Membahas tentang laki-laki sepertinya tidak akan ada habisnya. Apalagi yang membahas laki-laki adalah sosok wanita yang krisis kepercayaan terhadap lawan jenisnya. Bisa disebut identitas wanita tersebut adalah alpha woman, wanita mandiri yang tak percaya akan cinta. Baginya cinta tak bisa untuk membeli makananan atau untuk membayar kehidupan sehari-hari. Jadi, untuk apa menikah jika sendiri saja cukup dan mampu?
Alda sebenarnya di satu sisi mengerti bagaimana pola pikir Ralisa dan juga Alicia, namun kadang ia juga tak mengerti. Ada sisi di mana ia bingung mengapa sahabatnya itu sampai sebegitunya dengan apa yang terjadi. Benar-benar seolah-olah anti cinta dan anti berkomitmen sekali.
"Pokoknya gue minta sama lo buat hati-hati sama bos lo yang baru itu, Da! Gue rasa bos lo itu ada rasa deh sama lo. Dia bisa aja kan jual cerita ke lo supaya lo anggap dia cinta banget sama istrinya, dia yang paling menderita padahal apa coba? Padahal dia juga nyimpen rasa sama lo. Padahal dia juga mau modusin lo." Alicia tetap kekeuh dengan apa yang ia sampaikan sedari awal. Feelingnya itu tak pernah meleset, jadi ia anggap feelingnya saat ini pun tepat sekali. Ia sudah menduga jika pria yang menjadi bos dari sahabatnya itu pasti ada rasa. Tidak mungkin tidak.
"Enggak mungkin lah, Lic. Aldo itu baik kok orangnya. Tampang-tampang dia itu bukan tampang playboy yang dari dulu kita bahas. Gue tau kok kalau dia enggak mungkin suka apalagi nyimpen rasa sama gue. Dia itu lagi berduka atas kepergian istrinya. Kita tuh harus respect sama dia kali. Masa iya kita langsung ngejudge dia macem-macem padahal yang sebenarnya terjadi dia sedih banget? Enggak banget kan? Kasian dianya malah."
Alda mengelak, walaupun baru dua kali bertemu dengan Aldo, agaknya Alda bisa menilai dengan rapi bagaimana sifat lelaki tersebut. Lelaki tersebut memang terlihat sangat baik sekali dan juga terlihat sangat tulus dengan pasangannya. Jadi tak mungkin sekali jika Aldo menyukainya atau menyimpan rasa padanya. Mustahil.
"What? Siapa tadi namanya? Aldo? Anjir! Drama apalagi ini woy! Ini dunia nyata loh, Da. Ini bukan dunia film atau dunia novel. Kok bisa sih nama lo sama dia mirip? Alda dan Aldo. Anjir! Gue sih gak nyangka banget. Jangan-jangan Tuhan jodohin kalian berdua dengan cara kayak gini!" Alicia berteriak histeris, menunjukkan sisi alaynya yang memang kerap kali kebanyakan orang tak ketahui. Jika sifat yang selalu ia keluarkan selama ini adalah sifat anggun nan jaga image, jika berada bersama kedua sahabatnya, musnah sudah jaga imagenya itu. Yang ada Alicia adalah wanita paling rempong jika disandingkan dengan Alda dan Ralisa.
"Lah iya, anjir! Gue juga baru ngeh kalau nama lo sama bos baru lo ternyata mirip ya, kayak jodoh banget deh. Alda dan Aldo, anjir! Cocok banget tuh. Kayaknya lo berdua emang jodoh deh, Da. Apalagi musibah yang saat ini kalian alami sama-sama dikarenakan kecelakaan pesawat yang sama gitu loh." Ralisa kali ini setuju dengan apa yang disampaikan oleh Alicia. Memang dari nama Alda dan Aldo sangatlah serasi sekali, bukan? Benar-benar tak menyangka jika dari hal sesepele itu pun nyatanya Alda dan Aldo bisa berjodoh.
