Chereads / The Baby : Alda Arrani / Chapter 21 - 21. Tertarik

Chapter 21 - 21. Tertarik

Aneh sekali, baru kali ini Ralisa dan Alicia mendengar bahwa ada seseorang yang wawancara tapi tidak diwawancarai, pun setelah itu lamarannya diterima. Astaga! Apakah mereka sangat kurang update di bidang wawancara pekerjaan karena telah bertahun-tahun lalu mereka terakhir melamar pekerjaan. Atau bagaimana? Kocak sekali apa yang dikatakan oleh Alda. Pastinya ini semua tidak mungkin, kan? Tidak! Pasti ini semua hanya candaan Alda saja.

"Gak usah ngelawak deh lo, Da! Jujurly lo enggak ada bakat lawaknya sama sekali. Di mana-mana orang kalau ngelamar pekerjaan ya pasti wawancara kerja lah. Di mana-mana yang namanya wawancara kerja ya pasti diwawancarai. Gimana ceritanya lo bisa diterima tapi gak diwawancarai, aneh." Ralisa menilai kocak sekali apa yang dikatakan oleh Alda. Jujur saja semua ini hanya candaan, kan? Tak bisa mempercayai itu semua karena memang di dunia ini sepertinya tidak ada yang menerima begitu saja orang untuk bekerja. Semuanya butuh effort dari awal.

"Iya ih! Lo ngada-ngada banget jujur! Lo diwawancarai apa nih tadi? Cerita dong ke kita! Gak usah berusaha ngelawak gitu lah. Lo pasti diwawancarai, kan?" Alicia turut membalas perkataan Alda, tak percaya dengan apa yang sahabatnya katakan karena menurutnya sangat tidak mungkin sekali jika wawancara tetapi tidak diwawancarai dan langsung diloloskan begitu saja. Pun perusahaan yang Alda lamar adalah perusahaan yang cukup ternama, pastinya perlu perjuangan yang sangat berat untuk masuk ke sana.

Alda berdecak kesal, sebal karena ceritanya tak pernah dipercaya, padahal kan apa yang ia katakan ini adalah sebuah fakta. Tak mungkin rekayasa, apalagi hanya bahan lawakan saja. "Dih, orang gue serius. Justru tadi jatuhnya kayak bukan wawancara sih menurut gue. Malah kayak sesi curhat gitu," balas Alda jujur. Tetap bersikeras menceritakan apa yang terjadi walaupun kedua sahabatnya tak percaya.

"Hah sesi curhat? Sesi curhat gimana maksud lo?" beo Ralisa yang benar-benar kaget dengan apa yang Alda katakan. Pikirannya benar-benar tak mengerti lagi apakah Alda berkata benar atau salah. Apakah Alda jujur atau bohong. Semuanya berasa abu-abu sekali.

"Iya, lo gak jelas banget sumpah! Kalau cerita itu gak usah sedikit demi sedikit bisa gak sih? Langsung aja gitu ceritanya. Apa yang lo ceritain. Gue kepo banget jujur. Gak usah bikin orang penasaran, please!" Alicia yang mulai geram pun semakin mendesak Alda untuk bercerita padahal sedari tadi ia juga turut tak percaya dengan apa yang Alda katakan. Memang kedua sahabatnya ini aneh sekali, kan?

Alda menarik napas panjang-panjang, mempersiapkan diri siapa tahu sahabatnya ini kaget dengan apa yang ia ceritakan dan mereka berdua pasti akan heboh bukan main. Itu pasti, sih.

"Lo inget waktu lo anterin gue ke bandara pas ada berita pesawatnya Mas Desvin jatuh kan, Ral?" Ralisa mengangguk saat ditanya seperti itu oleh Alda. "Nah di situ gue ketemu sama cowok yang baik banget. Dia nawarin gue minum, nyuruh gue buat duduk, intinya nolongin gue banget di saat yang emang genting. Nah ternyata dia itu CEO perusahaan yang gue lamar ini. Makanya pas wawancara ya gue ketemu sama dia kan. Nah jadinya wawancara seputar kabar gue gimana, Mas Desvin akhirnya ditemukan bernyawa atau enggak, seputaran itu lah pokoknya."

