"Astaga, Da! Lo ngapain di balkon kayak gini, sih? Emang gak kedinginan? Di bawah ada Alic tuh! Dia nyariin lo." Ralisa berujar kala kaget melihat sang sahabat yang tengah berbadan dua berada di balkon, padahal suhu kota Jakarta pada pukul satu dini hari sangatlah dingin. Ah iya, perlu diingat jika Alda tidak memakai sweater, cardigan, atau baju tebal lainnya. Kebayang bagaimana dinginnya udara yang menusuk permukaan kulit wanita cantik tersebut, bukan?
Alda menoleh, tersenyum manis sembari menggeleng tipis. "Gak usah lebay deh, Ral! Dinginnya udara malam ini enggak sedingin sifat lo kalau dideketin cowok. Tau gak sifat lo kayak gimana waktu dideketin cowok? Dingin banget. Dari dulu gue selalu dapetin curhatan laki-laki yang mau deketin lo, mereka katanya angkat tangan sama kedinginan lo itu." Alda membalas dengan sedikit gurauan. Memang kerap kali ia bercanda mengenai sikap Ralisa yang terlampau dingin nan cuek terhadap lawan jenisnya. Padahal Ralisa sangatlah cantik, tak heran jika lawan jenis berlomba-lomba untuk mendapatkan seorang Ralisa Salshabilla.
Ralisa langsung menekuk wajahnya, sebal dengan gurauan Alda yang memang terlalu jujur. Sebenarnya yang Ralisa inginkan saat ini hanyalah mendapatkan kebebasan finansial saja, supaya ia bisa menjalankan hidup dengan baik-baik saja. Tak perlu seorang kekasih, tak perlu menikah, atau lain sebagainya. Oleh sebab itu Ralisa membuat benteng yang tinggi di saat banyak lelaki yang berusaha mendekatinya.
Ya memang pada dasarnya wanita yang terlalu mandiri seringkali seperti itu, kan? Lebih mementingkan karir dibandingkan apa pun. Mementingkan untuk financial freedom daripada harus mengurus rumah tangga. Tak sempat berkenalan dengan lelaki, menjalin hubungan yang tak selamanya manis, karena kadang ada pahit-pahitnya. Pekerjaan saja sudah cukup membuat Ralisa puyeng tujuh keliling, itulah sebabnya Ralisa tak ingin berurusan dengan lawan jenis terlebih dahulu. Karirnya jauh nomor satu.
"Iya-iya," balas Alda yang mengerti bagaimana reaksi alamiah yang Ralisa lontarkan. "Gue ngerti kok kalau lo itu lagi enggak mau menjalin hubungan yang buang-buang waktu lo, kan? Lo itu sibuk sama pekerjaan yang menumpuk. Lo itu sibuk sama pekerjaan segudang. Lo lebih milih kejar karir daripada kejar umur nikah standar di Indonesia. Gue paham itu semua, Ral. Kapan sih gue lupa sama statement lo yang lo keluarkan dari bertahun-tahun lalu? Saking seringnya lo ngomong kayak gitu sampai gue sendiri aja hapal di luar kepala," imbuhnya.
Ya memang statement Ralisa sejak dahulu seperti itu, tidak ada yang berubah. Jadi tak heran jika Alda dan juga Alicia hapal di luar kepala dengan teksnya.
"Cowok itu ribet banget tau, Da! Gue enggak habis pikir sama wanita-wanita hebat yang bisa bagi waktu antara karir dan juga relationship. Karena apa? Karena setiap kali gue menjalani hubungan sama cowok, di saat ribut, di saat berantem, gue merasa ribet. Gue udah terlalu puyeng sama pekerjaan yang gue jalani. Jadi cukup, gue lebih milih pekerjaan gue aja. Jangan tambah-tambahin beban yang ada di kepala gue."
Alda menggelengkan kepalanya, berjalan beriringan dengan Ralisa keluar kamar dan menghampiri Alicia yang pada dasarnya pun sama seperti Ralisa. Mereka berdua memang sebelas dua belas saja. Mereka berdua memang memiliki statement yang sama, statement di mana lebih mementingkan karir yang utama.