Alda berdecak kesal. Sungguh moodnya malam ini benar-benar hancur hanya karena kedua sahabatnya yang tak berakhlak baik. Bisa-bisanya di saat seperti ini mereka berdua malah membahas pria lain, padahal jelasnya mereka tahu jika di hatinya saat ini masih ada Desvin. Desvin lah yang masih tersimpan dengan jelas sampai kapan pun juga. Cintanya dengan Desvin tidak mungkin bisa digantikan dengan orang lain.
"Gue masih waras untuk nerima cinta dari orang lain, ya. Gue masih cinta banget sama Desvin. Gimana pun juga perkara hati tuh enggak bisa dipaksa atau pun dikaitkan cuman dari nama doang. Yang namanya hati ya hati, gak bisa pakai logika atau apa pun."
Usai mengatakan semuanya dengan tegas, Alda bangkit dari duduknya dan berjalan memasuki kamarnya lagi. Menyudahi pembahasan yang agaknya semakin larut semakin gila saja. Ya seharusnya memang Alda tak usah dibawa hati masalah seperti ini, namun pada kenyataannya susah saja untuk menerima itu semua di saat hatinya benar-benar masih terluka. Di saat kondisinya memang sedang kacau-kacaunya.
"Lo sih! Ngapain coba lo ikut-ikutan dukung gue kayak gini? Kan jadinya Alda marah sama kita!" Alicia memang tipikal orang yang tidak mau disalahkan, sehingga apa pun yang terjadi, benar atau tidak, ia pasti menyalahkan orang lain. Mencari pembenaran atas kesalahan yang sebenarnya ia lakukan.
Ralisa mendelik tak terima. Apa-apaan ini? Mengapa jadi dirinya yang disalahkan? "Lah, gue? Lo kali yang mulai duluan! Lagian juga kalau lo gak ke sini, semuanya gak mungkin terjadi!" Begitupun dengan Ralisa, ia pun sama seperti Alicia yang tak mau disalahkan atas semua hal yang sebenarnya ia lakukan. "Gara-gara lo Alda jadi marah kayak gitu! Lagian ngapain bawa-bawa cinta coba? Padahal lo sendiri tau kalau Alda lagi sedih karena kematian Desvin, sinting!" lanjutnya semakin menjadi-jadi.
"Ya bodo amat! Pokoknya lo salah!"
"Lo salah! Gue gak pernah salah. Pokoknya ini semua karena lo! Lo yang dateng ke sini, lo yang bahas-bahas cinta, lo yang bahas-bahas tentang nama dengan segala keterkaitannya. Lo salah! Dah, balik aja sana!"
***
Pagi ini Alda sudah mulai bekerja tentunya. Ia berangkat sesuai dengan jadwal, di mana kantor masih cukup sepi. Bisa dihitung jari sebenarnya berapa orang yang sudah datang. Ia mulai melihat di mana tempat kerjanya nanti dan juga di mana tempat kerja Aldo. Ia dibimbing oleh sekretaris lama Aldo, sekretaris yang memang mengundurkan diri karena merasa sudah waktunya saja untuk fokus ke keluarganya. Ya Alda mengerti, mungkin nanti ia juga akan seperti itu di saat tabungannya sudah cukup. Karena kelak ia akan menjadi sosok single parent.
"Hai! Pagi, Da!" sapa Aldo yang ternyata sudah berangkat. Cukup on time untuk ukuran seorang CEO memang. Namun, semua orang pastinya memiliki pilihan masing-masing. Mungkin saja memang Aldo orang yang menghargai waktu sehingga ia berangkat lebih awal.
"Pagi, Pak! Selamat bekerja! Semoga hari ini saya tidak melakukan kesalahan apa pun ya, Pak." Alda berujar demikian. Tentu saja ia mengucapkannya dengan penuh senyuman. Berusaha sebaik mungkin memberikan semua moodnya agar dipermudah urusan karir yang sedang ia jalani saat ini.
"Selamat bekerja dan selamat bergabung juga di sini ya, Da! Semoga kamu bisa bekerja dengan baik, kalaupun hari ini belum yang terbaik juga gapapa, semuanya butuh proses kok, Da. Jangan terlalu diforsir sama apa yang kamu kerjakan ya. Saya enggak mau kamu dan kandungan kamu kenapa-kenapa. Selama kamu di sini, kamu menjadi tanggungan saya soalnya."