"Dia salah satu keluarga korban kecelakaan pesawat yang sama kayak Desvin?" Alicia bertanya usai mencerna dengan baik setiap kata demi kata yang keluar dari mulut sahabatnya itu.

"Suami korban kecelakaan. Sekarang istrinya sama kayak Mas Desvin, udah enggak ada di dunia ini. Dia terpuruk banget dan akhirnya tadi jadi sesi curhat gue sama dia tentang seberapa hancurnya kita di saat kehilangan pasangan hidup kita. Jadi ceritanya mereka berdua menikah dan cukup sulit punya anak. Istrinya ini lagi program hamil gitu tapi ternyata gak pernah berhasil. Istrinya lumayan stres dan memilih untuk healing sebentar, tapi belum healing, istrinya ini malah kecelakaan. Gue ngerti sih kalau misalnya dia terpuruk banget. Dia juga segitu cinta sama istrinya tapi Tuhan malah berkehendak lain."

Oke, kini Alicia dan Ralisa mengerti apa yang dimaksud dengan wawancara tetapi tidak diwawancarai, malah menjadi sesi curhat. Ternyata keduanya sama-sama memiliki masalah yang sama sehingga saat bertemu mereka berdua berbagi keluh kesah.

"Tapi kok dia sebaik itu ya sampai-sampai nerima lo dengan mudah. Bahkan lo langsung diterima gitu loh. Gue rada curiga sih, Da." Alicia menyelidik. Perasaannya selalu tepat biasanya, ia yakin jika kali ini pun tak akan melesat juga. Pasti terjadi sesuatu sehingga si pria ini dengan mudahnya menerima Alda. Padahal Alda sama sekali belum memberikan value positif untuk perusahaan.

"Ya mungkin dia miris sama nasib gue kali? Gue ditinggal sama suami gue di saat hamil besar, diusir sama mertua, siapa yang kasih gue nafkah selain gue menafkahi diri gue sendiri? Pun kita berdua sama-sama punya nasib sebelas dua belas lah ya. Kita berdua sama-sama keluarga dari korban kecelakaan. Makanya dia sedikit kasian sama gue. Gue yakin sih kalau dia orang baik, bahkan dari awal ketemu aja dia baik banget. Di saat orang lain kepanikan, kebingungan, takut sama semua hal, dia merasakan itu semua tapi dia masih peduli sama sekeliling." Alda menjawab seadanya. Jawaban yang memang menurutnya simpel saja. Jawaban yang menurutnya memang itu adalah sebuah fakta.

"Bisa jadi sih tapi menurut gue bukan kayak gitu." Alicia tetap tak percaya jika tujuan utama pria yang sedari tadi menjadi bahan obrolan mereka bertiga adalah kasihan kepada Alda. Tidak, pasti ada maksud lain.

"Eh dodol! Lo mudeng gak sih sama apa yang Alda ceritain barusan? Dia itu cinta banget sama bininya. Menurut lo dia baik ke Alda karena cinta sama Alda? Karena tertarik sama Alda? Enggak mungkin lah! Dia baru aja kehilangan bininya, kehilangan kekasihnya, kehilangan seseorang yang pastinya sangat dia cintai. Gak segampang itu langsung tertarik sama Alda. Gak usah sinting deh lo!" Entahlah untuk saat ini Ralisa benar-benar tak mengerti dengan jalan pikir Alicia. Semuanya saja Alicia anggap suka, semuanya saja Alicia anggap tertarik padahal kenyataannya pasti tidak demikian.

"Ya itu mah cuman omongan supaya terkesan menjual cerita, Ral. Mana ada sih orang baik zaman sekarang? Langsung iba sama orang yang baru dikenal dan baru ketemu dua kali. Kalau bukan tertarik, terus apa coba?" Alicia membalas dengan alasan yang menurut dirinya masuk akal juga. Tak mau disalahkan oleh Ralisa dan Alda karena baginya itu memang sebuah fakta.

"Ya kan enggak semua hal disebut tertarik, Lic."

"Sikap lelaki itu buaya, Ral. Lo tau sendiri, kan? Kalau enggak tertarik enggak mungkin sebaik itu sama lawan jenisnya. Apalagi Alda kita cantik begini. Pasti dia tertarik sih kata gue mah."