"Ngapain lo ke sini sih, Lic? Malem-malem gini lagi. Lo gak takut kalau nanti pulangnya sendirian? Lo gak takut kenapa-kenapa di jalan?" tanya Alda persis seperti seorang ibu yang memarahi anaknya. Ya memang pada dasarnya Alda sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Tak heran jika pemikirannya turut mengikuti. Padahal usia Alda dengan Ralisa dan Alicia sepantaran. Namun pola pikir mereka berbeda.
"Oh my God, Alda! Sejak kapan gue takut sendirian? No! Gue si independen woman tidak akan pernah takut sendirian. Gue wanita mandiri, gak perlu siapa-siapa untuk nemenin gue. Lagian yang perlu lo ingat, ini Jakarta, Dude. Sangat lumrah di Jakarta keluar dan pulang malem-malem, di jalan malem-malem. Jangan norak, Sayang. Jakarta itu salah satu kota yang gak akan pernah mati, bahkan malem-malem sekalipun. Jangan kayak orang baru deh lo." Alicia menjawab dengan nada songongnya. Ya memang seperti ini jika mereka bertiga kumpul, selalu ada saja pembahasan dan perdebatan atas dua statement yang berbeda.
"Kasih paham Lic kenapa lo gak married-married ke Alda!" Seketika saja di saat suasana semakin memuncak, Ralisa turut mengompori. Memerintahkan Alicia untuk semakin berdebat dengan Alda.
Alicia yang mendengarkan perkataan dari Ralisa langsung menatap tajam ke Alda, setelah itu ia langsung mengjentikan jarinya tiga kali sebelum akhirnya mengatakan. "Helo, Alda Arrani! Alda yang gue sayangi sampai mati. Oh my God, oh my God, oh my God. Apa itu nikah? Gue enggak butuh pernikahan. Sebagian besar wanita menyesal setelah menikah. Karena apa? Karena mereka enggak akan bebas. Mereka akan diatur, mereka akan dikekang, mereka enggak bisa berkembang. Ya intinya banyak hal yang semakin membuat puyeng. Oke, lo ngerti? Jadi, selagi kita bisa semuanya sendiri. Selagi kita bisa cari duit sendiri, bisa ke mana-mana sendiri, untuk apa kita butuh pasangan? Untuk ngekang kita? Oh tidak akan. Iya kan, Ral?"
"Right!" Ralisa berseru paling keras dan penuh semangat. "Kita enggak butuh pasangan, Dude."
Ya pada dasarnya semua orang memang memiliki hak untuk memilih. Ada yang memang memilih untuk berpasangan dan juga menikah seperti Alda di saat mendapatkan pasangan yang tepat seperti Desvin. Pasangan yang menyayangi Alda setulus hatinya. Namun ada juga yang memilih untuk sendiri saja karena merasa mandiri seperti Ralisa dan Alicia. Keduanya benar menurut masing-masing individu. Tak ada yang salah, pun tak ada yang melarang. Karena keduanya juga mempunyai alasan yang sama-sama kuat.
"Gimana tadi wawancara lo? Lo diterima? Kok gak cerita-cerita sih lo! Ah gak asik banget deh!" Alicia yang tujuan kemari untuk bertanya seperti itu pun langsung saja memulai obrolan dengan Alda. Sedikit penasaran dengan kelanjutan hidup sahabatnya. Bagaimana pun juga Alda harus melanjutkan hidup, bukan? Dan bekerja memang menjadi opsi yang disarankan oleh Alicia serta Ralisa. Walaupun mereka berdua memang akan membantu, tetapi Alda juga harus berusaha sendiri terlebih dahulu. Alda harus bekerja keras di saat kondisi seperti, di saat kondisi sudah tak ada yang menafkahinya lagi.
"Gue lolos tapi rada aneh sih jujur." Alda menjawab pertanyaan Alicia dengan jujur.
"Hah?" Ralisa membeo kebingungan. "Aneh kenapa? Apanya yang aneh? Perusahaan tempat lo apply job menurut lo ada unsur pesugihan kah? Atau menurut lo angker gimana gitu?" lanjutnya ngawur.
Alda berdecak sebal. Tak tahu lagi dengan kecerdasan Ralisa yang di atas rata-rata. Saking di atas rata-ratanya sampai tak bisa berpikir jernih lagi. "Bukan itu maksudnya, dongo! Gue wawancara tapi gak diwawancarai."
"Hah?"