataannya, paggilannya itu langsung terputus saat Tuan Ben samar-samar mendengar teriakan si master gangster tersebut. 

"Kalian terlalu banyak alasan! Cepatlah Joe, kenapa kau lamban sekali bawa mobil. Kau bisa menyetir tidak?" Keluhnya lagi.